Remah Benteng di Bentang Rempah

By , Kamis, 28 April 2016 | 13:29 WIB

Suasana yang tadinya terik dan senyap, sekejap sejuk dan gaduh. Namun, dari jendela benteng yang tak berkusen, ada pula pelancong yang menatap angkasa dengan keharuan mendalam. Di remah benteng Portugal ini saya bersama warga menyaksikan pertunjukan agung di layar semesta.

Benteng ini berada di bukit pesisir Ternate yang menghadap ke selat Halmahera yang membiru. Dari celah benteng, saya menikmati pemandangan laut lepas yang jauh lebih memesona ketimbang Fort Oranje.

Saya mencoba mengingat kembali pendaratan pertama Portugal di pulau ini. Pada 1512, atau beberapa bulan setelah Portugal menguasai Malaka, Fransesco Serrão dan beberapa eskader Portugal berlayar ke Kepulauan Rempah di Maluku.  Ketika Serrão singgah di sebuah pelabuhan di Gresik, Jawa Timur, dia jatuh cinta dengan gadis Jawa, lalu menikahinya untuk hidup bersama ke Maluku.

Singkat cerita, Serrão menjadi tamu terhormat Sultan Ternate untuk perdagangan cengkih dan pala. Sudah suratan, Serao menjadi penjelajah samudra Eropa yang pertama kali menemukan Kepulauan Rempah. Barangkali juga orang Portugal pertama dalam sejarah yang menikahi perempuan Jawa!

Sejarah dunia mengenang bahwa Serrão wafat pada 1522, konon kabarnya diracun oleh Raja Tidore. Namun, mengapa di papan informasi benteng disebutkan bahwa Fort Telucco dibangun Serrão pada 1540? Di sinilah saya menyengir.

Saya berharap dapat menemukan makam Fransesco Serrão. Suatu pagi saya bersama Maulana Ibrahim, Ketua Ternate Heritage Society, menggeratak permakaman Eropa yang terabaikan di Bentengbatu. Lewat toponimi lawasnya, Maulana menduga, dahulu di kawasan ini terdapat benteng. Biasanya, permakaman Eropa memang tak jauh dari benteng.  “Makam Belanda ini berbatasan dengan makam Cina,” ujarnya. “Makam Cina berbatasan dengan makam Muslim.”

“Kalau dilihat di Google Earth,” ujar Maulana, “kawasan ini tampak hijau karena banyak pepophonan—seperti Central Park di New York.” Namun, imbuhnya, sekarang banyak rumah mulai menyusup di antara hijaunya pepohonan itu. “Dibandingkan dengan luasan pada peta 1916,” ujarnya, “luas permakaman tidak menyusut, namun ada ekspansi rumah penduduk ke dalamnya.”

Di sebuah rumah yang berada di kawasan permakaman, saya menjumpai empat nisan Eropa dari abad ke-19. Di sekitar pekarangan rumah itu terserak nisan-nisan tak bertuan dengan berbagai bentuk seolah menyeruak dalam keterpurukan.  

“Saya Hamid Bode tinggal di sini dari 1980-an,” ujar lelaki sepuh kepada kami. Bode sudah terbiasa dengan pemandangan bak latar film horor itu. “Di sini ada Opas Belanda yang kawin dengan perempuan Tidore. Keluarganya masih sering mengunjungi.” Dari nisan-nisan yang bertebaran di pekarangannya, hanya nisan itu yang masih dirawat. Dia pun tidak tahu siapa ahli waris makam-makam lainnya.

Bagaimana soal misi mencari makam Serrão? Ah, lupakan saja. Saya pikir perlu bertahun-tahun untuk menyingkapnya.

Perahu motor kami terempas-empas menuju Pulau Tidore, seberang tenggara Pulau Ternate. Gunung Marijang nan menjulang menjadi tengaranya. Pulau ini pernah berada dalam cengkeraman Raja Spanyol sejak 1522 hingga 1663. To ado re, demikian asal nama Tidore, bermakna “daku telah sampai”.

“Saya Panglima Kesultanan Tidore. Nama saya Kapita Muhammad Ali Alting,” ujar lelaki menak berperawakan tinggi sembari menjabat tangan saya dengan erat. Dia berkaca mata hitam dan berbusana bangsawan setempat: stelan ala Kapten Spanyol berabad silam. Dia mempersilakan saya untuk menikmati tarian dan kudapan di Pantai Tugulufa, Tidore.