Remah Benteng di Bentang Rempah

By , Kamis, 28 April 2016 | 13:29 WIB

Saya menyaksikan gadis-gadis berbusana kebaya putih yang berlenggak-lenggok menari Salai di jalanan aspal. “Salai itu tarian dari Tidore yang menceritakan cara berkomunikasi dengan jin,” ujar Kartika, salah satu penari, kepada saya. “Karena itulah Tidore sering disebut juga Pulau Seribu Jin.”

Kami beringsut ke Fort Torre yang bersarang di bukit sebelah Kesultanan Tidore. Dalam bahasa Spanyol, torre berarti menara. Ketika saya bersiap menapaki tangga batunya, seorang teman seperjalanan berseru sambil menunjukkan bercak-bercak hitam pada foto-foto di pratinjau kameranya. Wajahnya cemas ketika saya tak kunjung menemukan penyakitnya.

Ketika angin laut menyeka jiwa-jiwa nan lelah di pekarangan Fort Torre, teman tadi menghampiri saya dengan semringah. Sembari menenteng kamera, dia berkata bahwa alat pembidik itu sudah sehat seperti sedia kala. Katanya, ada seseorang yang menyarankan untuk membacakan doa sebagai salam kepada yang menghuni tempat keramat ini. Kebetulan, di dekat tangga batu tadi terdapat makam keramat Kesultanan Tidore.

Kendati julukan Tidore telah diruwat menjadi  “Pulau Seribu Masjid”, saya merasa sisi misteriusnya masih membaluri pulau ini. Sore hari menjelang senja, kami kembali melaut ke Ternate.

Kami senang sekali karena mendapat undangan Gala Dinner di Fort Santa Lusia de Calomata atau Benteng Kalamata. Saya membayangkan berada di bastionnya—pojokan benteng yang menjorok—sembari duduk menghadap santapan penggelora selera yang tersaji di meja kayu dengan pendaran lilin.

Namun, ketika kami sampai di depan pintu gerbang benteng, hujan deras datang bersama kilat yang menyambar-nyambar. Badai malam itu mengandaskan fantasi romantik yang dibangun dengan penuh kesabaran sejak siang tadi. Pupusnya angan semakin melecutkan perut yang meradang keroncongan.

Fort Santa Lusia berlokasi di Desa Bastiong. Sebutan “bastiong”, ungkap Koroy pada suatu hari, disematkan lantaran desa itu bersebelahan dengan bastion benteng. Mungkin, warga Ternate adalah orang Indonesia terawal yang mempelajari istilah arsitektur perbentengan. “Kita orang Maluku Utara,” kata Koroy, “bahasa dialek sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa Portugis.” Orang Ternate menyebut topi dengan sebutan “capeo”, yang berasal dari kata “chapéu” dalam bahasa Portugis. Juga, kata “tamate” untuk menyebut buah tomat.

 Di pesisir selatan yang senyap, kami menghampiri Desa Kastela. Nama desa ini mirip dengan “castelo”, bahasa Portugal yang berarti benteng. Fort São João Baptista, pertahanan pertama milik Portugal di Maluku ini diprakarsai Antonio de Brito pada 1522. Pembangunan bertahap telah mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa. Dinding luarnya lebih besar ketimbang Benteng Malaka, dan dikelilingi parit. Ternate Heritage Society menduga, inilah jantung kota kolonial pertama di Indonesia!

Ketika Portugal hengkang dari Ternate, Sultan Baabullah menguasai  Fort São João Baptista pada 1575. Benteng pun berganti nama menjadi Gamlamo, yang bermakna “kampung besar”. Kabarnya, istana kesultanan pernah berada dalam benteng ini. Tak disangka, Spanyol mengambil alih benteng itu pada 1606. Spanyol mengganti Gamlamo dengan nama yang religius: Nuestra Señora del Rosario. Nama itu bermakna “Santa Perawan Maria Ratu Rosario”.

Apes! Kedatangan saya di kota koloni pertama di Nusantara ini sejatinya terlambat beberapa abad. Alih-alih menyaksikan sebuah kota tua yang dikelilingi menara kastel, saya hanya menjumpai dua sisi dinding benteng yang tak utuh lagi. Di dalamnya, tersisa repihan dinding ruangan semata. Serakan batu bata terhampar sejauh mata memandang. Benteng kota ini telah berhenti berdenyut dan menjumpai suratan yang tragis.

Di sudut cagar budaya ini, tampak monumen tugu berkepala bunga cengkih.  Sebuah relief peristiwa yang terjadi pada 28 Februari 1570 di benteng ini menjadi kenangan pahit rakyat Ternate. Sultan Khairun Jamil, tewas ditikam serdadu Portugal di benteng ini. Sementara, relief lain menggambarkan suka cita rakyat Ternate, ketika Sultan Baabullah berhasil melengserkan kuasa Portugal di Ternate pada 31 Desember 1575.

Fort Nuestra Señora del Rosario menatap sendu ke lautan lepas. Di balik reruntuhan benteng kota itu pepohonan menyembunyikan keteduhan Pantai Kastela.

Bersama Hasbi, saya memutari kota untuk kesekian kalinya.  Di kota kecil ini, saya justru lebih sering mendengar pekik-pekik klakson kendaraan. Di Jakarta, terlalu sering membunyikan klakson bisa menjadi pemicu kejengkelan pengendara lain yang berujung perseteruan di jalan raya. Saya salut kepada warga Ternate yang memiliki kesabaran seluas samudra.

Saya bertanya kepada Hasbi, kenapa dirinya gemar membunyikan klakson hampir setiap berpapasan dengan kendaraan lain, sekali pun pada tengah malam. “Daripada nanti terjadi kecelakaan, lebih baik diklakson dulu,” ujar Hasbi dengan tenang sembari tetap mengklakson—Din... Din... Diiiiiinnn!

--------

MAHANDIS YOANATA THAMRIN editor majalah National Geographic Traveler. Perjalanannya ke kota-kota tua telah menggugah minatnya soal sejarah kota dan pelestarian pusaka.