Remah Benteng di Bentang Rempah

By , Kamis, 28 April 2016 | 13:29 WIB

Din... Din... Diiiiiinnn! Setttt! Hasbi, pengemudi kami, membunyikan klakson seraya menginjak pedal rem dengan mendadak. Kami serentak terhuyung ke depan. Uh, mobil ini nyaris menggilas anak kambing yang hendak melintas di jalan raya. Lalu, perjalanan kami berlanjut menyusuri jalan yang membelah Desa Sulamadaha, desa paling utara di Pulau Ternate. Din... Din... Diiiiiinnn!

“Kambing tertabrak di jalan itu bukan masalah kita karena kambing seharusnya dikandangkan,” ujar Sarifudin Koroy yang duduk di kabin depan. Lalu, dia berkelakar, “Kecuali kita menabrak kambing di kandangnya itu baru masalah!”

Koroy, lelaki berkulit gelap yang serejang tampak serius dan serejang tampak jenaka, merupakan pemandu yang menemani kami selama menjelajahi pulau ini. Dia lahir di Ternate, namun leluhurnya berasal dari Kabupaten Kepulauan Sula, kawasan ujung selatan Provinsi Maluku Utara.

“Suku saya datang untuk membantu Kesultanan Ternate,” kata Koroy dengan bangga mengisahkan leluhurnya yang berjejak ke Ternate berabad silam. “Mereka datang sebelas orang.” Ketika itu, demikian sambungnya, Ternate dan Sula merupakan kawasan yang berdaulat. Akhirnya atas titah Sultan, mereka diperbolehkan membuka dan mendiami wilayah di sisi utara Kota Ternate. “Dengan kekuatan selemparan batu, jadilah kampung itu,” kata Koroy sembari menengok ke arah kami yang duduk di kabin belakang. “Di sinilah keturunannya orang Sula—Desa Sulamadaha.”

Tara no ate—asal sebutan Ternate—berarti “turun dan perbaiki”. Saya beruntung bisa menyambangi pulau yang luasnya sekitar dua kali Jakarta Pusat ini; demi menyaksikan sempurnanya perjumpaan sang rawi dan rembulan pada awal Maret silam. Peristiwa gerhana matahari adalah hal lumrah dalam sains. Namun, di mana dan bersama siapa kita kala me­nyaksikannya, itulah yang membuat gerhana menjadi istimewa. Saya kagum dengan perbentengan di Maluku Utara, dan berniat mencumbui salah satunya ketika temaram gerhana tiba.  

Pulau Gapi adalah nama otentik untuk pulau ini. Entah sejak kapan sebutan Pulau Gapi berubah menjadi Pulau Ternate. Bahkan, peta Cosmographia goresan kartografer Sebastian Münster, yang terbit pada 1550, sudah menyebutkan toponimi “Taranate”—meski lokasinya agak mengawur. Münster mendapat rujukan dari peta Ptolomeus, catatan Marco Polo, dan kabar tersegar dari orang-orang Portugal yang menjelajahi Maluku pada awal abad ke-16. Saya pikir, orang-orang Portugal-lah yang harus bertanggung jawab soal penggantian toponimi tanpa kenduri ini.

Sumpah! Ternate sungguh memukau dari ang­kasa. Saat mendusin dalam perjalanan udara Jakarta-Ternate, saya terkesiap dengan gugusan pulau berkelambu kabut pagi. Di antara Pulau Ternate dan Pulau Tidore, tersisip Pulau Maitara. Mata saya, yang masih mengantuk, menyingkap permukiman padat yang menggelayuti pesisir Ternate. Latarnya meneduhkan hati: Puncak Gamalama yang berselendang asap tipis.

Selintas pemandangan itu mengingatkan saya pada litografi karya Francois Valentijn, pegawai VOC (kongsi dagang Hindia Timur). Litografi berjudul “Ternate”, melukiskan panorama kota dari lautan,  terbit dalam Oud en Nieuw Oost Indien pada 1726. Saat itu wajah permukiman Ternate tak sepadat hari ini. Valentijn melukiskan dengan menonjol Fort Oranje dengan berbagai bangunan kantor dan gudang VOC di dalamnya. Kini, pemandangan benteng itu tenggelam dalam kepungan ruko.

“Dahulu ini semua lautan,” ujar Koroy sembari menunjuk deretan ruko kala kami berada di atas gerbang Fort Oranje. “Permukiman di depan benteng ini baru-baru saja.” Pada akhir 1970-an, Koroy masih menyaksikan lautan di depan benteng itu. Sayangnya, beberapa dekade lalu, pesisir itu telah direklamasi demi kompleks pertokoan yang memunggungi samudra—melupakan leluhur mereka yang memuji samudra.

Para pelaut Belanda berhasil mencapai kepulauan ini berkat gulungan peta karya kartografer Portugal yang berhasil mereka curi. Kabarnya, benteng ini dibangun Belanda pada 1607, di atas puing-puing Fort Malayo milik Sultan Ternate. Luasnya, nyaris setara lapangan sepak bola! Benteng ini pernah menjadi kantor pejabat tertinggi VOC, bahkan sebelum Jan Pieterzoon Coen mendirikan Kota Batavia di Sunda Kelapa.

Andai saja Belanda tidak mendapat kapling tanah di Sunda Kelapa, wajah Ternate mungkin akan sehiruk-pikuk Jakarta sekarang. Membayangkannya saja, saya sungguh merasa ngeri.

 “Benteng Oranje memiliki hubungan emosional dengan orang Palembang,” ujar Koroy. “Sultan Badaruddin II dibuang di sini dan wafat di sini pula.” Diaspora pengikut Sultan Palembang itu masih mendiami sudut Kota Ternate. “Sekarang keturunannya masih ada.” Koroy berkata dengan mata berbinar, “Ibu saya masih keturunan Palembang.”

“Wuwww... wuwww... wuwww,” sorak pelancong yang menyaksikan peristiwa ketika rembulan berpelukan dengan rawi di angkasa Fort Tolucco. Mereka bersorak-sorai dan bertepuk tangan meluapkan ketakjuban dan kesyahduan semesta. Jelang pukul sepuluh siang, benteng itu bersaksi atas gelumat dan perasaan campur aduk para pengunjungnya.

Suasana yang tadinya terik dan senyap, sekejap sejuk dan gaduh. Namun, dari jendela benteng yang tak berkusen, ada pula pelancong yang menatap angkasa dengan keharuan mendalam. Di remah benteng Portugal ini saya bersama warga menyaksikan pertunjukan agung di layar semesta.

Benteng ini berada di bukit pesisir Ternate yang menghadap ke selat Halmahera yang membiru. Dari celah benteng, saya menikmati pemandangan laut lepas yang jauh lebih memesona ketimbang Fort Oranje.

Saya mencoba mengingat kembali pendaratan pertama Portugal di pulau ini. Pada 1512, atau beberapa bulan setelah Portugal menguasai Malaka, Fransesco Serrão dan beberapa eskader Portugal berlayar ke Kepulauan Rempah di Maluku.  Ketika Serrão singgah di sebuah pelabuhan di Gresik, Jawa Timur, dia jatuh cinta dengan gadis Jawa, lalu menikahinya untuk hidup bersama ke Maluku.

Singkat cerita, Serrão menjadi tamu terhormat Sultan Ternate untuk perdagangan cengkih dan pala. Sudah suratan, Serao menjadi penjelajah samudra Eropa yang pertama kali menemukan Kepulauan Rempah. Barangkali juga orang Portugal pertama dalam sejarah yang menikahi perempuan Jawa!

Sejarah dunia mengenang bahwa Serrão wafat pada 1522, konon kabarnya diracun oleh Raja Tidore. Namun, mengapa di papan informasi benteng disebutkan bahwa Fort Telucco dibangun Serrão pada 1540? Di sinilah saya menyengir.

Saya berharap dapat menemukan makam Fransesco Serrão. Suatu pagi saya bersama Maulana Ibrahim, Ketua Ternate Heritage Society, menggeratak permakaman Eropa yang terabaikan di Bentengbatu. Lewat toponimi lawasnya, Maulana menduga, dahulu di kawasan ini terdapat benteng. Biasanya, permakaman Eropa memang tak jauh dari benteng.  “Makam Belanda ini berbatasan dengan makam Cina,” ujarnya. “Makam Cina berbatasan dengan makam Muslim.”

“Kalau dilihat di Google Earth,” ujar Maulana, “kawasan ini tampak hijau karena banyak pepophonan—seperti Central Park di New York.” Namun, imbuhnya, sekarang banyak rumah mulai menyusup di antara hijaunya pepohonan itu. “Dibandingkan dengan luasan pada peta 1916,” ujarnya, “luas permakaman tidak menyusut, namun ada ekspansi rumah penduduk ke dalamnya.”

Di sebuah rumah yang berada di kawasan permakaman, saya menjumpai empat nisan Eropa dari abad ke-19. Di sekitar pekarangan rumah itu terserak nisan-nisan tak bertuan dengan berbagai bentuk seolah menyeruak dalam keterpurukan.  

“Saya Hamid Bode tinggal di sini dari 1980-an,” ujar lelaki sepuh kepada kami. Bode sudah terbiasa dengan pemandangan bak latar film horor itu. “Di sini ada Opas Belanda yang kawin dengan perempuan Tidore. Keluarganya masih sering mengunjungi.” Dari nisan-nisan yang bertebaran di pekarangannya, hanya nisan itu yang masih dirawat. Dia pun tidak tahu siapa ahli waris makam-makam lainnya.

Bagaimana soal misi mencari makam Serrão? Ah, lupakan saja. Saya pikir perlu bertahun-tahun untuk menyingkapnya.

Perahu motor kami terempas-empas menuju Pulau Tidore, seberang tenggara Pulau Ternate. Gunung Marijang nan menjulang menjadi tengaranya. Pulau ini pernah berada dalam cengkeraman Raja Spanyol sejak 1522 hingga 1663. To ado re, demikian asal nama Tidore, bermakna “daku telah sampai”.

“Saya Panglima Kesultanan Tidore. Nama saya Kapita Muhammad Ali Alting,” ujar lelaki menak berperawakan tinggi sembari menjabat tangan saya dengan erat. Dia berkaca mata hitam dan berbusana bangsawan setempat: stelan ala Kapten Spanyol berabad silam. Dia mempersilakan saya untuk menikmati tarian dan kudapan di Pantai Tugulufa, Tidore.

Saya menyaksikan gadis-gadis berbusana kebaya putih yang berlenggak-lenggok menari Salai di jalanan aspal. “Salai itu tarian dari Tidore yang menceritakan cara berkomunikasi dengan jin,” ujar Kartika, salah satu penari, kepada saya. “Karena itulah Tidore sering disebut juga Pulau Seribu Jin.”

Kami beringsut ke Fort Torre yang bersarang di bukit sebelah Kesultanan Tidore. Dalam bahasa Spanyol, torre berarti menara. Ketika saya bersiap menapaki tangga batunya, seorang teman seperjalanan berseru sambil menunjukkan bercak-bercak hitam pada foto-foto di pratinjau kameranya. Wajahnya cemas ketika saya tak kunjung menemukan penyakitnya.

Ketika angin laut menyeka jiwa-jiwa nan lelah di pekarangan Fort Torre, teman tadi menghampiri saya dengan semringah. Sembari menenteng kamera, dia berkata bahwa alat pembidik itu sudah sehat seperti sedia kala. Katanya, ada seseorang yang menyarankan untuk membacakan doa sebagai salam kepada yang menghuni tempat keramat ini. Kebetulan, di dekat tangga batu tadi terdapat makam keramat Kesultanan Tidore.

Kendati julukan Tidore telah diruwat menjadi  “Pulau Seribu Masjid”, saya merasa sisi misteriusnya masih membaluri pulau ini. Sore hari menjelang senja, kami kembali melaut ke Ternate.

Kami senang sekali karena mendapat undangan Gala Dinner di Fort Santa Lusia de Calomata atau Benteng Kalamata. Saya membayangkan berada di bastionnya—pojokan benteng yang menjorok—sembari duduk menghadap santapan penggelora selera yang tersaji di meja kayu dengan pendaran lilin.

Namun, ketika kami sampai di depan pintu gerbang benteng, hujan deras datang bersama kilat yang menyambar-nyambar. Badai malam itu mengandaskan fantasi romantik yang dibangun dengan penuh kesabaran sejak siang tadi. Pupusnya angan semakin melecutkan perut yang meradang keroncongan.

Fort Santa Lusia berlokasi di Desa Bastiong. Sebutan “bastiong”, ungkap Koroy pada suatu hari, disematkan lantaran desa itu bersebelahan dengan bastion benteng. Mungkin, warga Ternate adalah orang Indonesia terawal yang mempelajari istilah arsitektur perbentengan. “Kita orang Maluku Utara,” kata Koroy, “bahasa dialek sehari-hari dipengaruhi oleh bahasa Portugis.” Orang Ternate menyebut topi dengan sebutan “capeo”, yang berasal dari kata “chapéu” dalam bahasa Portugis. Juga, kata “tamate” untuk menyebut buah tomat.

 Di pesisir selatan yang senyap, kami menghampiri Desa Kastela. Nama desa ini mirip dengan “castelo”, bahasa Portugal yang berarti benteng. Fort São João Baptista, pertahanan pertama milik Portugal di Maluku ini diprakarsai Antonio de Brito pada 1522. Pembangunan bertahap telah mewujudkan barak, kapel, sekolah, permukiman, dan menara-menara ala kastel di Eropa. Dinding luarnya lebih besar ketimbang Benteng Malaka, dan dikelilingi parit. Ternate Heritage Society menduga, inilah jantung kota kolonial pertama di Indonesia!

Ketika Portugal hengkang dari Ternate, Sultan Baabullah menguasai  Fort São João Baptista pada 1575. Benteng pun berganti nama menjadi Gamlamo, yang bermakna “kampung besar”. Kabarnya, istana kesultanan pernah berada dalam benteng ini. Tak disangka, Spanyol mengambil alih benteng itu pada 1606. Spanyol mengganti Gamlamo dengan nama yang religius: Nuestra Señora del Rosario. Nama itu bermakna “Santa Perawan Maria Ratu Rosario”.

Apes! Kedatangan saya di kota koloni pertama di Nusantara ini sejatinya terlambat beberapa abad. Alih-alih menyaksikan sebuah kota tua yang dikelilingi menara kastel, saya hanya menjumpai dua sisi dinding benteng yang tak utuh lagi. Di dalamnya, tersisa repihan dinding ruangan semata. Serakan batu bata terhampar sejauh mata memandang. Benteng kota ini telah berhenti berdenyut dan menjumpai suratan yang tragis.

Di sudut cagar budaya ini, tampak monumen tugu berkepala bunga cengkih.  Sebuah relief peristiwa yang terjadi pada 28 Februari 1570 di benteng ini menjadi kenangan pahit rakyat Ternate. Sultan Khairun Jamil, tewas ditikam serdadu Portugal di benteng ini. Sementara, relief lain menggambarkan suka cita rakyat Ternate, ketika Sultan Baabullah berhasil melengserkan kuasa Portugal di Ternate pada 31 Desember 1575.

Fort Nuestra Señora del Rosario menatap sendu ke lautan lepas. Di balik reruntuhan benteng kota itu pepohonan menyembunyikan keteduhan Pantai Kastela.

Bersama Hasbi, saya memutari kota untuk kesekian kalinya.  Di kota kecil ini, saya justru lebih sering mendengar pekik-pekik klakson kendaraan. Di Jakarta, terlalu sering membunyikan klakson bisa menjadi pemicu kejengkelan pengendara lain yang berujung perseteruan di jalan raya. Saya salut kepada warga Ternate yang memiliki kesabaran seluas samudra.

Saya bertanya kepada Hasbi, kenapa dirinya gemar membunyikan klakson hampir setiap berpapasan dengan kendaraan lain, sekali pun pada tengah malam. “Daripada nanti terjadi kecelakaan, lebih baik diklakson dulu,” ujar Hasbi dengan tenang sembari tetap mengklakson—Din... Din... Diiiiiinnn!

--------

MAHANDIS YOANATA THAMRIN editor majalah National Geographic Traveler. Perjalanannya ke kota-kota tua telah menggugah minatnya soal sejarah kota dan pelestarian pusaka.