Tawa, Lelah, dan Air Mata Kami

By , Senin, 23 Mei 2016 | 17:00 WIB

Saya masih ingat rute ini pada saat masa kecil bersama keluarga menghabiskan akhir pekan di Danau Toba dari kota Medan. Ingat betul turunan curam sepanjang jalur Tele memasuki kawasan Danau Toba, tidak terbayang apa jadinya bila harus melewati jalur tersebut di kegelapan malam dengan suhu yang begitu rendah dan bantuan penerangan yang amat sangat minimalis.

Dan betul, sesuai dugaan saya akhirnya road captain memutuskan bahwa ke46 dari kami harus dievakuasi menggunakan truk menuju Samosir. Dengan berbalutkan rain coat tipis saya harus menahan gemeretak tulang di dalam mini bus bersama kawan-kawan lain, kami meneruskan perjalanan menuju hotel di Pulau Samosir.

Jadwal istirahat satu hari penuh menjadi bonus istimewa bagi kami untuk memulihkan kondisi fisik dan memeriksa kembali kelayakan sepeda-sepeda. Badan saya terasa lebih bugar setelah beristirahat sehari penuh menikmati keindahan Danau Toba dan Samosirnya. Diwarnai kecelakaan-kecelakaan kecil beberapa kawan menuju pelabuhan penyeberangan di Samosir kami akhirnya sampai di Moeara setelah menumpang kapal feri.

Matahari sudah terik ketika kami meninggalkan dermaga penyeberangan, beberapa kali nyali saya sempat ciut karena mengetahui Tarutung ada di balik bukit yang sudah berdiri mantap di depan kami siang itu. Kayuhan demi kayuhan pun saya tapaki di jalan yang tidak lagi semulus seperti di Aceh.

Rata-rata kondisi jalan berlubang sehingga harus lebih berkonsentrasi menghindari rusaknya beberapa ruas jalan. Beruntung kami ditemani oleh kawan-kawan bermotor yang menyediakan air dan makanan kecil sehingga dalam keadaan panas dan menanjak kami pun bisa memuaskan dahaga serta mengudap camilan sekadar mengisi perut sambil mengayuh sepeda. Hujan pun serasa menjadi hiburan bagi kami saat sore itu memasuki hotel di Kota Tarutung.

Memasuki Padang Sidempuan setelah meninggalkan Tarutung keesokan harinya, emosi mulai kembali membuncah dalam diri saya setelah berhari-hari meninggalkan keluarga dan zona kenyamanan saya di tempat asal. Entah beberapa kali saya menggumam dalam hati, entah apa yang saya kerjakan di sini bersepeda jauh dari rumah. Tetapi lagi-lagi kawan seperjalanan lah yang membuat saya kembali menikmati perjalanan ini, bahwa misi ini belum selesai, saya harus bisa menyelesaikan tantangan ini. Etape demi etape pun bisa saya lewati bersama 45 anggota keluarga baru seperjalanan ini.

Keesokan paginya kami harus berpisah kembali dengan kota yang terkenal dengan buah salaknya, pagi-pagi kami bersama sepeda-sepeda kami sudah kembali berbaris menyusuri jalan kota. Jalan yang cukup mendatar dan cuaca yang bersahabat membuat suasana gowes pagi ini cukup menyejukkan hati. Sempat kami melewati dan berfoto bersama di situs Benteng Huraba, yang sekarang menjadi monumen peringatan perjuangan masyarakat melawan Agresi Militer Belanda.

Selepas makan siang kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Purba Tua yang cukup terkenal dengan pemondokan pesantrennya. Jalanan kembali menanjak setelah cukup lama dihibur sejak pagi tadi oleh turunan dari batas kota, memasuki Purba mulai terlihat di pinggir jalan anak-anak berbusana hampir bisa dibilang seragam bersarung dan berpeci melambai-lambaikan tangan ke arah kami sembari memberi semangat dalam melahap tanjakan-tanjakan yang tersedia.

Pondok-pondok mungil dengan kepala-kepala kecil yang sontak muncul dari balik jendelanya menjadi hiburan mata bagi saya. Senyum bocah-bocah penghuni pesantren itu begitu menyejukkan hati dan menambah semangat saya mengayuh sepeda. Senyum mereka mengingatkan saya pada senyum anak-anak di rumah. Lagi-lagi saya merindu. Ditandai dengan suara-suara vespa tua yang sudah berubah wujud menjadi becak motor dengan beragam hiasan ini dan menjadi semacam ikon kota ini kami pun akhirnya sampai di tempat peristirahatan. Selamat datang di Kotanopan!

Penjelajahan selanjutnya: Lubuksikaping.  Bagian ini akan menjadi akhir dari perjalanan kami di Provinsi Sumatra Utara. Tak terhitung lagi oleh saya berapa jarak total kilometer yang sudah kami tempuh saat melintas di garis perbatasan provinsi siang itu. Kami pun memasuki Sumatra Barat, beristirahat di kota Lubuksikaping untuk besok melanjutkan kembali etape mendaki menuju Bukittinggi.

Pagi di Lubuksikaping, kami memulai ritual pagi dan berdoa bersama sebelum kembali mengayuh sepeda. Rute yang akan kami tempuh hari ini adalah menuju kota Bukittinggi—pertanda sudah semakin dekat jarak kami dengan Kota Padang. Kawan-kawan seperti sudah menemukan ritme tubuhnya masing-masing dan komunikasi antarkami pun terasa makin kental aroma persaudaraan setelah berjuang beretape-etape sejak Nol Kilometer Sabang.

Persinggahan kami pertama sebelum memasuki Bukittinggi adalah Bonjol, tempat di mana kita bisa menemui Tugu Ekuator. Beberapa tahun silam,  rekan-rekan dari Redaksi national geographic traveler menggelar ekspedisi Wisata Lintas Barat Sumatra (WLBS) dan menjadikan titik perlintasan garis khayali pembagi Bumi menjadi dua bagian ini sebagai titik pertemuan antardua tim yang bertolak dari barat (Banda Aceh) dan timur (Lampung). Tekad mereka adalah menunjukkan kebanggaan kepada pembaca setia kami, bahwa Indonesia memiliki titik perlintasan Ekuator begitu banyak. Di sini pula kami melakukan seremoni penanaman pohon dan tak lupa berfoto bersama yang menandai bahwa kami telah melintasi garis Khatulistiwa.