Tawa, Lelah, dan Air Mata Kami

By , Senin, 23 Mei 2016 | 17:00 WIB

Kami tiba di Bukittinggi sore hari. Betapa bahagianya kami saat melihat dari kejauhan sosok legendaris Jam Gadang yang gagah berdiri di tengah lapangan. Sorak sorai ramai kami memenuhi area yang menjadi titik kumpul dan berwisata warga sekitar dan para pejalan ini. Seakan sudah mencapai akhir destinasi, kami meluapkan kegembiraan walaupun dalam hati membatin ada jarak sekitar 100 kilometer yang harus dituntaskan untuk tiba di Kota Padang.

Pada saat ini rasanya jarak sudah bukan lagi menjadi halangan bagi saya dan kawan-kawan lain. Kebersamaan kami terbukti sudah berhasil memupus ketakutan akan jarak dan bagaimana pun kontur jalan yang menghadang kami sepanjang perjalanan.

Hotel dengan pemandangan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang di jendela kamar menjadi tempat peristirahatan yang sempurna sepanjang malam. Yap, esok kami akan tuntaskan misi dan perjalanan kali ini!

Udara dingin khas Bukittinggi jelang fajar itu sudah menanti kami saat berkumpul di lobi hotel The Hills. Gerimis kecil pun menambah dinginnya pagi itu, etape terakhir yang menjadi pamungkas  dari perjuangan kami sudah di depan mata, kondisi apa pun sudah tak lagi menjadi halangan buat kami.

Senyuman sudah mengembang di wajah 45 pesepeda, perlahan namun pasti kami mulai mengayuh keluar dari hotel dengan sepeda kami. Tanjakan sepanjang hampir 10 kilometer  menemani kami keluar Kota Bukittinggi, kemudian kembali mendatar kami menyusuri pinggiran Danau Singkarak. Pada saat ini kecepatan rombongan yang berada di posisi depan sudah tidak lagi tertahan, serasa ingin segera tiba di Kota Padang. Sesekali saya melirik GPS dan tidak mempercayai bahwa kecepatan saya mengayuh si kereta angin ini sudah hampir mencapai 35 kilometer per jam!

Memasuki kawasan Solok kami regrouping dan kembali berhenti cukup lama, karena kami harus menunaikan ibadah salat Jumat. Selepas ibadah Jumat kami melanjutkan perjalanan kembali mengayuh tanjakan-tanjakan yang buat saya mengingatkan akan kondisi jalur Jonggol-Cariu di Pulau Jawa, panas dan tanjakan seakan seiring sejalan menemani kami. Melewati tugu ayam jago di sebelah kiri jalan kami mulai memasuki jalanan menurun, sekitar 30 kilometer curam menurun akhirnya kami mulai memasuki Kota Padang.

Di kilometer-kilometer sebelum menyentuh garis finish hujan kembali mengguyur kami, sirene mobil polisi yang mengawal kami terus meraung-raung membelah lalu lintas Kota Padang sore itu. Akhirnya, kami memasuki area pelataran gubernuran Kota Padang, tanpa dikomando otomatis tangan kami mengacung sembari mengepalkan jemari kami.

Entah apa artinya bagi diri kami masing-masing, tetapi buat saya tuntas sudah perjuangan fisik, emosi, selama 14 hari mengayuh sepeda hampir 1.600 kilometer dari Kota Sabang menuju Padang. Kali kedua selama perjalanan ini, tak terasa air mata mulai mengembang di kelopak mata saya di tengah hiruk pikuk teriakan kawan-kawan yang bersorak sorai sebagai tanda kegembiraan. Diam-diam, saya terharu!

Kami memulai perjalanan sebagai orang asing dan berakhir sebagai sahabat. Usai sudah perjalanan ini, sekali lagi saya belajar dan kembali memahami bahwa inilah esensi sebuah perjalanan. Bukan soal kekuatan, kecepatan, juga bukan soal destinasi semata, tetapi bagaimana kita sampai di tujuan dan mendapatkan makna terdalam dari perjalanan. Bisa mengambil pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih menghargai alam sekitar kita dan kembali keluar dari kenyamanan dengan hakekat terus menjelajah.