Tawa, Lelah, dan Air Mata Kami

By , Senin, 23 Mei 2016 | 17:00 WIB

Pagi itu, 13 Agustus 2013, adalah hari pertama saya untuk mengawali penjelajahan. Saya tergabung dalam rombongan Jelajah Sepeda Sabang Padang Kompas-PGN yang memulai etape pertama, dari total 13 etape menuju Padang. Kami memulai jelajah sepeda dari titik nol kilometer di Sabang, Pulau Weh, Aceh. Tugu Nol Kilometer berlatarkan panorama Laut Andaman menemani kami berbaris rapi dengan sepeda masing-masing. Kami tengah menanti bendera start dikibarkan oleh Sayuti, Asisten I Bidang Pemerintahan Kota Sabang, yang mewakili Walikota Sabang.

Perjalanan hari ini akan menempuh jarak kira-kira 53 kilometer, menuju Banda Aceh. Musik tradisional mengiringi keberangkatan kami. Satu persatu kaki-kaki kami mulai mengayuh pedal sepeda menyusuri jalan di pulau yang terletak di ujung barat Indonesia.

Awal yang tidak ringan mengingat sebagian besar dari 53 kilometer yang harus ditempuh adalah medan yang berbukit naik dan turun menuju pelabuhan penyeberangan. Matahari menemani kami mendaki perbukitan. Di antara kayuh dan peluh, umpatan dan senda gurau sesekali terlontar. Kami terus bertahan, menjaga nyala semangat dalam menyusuri sisa kilometer akhir, sebelum akhirnya memasuki pelabuhan. 

Sore itu, cuaca teduh. Berpayung awan yang menyejukkan hati, kami memasuki Museum Tsunami. Saya melihat alat pencatat perjalanan di sepeda yang sudah menunjukkan jarak kayuhan: 49 kilometer. 

Saya mulai menapaki museum yang menancapkan kenangan atas bencana yang terjadi pada 26 Desember 2004. Saat memasuki satu per satu wahana museum, tanpa sadar, saya menitikkan air mata. Ah, saya terseret duka. Betapa kepanikan melingkupi rakyat saat gelombang besar dari laut meluluhlantakkan. Sore yang tiba-tiba sendu itu, menutup perjalanan saya dan teman-teman jelajah.

Etape dua, Banda Aceh-Calang. Mendung memayungi perjalanan kami menuju Lapangan Blang Padang di Banda Aceh, yang menjadi titik mula etape dua. Menurut catatan perjalanan yang saya pegang, hari ini merupakan salah satu rute panjang dari seluruh etape yang akan kami tempuh menuju Kota Padang. Kami akan menempuh jarak kurang lebih 159 kilometer, menyusuri pantai barat Sumatra.

Kami memulai etape hari ini ditemani oleh rombongan pesepeda Aceh yang dipimpin oleh Kapolda Aceh Irjen Polisi Herman Effendi.  Seperti sudah terbiasa dengan kontur medan dan kondisi jalan, sang Kapolda pun jauh melesat meninggalkan rombongan jelajah yang masih menyesuaikan kondisi fisik setelah kemarin berjibaku dengan tanjakan di Pulau Weh.

Kondisi jalan yang amat sangat mulus ditemani dengan perbukitan di sebelah kiri dan pantai berpasir putih di sebelah kanan benar-benar nyaman sebagai rute bersepeda. Satu-satunya yang membuat kami harus lebih berkonsentrasi adalah begitu banyaknya sapi yang berkeliaran di sepanjang jalan sehingga membuat kami harus mengurangi kecepatan bahkan pada saat jalan menurun.

Hujan pun kembali menemani kami di etape hari ini. Entah karena lelah atau memang medan yang berat, beberapa kali saya sempat merasa terlalu lelah untuk melanjutkan perjalanan. Di beberapa titik saya coba kembali mengatur emosi diri sendiri, dan kembali menemukan nyala semangat melanjutkan perjalanan.

Mengatur emosi adalah sesuatu yang sangat penting dalam melakukan perjalanan bersepeda jarak jauh seperti ini, mental dan fisik menjadi faktor kombinasi yang sangat penting bagi si pesepeda. Di tengah gelapnya malam dan hujan kami menuntaskan hari ini sampai di Hotel Pantai Barat, Calang.

Alarm telepon pintar saya sudah meraung-raung. Penjelajahan diteruskan. Masih sedikit kehilangan orientasi tempat setelah kemarin menempuh etape panjang, saya pun bergegas menyiapkan sepeda. Hari ini kami akan menuju Meulaboh, jarak yang akan ditempuh kira-kira mencapai sekitar 90 kilometer.

Rasanya ini akan menjadi etape pemulihan buat kami setelah menjalani etape berat kemarin. Selepas seremoni singkat pelepasan oleh Wakil Bupati Aceh Jaya, kami dan sepeda-sepeda kami memulai perjalanan hari ini. Masih sama seperti kemarin kondisi jalan aspal yang begitu rata halus tanpa cela pun masih menemani perjalanan kami, ditambah kontur yang cenderung rata membuat hari ini jadi terasa jauh lebih ringan dibandingkan dua hari lalu yang telah kami jalani.

Kami tiba di Meulaboh sebelum hari beranjak malam. Artinya, kami punya kemewahan waktu hari ini untuk beristirahat dan sekadar berkeliling melihat kota Meulaboh. Selepas merapikan barang bawaan, saya dan beberapa kawan bergegas untuk mencari kuliner yang menjadi andalan provinsi ini, mi aceh!

Kota Meulaboh sepertinya sudah bangkit kembali selepas bencana sembilan tahun silam. Saya masih ingat cerita seorang kawan yang kala itu bertugas sebagai dokter di kota ini, gambarannya tentang kondisi kota yang rata disapu gelombang tsunami saat itu benar-benar sudah berbeda hari ini, Meulaboh sudah kembali berdiri.

Setelah beristirahat semalam kami melanjutkan etape berikutnya menuju Kota Blang Pidie. Doa bersama sebagai rutinitas pagi kami mengantarkan rombongan sepeda menyusuri jalan utama kota Meulaboh. Hamparan perkebunan sawit menemani kami mengayuh sepeda melewati jalanan yang berbukit-bukit, teriknya Matahari membuat kami harus lebih berhemat tenaga dan mengatur energi agar bisa mempunyai cukup tenaga sampai di akhir etape.

Dendang lagu pop Aceh dari pengeras suara mobil polisi yang mengawal kami jadi teman selama perjalanan. Rombongan kerap bernyanyi dan tertawa bersama dalam mengatasi kejenuhan. Ah, inilah esensi sebuah perjalanan, menikmati proses dan suka duka bersama, tak hanya soal destinasi semata. Tak terasa pada sore hari kami tiba di Blang Pidie dan menuju penginapan yang menjadi peristirahatan kami malam ini. 

Etape selanjutnya kami mulai dari kantor pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya, dilepas oleh pejabat setempat. Dengan suguhan mi kocok khas Blang Pidie kami mengisi perut pagi itu untuk memulai perjalanan menuju kota Tapaktuan. Bukit demi bukit kembali kami lewati dengan sepeda kami, berbaris dua-dua kami mengayuh sepeda kadang terpisah-pisah karena dalam rombongan mempunyai stamina dan fisik yang tidak merata. Sekadar berbasa-basi dengan kawan di sebelah menjadi siraman rohani yang kadang menolong untuk melawan keletihan dan kebosanan.

Hujan pun mengguyur kami saat memasuki Tapaktuan sore itu, GPS menunjukkan sudah sekitar 75 kilometer jarak yang kami tempuh dari Blang Pidie sampai ke hotel di kota naga ini. Hotel yang terletak di tepi pantai menjadi markas kami malam ini, walau sedikit sulit beristirahat karena di depan kami terpapar bukit menjulang yang akan menjadi pembuka perjalanan kami esok pagi. Meninggalkan pandangan bukit tersebut kami pun beristirahat memulihkan kondisi untuk melanjutkan perjalanan esok.

Gerimis masih membasahi kota Tapaktuan pagi itu saat kami memulai aktivitas rutin menyiapkan sepeda dan melakukan stretching sebelum melanjutkan perjalanan. Selepas seremoni pelepasan oleh bupati, kami pun kembali beriringan bersama meninggalkan kota Tapaktuan. Masih menyusuri pinggir pantai akhirnya kami memasuki kawasan bukit menjulang yang kemarin hanya bisa kami nikmati dari teras kamar hotel.

Rombongan kembali terpecah-pecah, semua menikmati jalan mendaki dengan gaya dan teknik masing-masing. Memasuki hutan yang masih kawasan Taman Nasional Gunung Leuser itu saya bisa menarik napas dalam-dalam mencari oksigen yang terasa bersih dan nyaman masuk ke dalam paru-paru, amat sangat berbeda saat saya bersepeda saban hari dari rumah menuju kantor. Tanjakan halus bisa saya nikmati dengan suguhan rindang dan hijaunya pepohonan sepanjang rute ini.

Etape sepanjang 155 kilometer dengan kontur menanjak yang tiada henti kami selesaikan seiring gelapnya malam dan disambut teriakan penduduk yang berhamburan keluar rumah. Mereka menyambut kami memasuki Kota Subulussalam.

Etape berikutnya Subulussalam-Samosir, Sumatra Utara. Kira-kira jarak yang akan ditempuh sekitar 176 kilometer dengan elevasi yang menyentuh angka 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl), ini mungkin jalur menanjak tertinggi dan terjauh yang akan kami hadapi sebelum titik finish di Kota Padang.

Kontur yang kembali menanjak sehingga kecepatan maksimal dan ketahanan fisik tidak bisa kami capai dengan maksimal, belum lagi waktu yang sudah mendekati untuk menunaikan shalat Jumat, sehingga road captain memutuskan untuk kami berhenti sedikit lebih awal dari lokasi yang sudah ditentukan.

Lepas makan siang, kami memulai kembali bersepeda meneruskan perjalanan, elevasi yang terus meninggi membuat rombongan kembali terpecah-pecah. Suhu pun terus menurun seiring makin tinggi posisi kami menuju Sidikalang. GPS menunjukkan kami sudah berada di titik 1.300-an meter, dan suhu 13 derajat Celcius ketika saya mendapati barikade pengawal mengarahkan kami untuk belok memasuki pelataran sebuah rumah di pinggir jalan kota Sidikalang.

Ternyata road captain memutuskan kami untuk berhenti di titik itu dikarenakan kondisi jalan dan cuaca yang sudah tidak memungkinkan memaksa kami terus mengayuh sepeda. Memang dinginnya tidak terlalu terasa saat saya di atas sepeda karena terus mengayuh dan menghasilkan panas untuk menghangatkan badan, tetapi sesaat setelah berhenti sontak badan langsung menggigil kedinginan karena jersey yang kami pakai pun sudah basah karena keringat setelah melumat tanjakan demi tanjakan.

Saya masih ingat rute ini pada saat masa kecil bersama keluarga menghabiskan akhir pekan di Danau Toba dari kota Medan. Ingat betul turunan curam sepanjang jalur Tele memasuki kawasan Danau Toba, tidak terbayang apa jadinya bila harus melewati jalur tersebut di kegelapan malam dengan suhu yang begitu rendah dan bantuan penerangan yang amat sangat minimalis.

Dan betul, sesuai dugaan saya akhirnya road captain memutuskan bahwa ke46 dari kami harus dievakuasi menggunakan truk menuju Samosir. Dengan berbalutkan rain coat tipis saya harus menahan gemeretak tulang di dalam mini bus bersama kawan-kawan lain, kami meneruskan perjalanan menuju hotel di Pulau Samosir.

Jadwal istirahat satu hari penuh menjadi bonus istimewa bagi kami untuk memulihkan kondisi fisik dan memeriksa kembali kelayakan sepeda-sepeda. Badan saya terasa lebih bugar setelah beristirahat sehari penuh menikmati keindahan Danau Toba dan Samosirnya. Diwarnai kecelakaan-kecelakaan kecil beberapa kawan menuju pelabuhan penyeberangan di Samosir kami akhirnya sampai di Moeara setelah menumpang kapal feri.

Matahari sudah terik ketika kami meninggalkan dermaga penyeberangan, beberapa kali nyali saya sempat ciut karena mengetahui Tarutung ada di balik bukit yang sudah berdiri mantap di depan kami siang itu. Kayuhan demi kayuhan pun saya tapaki di jalan yang tidak lagi semulus seperti di Aceh.

Rata-rata kondisi jalan berlubang sehingga harus lebih berkonsentrasi menghindari rusaknya beberapa ruas jalan. Beruntung kami ditemani oleh kawan-kawan bermotor yang menyediakan air dan makanan kecil sehingga dalam keadaan panas dan menanjak kami pun bisa memuaskan dahaga serta mengudap camilan sekadar mengisi perut sambil mengayuh sepeda. Hujan pun serasa menjadi hiburan bagi kami saat sore itu memasuki hotel di Kota Tarutung.

Memasuki Padang Sidempuan setelah meninggalkan Tarutung keesokan harinya, emosi mulai kembali membuncah dalam diri saya setelah berhari-hari meninggalkan keluarga dan zona kenyamanan saya di tempat asal. Entah beberapa kali saya menggumam dalam hati, entah apa yang saya kerjakan di sini bersepeda jauh dari rumah. Tetapi lagi-lagi kawan seperjalanan lah yang membuat saya kembali menikmati perjalanan ini, bahwa misi ini belum selesai, saya harus bisa menyelesaikan tantangan ini. Etape demi etape pun bisa saya lewati bersama 45 anggota keluarga baru seperjalanan ini.

Keesokan paginya kami harus berpisah kembali dengan kota yang terkenal dengan buah salaknya, pagi-pagi kami bersama sepeda-sepeda kami sudah kembali berbaris menyusuri jalan kota. Jalan yang cukup mendatar dan cuaca yang bersahabat membuat suasana gowes pagi ini cukup menyejukkan hati. Sempat kami melewati dan berfoto bersama di situs Benteng Huraba, yang sekarang menjadi monumen peringatan perjuangan masyarakat melawan Agresi Militer Belanda.

Selepas makan siang kami melanjutkan perjalanan menuju kawasan Purba Tua yang cukup terkenal dengan pemondokan pesantrennya. Jalanan kembali menanjak setelah cukup lama dihibur sejak pagi tadi oleh turunan dari batas kota, memasuki Purba mulai terlihat di pinggir jalan anak-anak berbusana hampir bisa dibilang seragam bersarung dan berpeci melambai-lambaikan tangan ke arah kami sembari memberi semangat dalam melahap tanjakan-tanjakan yang tersedia.

Pondok-pondok mungil dengan kepala-kepala kecil yang sontak muncul dari balik jendelanya menjadi hiburan mata bagi saya. Senyum bocah-bocah penghuni pesantren itu begitu menyejukkan hati dan menambah semangat saya mengayuh sepeda. Senyum mereka mengingatkan saya pada senyum anak-anak di rumah. Lagi-lagi saya merindu. Ditandai dengan suara-suara vespa tua yang sudah berubah wujud menjadi becak motor dengan beragam hiasan ini dan menjadi semacam ikon kota ini kami pun akhirnya sampai di tempat peristirahatan. Selamat datang di Kotanopan!

Penjelajahan selanjutnya: Lubuksikaping.  Bagian ini akan menjadi akhir dari perjalanan kami di Provinsi Sumatra Utara. Tak terhitung lagi oleh saya berapa jarak total kilometer yang sudah kami tempuh saat melintas di garis perbatasan provinsi siang itu. Kami pun memasuki Sumatra Barat, beristirahat di kota Lubuksikaping untuk besok melanjutkan kembali etape mendaki menuju Bukittinggi.

Pagi di Lubuksikaping, kami memulai ritual pagi dan berdoa bersama sebelum kembali mengayuh sepeda. Rute yang akan kami tempuh hari ini adalah menuju kota Bukittinggi—pertanda sudah semakin dekat jarak kami dengan Kota Padang. Kawan-kawan seperti sudah menemukan ritme tubuhnya masing-masing dan komunikasi antarkami pun terasa makin kental aroma persaudaraan setelah berjuang beretape-etape sejak Nol Kilometer Sabang.

Persinggahan kami pertama sebelum memasuki Bukittinggi adalah Bonjol, tempat di mana kita bisa menemui Tugu Ekuator. Beberapa tahun silam,  rekan-rekan dari Redaksi national geographic traveler menggelar ekspedisi Wisata Lintas Barat Sumatra (WLBS) dan menjadikan titik perlintasan garis khayali pembagi Bumi menjadi dua bagian ini sebagai titik pertemuan antardua tim yang bertolak dari barat (Banda Aceh) dan timur (Lampung). Tekad mereka adalah menunjukkan kebanggaan kepada pembaca setia kami, bahwa Indonesia memiliki titik perlintasan Ekuator begitu banyak. Di sini pula kami melakukan seremoni penanaman pohon dan tak lupa berfoto bersama yang menandai bahwa kami telah melintasi garis Khatulistiwa.

Kami tiba di Bukittinggi sore hari. Betapa bahagianya kami saat melihat dari kejauhan sosok legendaris Jam Gadang yang gagah berdiri di tengah lapangan. Sorak sorai ramai kami memenuhi area yang menjadi titik kumpul dan berwisata warga sekitar dan para pejalan ini. Seakan sudah mencapai akhir destinasi, kami meluapkan kegembiraan walaupun dalam hati membatin ada jarak sekitar 100 kilometer yang harus dituntaskan untuk tiba di Kota Padang.

Pada saat ini rasanya jarak sudah bukan lagi menjadi halangan bagi saya dan kawan-kawan lain. Kebersamaan kami terbukti sudah berhasil memupus ketakutan akan jarak dan bagaimana pun kontur jalan yang menghadang kami sepanjang perjalanan.

Hotel dengan pemandangan Gunung Marapi dan Gunung Singgalang di jendela kamar menjadi tempat peristirahatan yang sempurna sepanjang malam. Yap, esok kami akan tuntaskan misi dan perjalanan kali ini!

Udara dingin khas Bukittinggi jelang fajar itu sudah menanti kami saat berkumpul di lobi hotel The Hills. Gerimis kecil pun menambah dinginnya pagi itu, etape terakhir yang menjadi pamungkas  dari perjuangan kami sudah di depan mata, kondisi apa pun sudah tak lagi menjadi halangan buat kami.

Senyuman sudah mengembang di wajah 45 pesepeda, perlahan namun pasti kami mulai mengayuh keluar dari hotel dengan sepeda kami. Tanjakan sepanjang hampir 10 kilometer  menemani kami keluar Kota Bukittinggi, kemudian kembali mendatar kami menyusuri pinggiran Danau Singkarak. Pada saat ini kecepatan rombongan yang berada di posisi depan sudah tidak lagi tertahan, serasa ingin segera tiba di Kota Padang. Sesekali saya melirik GPS dan tidak mempercayai bahwa kecepatan saya mengayuh si kereta angin ini sudah hampir mencapai 35 kilometer per jam!

Memasuki kawasan Solok kami regrouping dan kembali berhenti cukup lama, karena kami harus menunaikan ibadah salat Jumat. Selepas ibadah Jumat kami melanjutkan perjalanan kembali mengayuh tanjakan-tanjakan yang buat saya mengingatkan akan kondisi jalur Jonggol-Cariu di Pulau Jawa, panas dan tanjakan seakan seiring sejalan menemani kami. Melewati tugu ayam jago di sebelah kiri jalan kami mulai memasuki jalanan menurun, sekitar 30 kilometer curam menurun akhirnya kami mulai memasuki Kota Padang.

Di kilometer-kilometer sebelum menyentuh garis finish hujan kembali mengguyur kami, sirene mobil polisi yang mengawal kami terus meraung-raung membelah lalu lintas Kota Padang sore itu. Akhirnya, kami memasuki area pelataran gubernuran Kota Padang, tanpa dikomando otomatis tangan kami mengacung sembari mengepalkan jemari kami.

Entah apa artinya bagi diri kami masing-masing, tetapi buat saya tuntas sudah perjuangan fisik, emosi, selama 14 hari mengayuh sepeda hampir 1.600 kilometer dari Kota Sabang menuju Padang. Kali kedua selama perjalanan ini, tak terasa air mata mulai mengembang di kelopak mata saya di tengah hiruk pikuk teriakan kawan-kawan yang bersorak sorai sebagai tanda kegembiraan. Diam-diam, saya terharu!

Kami memulai perjalanan sebagai orang asing dan berakhir sebagai sahabat. Usai sudah perjalanan ini, sekali lagi saya belajar dan kembali memahami bahwa inilah esensi sebuah perjalanan. Bukan soal kekuatan, kecepatan, juga bukan soal destinasi semata, tetapi bagaimana kita sampai di tujuan dan mendapatkan makna terdalam dari perjalanan. Bisa mengambil pelajaran untuk menjadi pribadi yang lebih menghargai alam sekitar kita dan kembali keluar dari kenyamanan dengan hakekat terus menjelajah.