Ronce-Ronce dari Rote

By , Senin, 5 September 2016 | 12:18 WIB

Kami bergerak menjauhi dermaga, menyeberangi lapangan yang sekelilingnya ditumbuhi bunga tapak dara, dan berhenti di depan sebuah bangunan putih memesona. Sebuah plang dari papan warna putih kusam terpancang di halaman depan. Inilah Sekolah Dasar Negeri Landu, sekolah paling selatan di Indonesia. Sekolah ini berada di Desa Landu, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.

Sekolah ini dilengkapi dengan enam ruang kelas, sanitasi dan perpustakaan. Di bawah pimpinan Kepala Sekolah Yohanes Tela Doni, ada delapan guru yang mengajar 135 siswa di sini. Sayangnya, waktu kunjungan kami ke SD Negeri Landu bertepatan dengan liburan sekolah, sehingga sekolah sepi dari kegiatan belajar mengajar atau aktivitas lainnya.

“Tidak adakah guru yang tinggal di sini?” tanya saya pada Dahun.

“Tidak ada,” jawabnya, “Semua guru di sini asalnya dari darat [Pulau Rote]. Kebanyakan anak-anak asli  sini lebih pilih sekolah kesehatan.”

Menurut Dahun, ketiadaan tenaga medis di Desa Landu menjadi faktor yang mendorong anak-anak muda desa ini memilih melanjutkan pendidikan di bidang kesehatan.

“Kami di sini punya puskesmas bagus. Tapi sekarang puskesmasnya jadi kandang kambing karena tidak ada bidannya,” ujarnya.

SD Negeri Landu merupakan satu-satunya sekolah di Pulau ini. Siswa yang telah lulus SD harus menyeberang ke Pulau Rote untuk melanjutkan pendidikan di tingkat menengah. Biasanya di Rote, mereka menyewa kamar kos atau menumpang di rumah saudara selama hari-hari sekolah, dan baru pulang ke Landu tiap akhir pekan.

“Kami di sini punya puskesmas bagus. Tapi sekarang puskesmasnya jadi kandang kambing karena tidak ada bidannya,”

Dahun membawa kami menyusuri jalan desa yang terbuat dari semen. Saat matahari tepat berada di atas kepala dan panasnya membakar ubun-ubun, menjejak jalan semen ini cukup menyiksa telapak kaki. Di tambah lagi, aneka  kotoran hewan banyak berserakan di mana-mana. Saya teringat sandal yang tertinggal di perahu. Seandainya tadi saya membawanya…

Di desa ini, masyarakatnya mayoritas bekerja sebagai nelayan atau petani rumput laut. Dulu, mutiara pernah menjadi komoditi andalan daerah itu. Tetapi akibat eksploitasi berlebih, bisnis mutiara mulai runtuh pada 2000-an. Saat ini, rumput lautlah yang menjadi nafas penduduk Pulau Landu.

Siang itu, suasana desa cukup lengang. Babi-babi peliharaan tertidur di bawah sepetak bayangan pohon yang tumbuh di halaman rumah. Di teras sebuah rumah, dua orang perempuan tengah sibuk mengamplas suatu benda berbentuk pipih. Penasaran, saya bertanya pada salah satu dari mereka, apa sebenarnya benda pipih itu?

“Gelang kulit penyu,” jawab perempuan itu.

Saya mengamati gelang itu. Ini kulit penyu, pikir saya tak percaya. Saya membayangkan bagaimana penyu-penyu yang jumlahnya kian menyusut itu ditangkapi satu per satu dan dikuliti tanpa ampun. Dagingnya mungkin dijual untuk dikonsumsi. Karapasnya juga dijual sebagai barang hias.