“Di sini pernah ada orang yang digigit buaya,” ujar Dahun, nahkoda kapal yang akan membawa kami ke Pulau Landu.
Sejurus kemudian ia melanjutkan, “Kejadiannya sudah lama, orang itu mabuk dan terjatuh ke air. Tapi sampai sekarang buaya masih sering muncul di sini, panjangnya bisa sampai enam meter.”
Glek! Saya menelan ludah. Ucapannya membuat saya gentar.
Saya menatap perahu kayu yang bakal kami naiki, panjangnya sekitar tujuh meter. Bagaimana kalau tiba-tiba buaya muara membalikkan perahu itu? Seakan bisa membaca pikiran saya, lelaki itu berkata, “Tenang saja, kalau kita tidak ganggu, mereka juga tidak ganggu kita.”
Dahun berbadan kekar, dengan kulit hitam legam akibat sering bercumbu dengan sinar matahari Rote yang garang. Deretan gigi putih bersih di balik senyumnya yang menawan memancarkan kesan ramah dan bersahabat. Ia berdarah nelayan tulen. Ayah, kakek, dan kakek buyutnya semua nelayan. “Saya ini anggota PNS, bukan Pegawai Negeri Sipil, tapi Partai Nelayan Sejati,” kelakarnya.
Kami sedang berada di kampung pesisir di Batutua, Ibukota Kecamatan Rote Barat Daya. Dari sini, kami harus menyeberangi lautan untuk mencapai Pulau Landu. Jadi, di sinilah kami sekarang. Di atas sebuah perahu kayu tak seberapa besar, terombang-ambing di lautan dengan ombak dari Samudera Hindia yang bergulung-gulung.
Dahun menatap lautan di hadapannya. Lengan-lengannya yang berurat memegang kemudi dengan mantap. Tuhan telah menganugerahinya kemampuan berkawan dengan lautan. Ia memahami laut seperti Ia memahami dirinya sendiri. Sang nahkoda membawa perahu kami menari-nari di atas lautan.
“Saya ini anggota PNS, bukan Pegawai Negeri Sipil, tapi Partai Nelayan Sejati,” kelakar Dahun.
Laut dan langit biru membentang di hadapan. Di horizon, garis tipis memisahkan keduanya. Ingatan saya melayang sejenak. Beberapa saat lalu sebelum mengarungi lautan, kami melintasi jalanan beraspal nan mulus. Di kanan kiri, padang rumput berwarna emas kecokelatan diselingi oleh perdu, pepohonan dan batang pohon yang meranggas daunnya, berjajar seakan tiada habis.
Terkadang tampak segerombolan sapi atau domba yang tengah merumput dengan khidmat, atau berleyeh-leyeh di bawah pohon, menekuk kaki mereka dan mulai memamah biak. Pemandangan itu seperti melemparkan saya ke tempat-tempat di Afrika yang gambarnya sering menghiasi majalah-majalah atau blog tentang perjalanan. Tetapi, ini bukanlah Afrika. Panorama seperti ini bisa Anda temukan di Pulau Rote, di ujung selatan Indonesia.
Matahari bersinar terik. Panasnya bukan main. Angin padang rumput menyelinap melalui jendela mobil yang sengaja dibuka. Hawa panas turut menyusup. Cuaca seperti ini membuat tubuh lekas berkeringat—meski cepat pula hilang tersapu angin, dan membuat kerongkongan kering.
Pemandangan berganti dari sabana menjadi rumah-rumah penduduk. Kebanyakan rumah merupakan bangunan semi permanen. Berdinding batako di bagian depan, papan di bagian belakang dan beratap seng, namun ada pula rumah berdinding papan dengan beratapkan daun lontar. Di halaman-halaman rumah, ada banyak babi, kambing, dan anjing yang berkeliaran.
Setengah jam digoyang ombak, perahu kami perlahan bersandar di dermaga kecil. Air lautnya berwarna biru kehijauan. Beberapa perahu juga tampak bersandar di sana. Satu persatu kami turun dari perahu, berhati-hati merangkak di haluan perahu yang sempit. Jika sekali terpeleset, habislah sudah. Saya meninggalkan alas kaki di perahu agar bisa merasakan langsung menjejak pasir di pulau tersebut. Sebuah keputusan yang akan saya sesali kemudian.
Pulau Landu, warga menyebutnya Pulau Landu Ti. Kata “Ti” berasal dari nama suku di daerah Rote, suku Thie. Pulau paling selatan Indonesia memang bukan Pulau Landu, melainkan Pulau Ndana. Akan tetapi di Pulau Ndana tidak ada permukiman penduduk, hanya ada markas Marinir Angkatan Laut yang menjaga daerah perbatasan Indonesia. Alhasil, Desa Landu pun didaulat menjadi desa paling selatan di Indonesia.
Kami bergerak menjauhi dermaga, menyeberangi lapangan yang sekelilingnya ditumbuhi bunga tapak dara, dan berhenti di depan sebuah bangunan putih memesona. Sebuah plang dari papan warna putih kusam terpancang di halaman depan. Inilah Sekolah Dasar Negeri Landu, sekolah paling selatan di Indonesia. Sekolah ini berada di Desa Landu, Kecamatan Rote Barat Daya, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Sekolah ini dilengkapi dengan enam ruang kelas, sanitasi dan perpustakaan. Di bawah pimpinan Kepala Sekolah Yohanes Tela Doni, ada delapan guru yang mengajar 135 siswa di sini. Sayangnya, waktu kunjungan kami ke SD Negeri Landu bertepatan dengan liburan sekolah, sehingga sekolah sepi dari kegiatan belajar mengajar atau aktivitas lainnya.
“Tidak adakah guru yang tinggal di sini?” tanya saya pada Dahun.
“Tidak ada,” jawabnya, “Semua guru di sini asalnya dari darat [Pulau Rote]. Kebanyakan anak-anak asli sini lebih pilih sekolah kesehatan.”
Menurut Dahun, ketiadaan tenaga medis di Desa Landu menjadi faktor yang mendorong anak-anak muda desa ini memilih melanjutkan pendidikan di bidang kesehatan.
“Kami di sini punya puskesmas bagus. Tapi sekarang puskesmasnya jadi kandang kambing karena tidak ada bidannya,” ujarnya.
SD Negeri Landu merupakan satu-satunya sekolah di Pulau ini. Siswa yang telah lulus SD harus menyeberang ke Pulau Rote untuk melanjutkan pendidikan di tingkat menengah. Biasanya di Rote, mereka menyewa kamar kos atau menumpang di rumah saudara selama hari-hari sekolah, dan baru pulang ke Landu tiap akhir pekan.
“Kami di sini punya puskesmas bagus. Tapi sekarang puskesmasnya jadi kandang kambing karena tidak ada bidannya,”
Dahun membawa kami menyusuri jalan desa yang terbuat dari semen. Saat matahari tepat berada di atas kepala dan panasnya membakar ubun-ubun, menjejak jalan semen ini cukup menyiksa telapak kaki. Di tambah lagi, aneka kotoran hewan banyak berserakan di mana-mana. Saya teringat sandal yang tertinggal di perahu. Seandainya tadi saya membawanya…
Di desa ini, masyarakatnya mayoritas bekerja sebagai nelayan atau petani rumput laut. Dulu, mutiara pernah menjadi komoditi andalan daerah itu. Tetapi akibat eksploitasi berlebih, bisnis mutiara mulai runtuh pada 2000-an. Saat ini, rumput lautlah yang menjadi nafas penduduk Pulau Landu.
Siang itu, suasana desa cukup lengang. Babi-babi peliharaan tertidur di bawah sepetak bayangan pohon yang tumbuh di halaman rumah. Di teras sebuah rumah, dua orang perempuan tengah sibuk mengamplas suatu benda berbentuk pipih. Penasaran, saya bertanya pada salah satu dari mereka, apa sebenarnya benda pipih itu?
“Gelang kulit penyu,” jawab perempuan itu.
Saya mengamati gelang itu. Ini kulit penyu, pikir saya tak percaya. Saya membayangkan bagaimana penyu-penyu yang jumlahnya kian menyusut itu ditangkapi satu per satu dan dikuliti tanpa ampun. Dagingnya mungkin dijual untuk dikonsumsi. Karapasnya juga dijual sebagai barang hias.
Menurut penuturan perempuan tersebut, gelang-gelang itu merupakan pesanan dari pedagang cendera mata di Rote. Gelang kulit penyu cukup laris di kalangan wisatawan. Inilah sebenarnya salah satu akar masalah mengapa kejahatan terhadap satwa langka dilindungi masih saja terjadi. Jika demikian, maka tak lama lagi hewan-hewan langka itu akan benar-benar punah di alam liar.
“Kita duduk-duduk dulu di sini,” kata Dahun, “ini rumah nenek saya,” tambahnya. Kopi-kopi dengan uap mengepul dihidangkan bersama biskuit krim cokelat. Setelah menyesap kopinya, Dahun mulai bercerita.
“Saya sudah tiga kali ditangkap tentara Australia karena melanggar perbatasan. Satu kali saya dipenjara di sana selama enam bulan,” tuturnya. Alih-alih menunjukkan kesedihan atau penyesalan, raut wajahnya justru semringah. Bagaimana mungkin orang yang berkisah tentang kehidupannya di penjara dengan wajah bahagia seperti mendapat lotre?
“Di sana dokternya ramah, perawatnya cantik-cantik. Lihat mereka tersenyum saja sudah sembuh sakitnya.”
Selama di penjara, ia sempat dipindahkan ke blok lain karena terlibat perkelahian dengan sesama narapidana. Di blok baru, ia diangkat sebagai ketua. Karena sudah bosan makan ikan, saat di penjara Dahun berkata pada penjaga, “Kita orang Indonesia tidak bisa makan ikan, nanti sakit.” Padahal itu sekadar alasannya untuk bisa makan daging.
Ketika bosan berada di penjara, Dahun punya trik khusus agar bisa berjalan-jalan menghirup udara segar di luar dan menikmati pemandangan, yaitu dengan berpura-pura sakit. Para sipir di sana khawatir begitu ada tahanan yang sakit, dan bergegas membawanya ke rumah sakit berfasilitas lengkap.
“Di sana dokternya ramah, perawatnya cantik-cantik. Lihat mereka tersenyum saja sudah sembuh sakitnya,” kenang Dahun sambil mesem. Kami pun tergelak mendengarnya.
Kami hanyut dalam kelakar dan cerita. Setelah menjejakkan kaki ke daratan Rote, kami beristirahat sejenak di halaman rumah Dahun.
“Presiden Jokowi belum pernah ke Pulau Landu,” celetuk Dahun di tengah-tengah perbincangan.
“Wah, kalau Bu Susi udah pernah belum?” tanya seorang teman seperjalanan.
“Belum juga. Hanya Pak SBY yang sudah pernah ke Pulau Ndana, tapi dia juga belum pernah ke Landu,” ucap Dahun.
Jika pernyataan Dahun benar, bolehlah saya sedikit berbangga hati. Tidak ada yang menyangkal kehebatan ketiga orang penting di Indonesia itu. Tetapi setidaknya, saya mengungguli ketiganya dalam satu hal: Saya menginjakkan kaki di desa terselatan Indonesia lebih dahulu dari mereka.