Pulau Vulkanik di Tengah Atlantik

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 18:00 WIB

Penyeka kaca mobil Arctic Adventures kami bergerak-gerak lambat, menghalau salju yang berubah jadi air di kaca depan. Seluruh kaca jendela mobil tersamar oleh embun. Di luar badai kencang. Kami dikelilingi oleh selimut salju yang membuat segalanya hanya kelihatan putih. Itu sebabnya mobil kami berjalan merangkak. Sesekali, kami berpapasan dengan mobil lain yang juga melaju lambat.

Sore itu, jarak pandang tidak lebih dari sepuluh meter. Batas-batas antara jalan raya dan padang es tidak jelas lagi. Aspal tertutup salju. Satu-satunya penanda bahwa kami masih berada di jalan raya adalah pembatas berwarna oranye di kiri dan kanan jalan yang terpasang setiap lima meter.

Semakin gelap, wajah Frímann Ingvarsson terlihat tegang di balik kemudi. Tubuhnya dimajukan sedikit menempel ke setir, supaya ia bisa melihat lebih jelas. Frímann adalah pemandu dari Arctic Adventures, operator tur kami untuk mengembarai pesisir selatan Islandia.

Hati saya berdegup-degup, namun mencoba tenang. Sempat terlintas, kalau tidak selamat dari badai ini, setidaknya saya mengisi jam-jam terakhir hidup dengan luar biasa. Pasrah.

“Hi, i am frímann,” katanya saat pertama kali bertemu dengan saya dan Giri Prasetyo, teman seperjalanan saya.

Kami dijemput tepat di depan penginapan di Reykjavik pagi-pagi sekali. Kami siap untuk berpetualang di area pesisir selatan Islandia. Kenapa wilayah selatan? Sebab, di sinilah tempat beragam air terjun mengagumkan, padang gletser terluas, serta danau gletser terdalam di Eropa.

Dari Reykjavik, kami butuh waktu hingga lima jam untuk sampai di South Coast. Jalan raya di sini terlihat begitu panjang dan sepi. Kadang-kadang berliku di beberapa tempat. Ini mengingatkan saya pada novel klasik karya sastrawan angkatan Pujangga Baru, Mochtar Lubis. Judulnya, Jalan Tak Ada Ujung.

Sepanjang jalan, di kanan dan kiri, panorama yang tertangkap mata didominasi warna putih. Sesekali, ada kuda-kuda berbulu tebal yang berlari-lari di atas salju. Rumah-rumah kecil terlintas cepat.

“Ó, góðan daginn. Ég úr þér ríf ísjaka og grýlukertin og harðfenni og hendi út á haf Þar sem sjórinn flæðir og salt ísinn bræðir.”—Oh, selamat pagi. Saya mengentaskanmu dari gunung es dan salju beku, lalu membuangnya ke laut tempat alun laut dan garam melelehkan es.

Sekejap dendang si Jonsi—gitaris dan vokalis Islandia dari kelompok band Sigur Rós—bergaung di benak seketika saat saya melihat salju sebanyak itu.

Orang-orang Islandia berbicara sangat cepat. Mereka memiliki aksen unik saat berbahasa Inggris, namun tak sekental aksen orang Skotlandia. Di belahan bumi ini saya menjumpai kesulitan untuk mengingat sederet toponimi—bukan karena kedinginan, melainkan kesulitan mengingatnya. Butuh waktu beberapa hari untuk bisa mengingat nama-nama ikonik seperti Hallgrimskirkja, Laugavegur, Skipholt, Svinafellsjokull.

Begitu tiba di pesisir selatan, kami mendatangi dua air terjun tercantik di dunia: Seljalandsfoss dan Skogafoss.

Destinasi pertama, Seljalandsfoss yang berada di “Route 1”. Begitu berdiri di hadapannya, saya bisa tahu alasan air terjun ini disebut tercantik di dunia. Air terjun ini memiliki tinggi 60 meter dengan dinding-dinding batu kehitaman yang gagah.