Pulau Vulkanik di Tengah Atlantik

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 18:00 WIB

Hari kedua di pesisir selatan adalah tentang gletser. Semalam, saya dan Giri tidak kembali ke Reykjavik. Kami tinggal di Skaftafell, kawasan yang termasuk Taman Nasional Vatnajökull sejak 2008.

Di awal pagi, langit cerah berwarna biru. Saya melihat gawai cerdas yang menunjukkan suhu 4 derajat Celsius.

Ada rumah kecil biru di samping penginapan. Warga Islandia selalu membuat rumah-rumah kecil di sebelah rumah utama. Kadang mereka menggunakannya sebagai gudang. Tetapi, sebagian besar percaya, ini diperuntukkan bagi tempat tinggal elf, sehingga menghindarkan diri mereka dari kesialan.

Negeri di tengah Samudra Atlantik ini memiliki sekitar 200 gunung berapi yang sebagian besar masih aktif. Bahkan, negeri ini dijuluki sebagai The Land of Ice and Fire oleh banyak orang.  Saya bisa paham alasannya setelah berkesempatan menjelajahi Vatnajökull. Jökull dalam bahasa Islandia artinya “gletser”, sementara Vatna berarti “air”.

Vatnajökull bukan sembarang padang gletser. Inilah area gletser terbesar di Islandia dan kedua di Eropa, yang menutupi hingga delapan persen dari daratan negara ini. Vatnajökull juga disebut sebagai wilayah ice cap dengan volume terbesar di dunia. Volumenya mencapai hingga 3.100 kilometer kubik dengan rata-rata ketebalan 400-1.000 meter!

Frímann melewati sebuah jembatan, lalu berbelok di lahan parkir. “Selamat datang di Jökulsárlón!” katanya. Banyak jip berban besar terparkir di sana. Kami sampai di danau terdalam dan salah satu yang terbesar di Eropa. Letaknya di gletser Breiðamerkurjökull. Ukuran danau ini sudah membesar empat kali lipat sejak 1970-an, karena mencairnya gletser.

Sebagai orang Nordik, ia bisa jadi sudah tahu akan bidal lama yang terbilang, “Kemst þó hægt fari,” yang artinya “kita akan mencapai tujuan, meskipun bepergian perlahan-lahan.”

Suara Frímann memecah keheningan. Ia memperkenalkan kami kepada seorang lelaki yang sudah lengkap dengan helm dan crampon di kakinya. Rupanya, hal pertama yang kami lakukan hari itu adalah ice caving.

Mengendarai jip, kami menyusuri Breiðamerkurjökull yang sangat putih. Terasa ban-ban jip menapak salju, suaranya seperti melindas kapas renyah.

Setelah 15 menit menyusuri padang gletser, kami tiba di sebuah titik pemberhentian. Hanya ada mulut kecil di permukaan gletser, yang kemudian seperti membentuk terowongan bawah tanah.

Menjelajahi gua es ini hanya bisa dilakukan saat musim dingin. Lokasinya berubah-ubah. Gua es yang saya datangi disebut Crystal Cave. Letaknya di Breiðamerkurjökull, area terbaik untuk mengeksplorasi gua es di Islandia.

Crampon sudah terpasang di kedua kaki, dan helm sudah aman melindungi kepala. Saatnya menjelajahi gua es!

Sesuai namanya, “gua kristal”, dinding-dinding es ini begitu bening, serupa kristal. Di dalam es tersebut, kadang ada guratan-guratan hitam yang berasal dari debu vulkanik. Dinding es menerangi gua dengan warna biru nan cantik. Kadang, kami harus berjalan jongkok. Kadang bahkan merangkak untuk menelusuri gua.

Tiba-tiba turun salju. Semakin lama, semakin deras. Membuat Frímann memutuskan agar kami segera menuju destinasi berikutnya: Svínafellsjökull.

Jika ada yang bisa membuat bulu kuduk saya berdiri melebihi dinginnya suhu di Islandia, salah satunya mungkin Svínafellsjökull. Lokasinya masih berada di kawasan lestari Taman Nasional Vatnajökull.

Sejak masih berada di jalan raya, saya sudah bisa melihat gerai-gerai gletser karena warna birunya yang memukau. Es-es di Svínafellsjökull seperti pahatan maestro seni rupa. Bentuknya begitu estetis. Beberapa menyerupai ombak. Beberapa yang lain begitu mulus seperti dipoles.

Banyak orang menjadikan Svínafellsjökull sebagai spot glacier walk favorit di Islandia. Hanya saja, begitu berhadapan dengan alam bebas, kita harus berangkat dengan persiapan yang matang. Seperti crampon, helm, kapak es, dan lain-lain. Ada papan peringatan yang menyadarkan kita untuk hati-hati, seperti tugu peringatan hilangnya Mathias Hintz dan Thomas Grundt dari Jerman, sejak 1 Agustus 2007.

Kian sore, suhu semakin dingin, mencapai di bawah nol derajat Celsius. Angin membesar. Langit juga mulai tertutup kabut salju. Kami masih harus menempuh perjalanan selama lima jam untuk menuju Reykjavik.

Seisi mobil mulai bersuara ketika di kiri-kanan jalan sudah ada lampu jalan. Tandanya, Reyjkavik sudah dekat. Di hadapan kami, mulai kelihatan lampu-lampu permukiman yang tampak seperti bokeh.

“Well, Reykjavik, guys!” ada kelegaan dalam suara Frímann.

Ah, untunglah, Frímann berhasil mengeluarkan kami dari selubung salju itu dengan selamat. Sungguh, pemandu yang andal dan sopir yang cekatan. Sebagai orang Nordik, ia bisa jadi sudah tahu akan bidal lama yang terbilang, “Kemst þó hægt fari,” yang artinya “kita akan mencapai tujuan, meskipun bepergian perlahan-lahan.”