Menghitung Napas di Negeri Sang Buddha

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 15:30 WIB

saya dan teman-teman memulai perjalanan dari Kathmandu. Dari jantung ibu kota ini, kami meniti perjalanan dengan bus yang sejatinya cukup nyaman. Celakanya, ketika kami melewati rute berliku, beberapa penumpang mengalami mabuk perjalanan. Parahnya lagi, mereka tak kuasa muntah di dalam kabin. Saya terpaksa membuka jendela bus, membiarkan angin dingin memasuki kabin.

Nepal terlihat religius. Rumah ibadah berdiri sangat megah. Saya banyak menjumpai tulisan “Buddha was born here” di berbagai kendaraan atau pertokoan—meski 80 persen warganya adalah Hindu.

Hawa dingin yang menyentuh kulit menjadi terasa ngilu, walau baju saya berlapis. Bahkan, saya perlu tambahan baju hangat yang terpaksa dibeli di toko setempat. Saya sekadar berjaga-jaga, karena perjalanan ke Pegunungan Himalaya tentu rasa bekunya akan lebih menantang ketimbang Kathmandu. Yang membuat saya heran, betapa pun dinginnya, warga setempat menyikapi musim dingin hanya dengan selimut tebal—tanpa pemanas ruangan.

Selama delapan jam perjalanan yang memuakkan, akhirnya saya sampai juga di Pokhara. Kota ini menjadi kegemaran bagi para pejalan karena bentang kotanya menyajikan keindahan Pegunungan Himalaya dari jarak yang lebih dekat.

Di Pokhara, saya bertemu dengan Tai Eagle Oak, lelaki berusia 70 tahun yang membiarkan rambut,  jenggot, dan kumisnya memanjang—mirip Leonardo Da Vinci! Dia pemilik situs American Bhogee, yang berisi filosofi-filosofi kehidupan yang telah ia alami. Kebetulan Tai menghuni kamar di sebelah kamar saya, sehingga kami lebih mudah berbincang.

“Saya tidak punya rumah, tidak punya mobil, tetapi saya merasakan bahwa saya kaya raya,” ucap Tai Eagle Oak.

Tai berkebangsaan Amerika. Namun, dia telah meninggalkan segala kemegahan Los Angeles dan menghabiskan waktunya bertahun-tahun menjadi “seorang kaya tanpa punya apa-apa,” demikian kisah Tai kepada saya. Menjadi seorang petapa adalah pilihan hidupnya. Sudah tiga bulan ia di Nepal. Sebelumnya, dia menghabiskan hidupnya bertahun-tahun di India. Menurut Tai, saat kita menginginkan banyak hal, berarti sejatinya kita belum kaya. “Saya tidak punya rumah, tidak punya mobil, tetapi saya merasakan bahwa saya kaya raya,” Tai mulai berfilosofi. “Sebab saat semua yang saya miliki saya lepaskan, kedamaian yang selama ini terhalang menjadi masuk dengan sendirinya.”

Memang tidak sedikit orang barat yang saya jumpai di Nepal memilih hidup seperti Tai. Mungkin pilihan hidup seperti itu bukanlah pilihan yang menarik bagi saya yang terbiasa dalam budaya hedonis.

Koakan burung gagak bersahutan di atap penginapan. Semula saya merasa suara gagak membawa hawa kengerian. Namun, di sini koakan gagak adalah pengganti kokokan ayam jantan yang menandai datangnya pagi.

Rhames, pemilik penginapan, berkata kepada saya, “Jika cuaca bagus, dari Pebukitan Sarangkot engkau bisa memotret Pegunungan Himalaya yang terpancar di Danau Phewa,” ujarnya. “Cukup naik sampan yang bisa didayung sendiri sekitar 20 menit menuju ke seberang.”

“Ini Keshab,” Rhames memperkenalkan seseorang berperawakan tinggi-ceking dan berkulit gelap kepada saya. “Dia akan membantu membawa barang bawaan Anda, sekaligus bisa memandu jalan.” 

Empat derajat Celsius. Saya berbaju tebal berlapis tiga ditambah jaket. Penampilan aneh ini membuat saya bertahan, meskipun tubuh terasa berat dan kaku akibat balutannya. Keshab membawa sebagian perlengkapan kami, terutama kantung tidur.

Persingggahan pertama kami adalah Nayapul, sebuah desa kecil di ketinggian seribu meter. Jaraknya sekitar 45 menit berkendara jip dari Pokhara. Keshaf mendahului menuruni tangga. Lalu, dia masuk ke gang sempit sembari berujar, “Hayoo, kita mulai petualangan kita.”

 “Namaste” demikian ucapan salam khas Nepal dari anak-anak setempat. Kami memasuki area Konservasi Annapurna, meniti jalan setapak yang dibangun di perbukitan. Sisi kanan kami adalah tebing curam, sementara sisi kiri adalah lembah.