Menghitung Napas di Negeri Sang Buddha

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 15:30 WIB

“Itu Sungai Bhurungdikhola, langsung mengalir dari Himalaya,” ujar Keshaf. Sungai itu melalui berbagai desa beratus-ratus kilometer jauhnya. Kemudian dia melanjutkan, “Saat ini alirannya dalam puncak dinginnya, dan tidak pernah kering walau musim panas sekalipun.”

Nepal memang daerah kering, tetapi air tawar berlimpah ruah di sini. Himalaya adalah mata air abadi bagi penduduk Nepal. Mereka menggunakan pipa untuk mengalirkan air deras ke rumah-rumah, tanpa ada kran air yang menghentikannya. Saya menyusuri jalan setapak yang menanjak sembari menanggung perbekalan di punggung. Inilah derita hidup bagi saya yang baru pertama kali melakukan penjelajahan.

Sekali lagi Keshaf membuat saya khawatir. Bagaimana tidak? Kemarin saya merasakan napas nyaris berpisah dengan tubuh.

“Ini talli nepal,” kata Keshaf sembari menyodorkan makanan yang mirip dengan kari india, namun dengan tambahan beragam menu.

“Porsi ini sangat banyak buatku,” saya menimpali Keshaf.

Santapan lezat ini disajikan dengan piring besar yang terbuat dari logam kuningan, dan mangkuk-mangkuk kecil berisi kari daging, sayur, yoghurt, dan sayur kacang. Santan menjadi dominasi utama makanan orang Nepal, kendati kelapa tidak ditanam di negeri itu. Mereka mengimpornya dari India.

Esok paginya kami melanjutkan perjalanan. “Hari ini penjelajahan kita lebih jauh dengan elevasi lebih berat dari kemarin,” ujar Keshaf membuka percakapan. “Kita harus sampai ke Ghorepani sebelum matahari terbenam.”

Sekali lagi Keshaf membuat saya khawatir. Bagaimana tidak? Kemarin saya merasakan napas nyaris berpisah dengan tubuh. Beberapa ruas jalan setapak meninggalkan butiran-butiran es yang menggumpal. Salah melangkah, bisa membuyarkan semua tujuan. Ghorepani berada pada ketinggian 2.860 meter di atas permukaan laut. Keshaf beberapa kali berhenti menunggu saya.  Dia berjalan sungguh cepat, tenaganya berlimpah walau bawaannya lebih berat dari saya.

Saya memerhatikan seorang teman seperjalanan, Kokom, yang berjalan terseok-seok. Beberapa kali dia memegangi perutnya sembari merintih.

“Aku masuk angin,” katanya kepada saya dan Keshaf.  “Dulu, waktu mendaki Rinjani juga demikian, tetapi saat turun bisa sembuh sendiri.”

Keshaf berpendapat lain. Menurutnya ini adalah mountain sickness—atau “penyakit ketinggian”— suatu penyakit yang banyak menyerang para pendaki gunung. Penyakit ini terjadi terutama pada pendakian lebih dari 2.400 meter. Tidak jarang, pendaki meninggal karenanya. Kami pun makin khawatir dengan kondisi Kokom yang semakin tak berdaya. Pilihan untuk kembali nyaris tak mungkin, mengingat perjalanan kami sudah cukup jauh.

Kami sampai di Ghorepani hampir malam. Tanjakan anak tangga di tebing yang curam, menguras daya sehingga saya lebih sering berhenti dari seharusnya—demi menyambung napas. Saya masih beruntung karena bisa menyaksikan Gunung Annapurna sebagai gunung tertinggi kesepuluh di dunia. Warna emasnya menyala-nyala sebelum tenggelam dalam bayang hitam. Senja itu tampak memukau dalam hening sunyinya, namun sanggup menggelitik semangat saya.

Penginapan kami memiliki tungku pemanas di ruang tengahnya. Sebuah tabung besar yang terbuat dari seng tertutup untuk mencegah asap masuk dalam ruangan. Aroma hangat menggeluti tangan dan muka. Kami berkumpul mengelilingi tungku, bersama beberapa pejalan lainnya.