Menghitung Napas di Negeri Sang Buddha

By , Senin, 17 Oktober 2016 | 15:30 WIB

Malangnya, Kokom langsung ambruk tak berdaya di dalam kamar. Tubuhnya lemah. Dia masih muntah beberapa kali sehingga membuat kami cemas. Lokasi di tengah perbukitan, pertolongan darurat amat sulit didapatkan di sini.

“Besok pagi sebelum subuh, jika memungkinkan kita ke Poon Hill, kita bisa menyaksikan matahari terbit menyempil riang dari ujung Himalaya,” ujar Keshaf. “Tetapi, saran saya, Kokom tidak ikut, sebab kita mesti mendaki bukit setinggi 400 meter lagi. ”

Jam lima pagi di Nepal jauh lebih gelap ketimbang Jakarta. Kami terkejut, Kokom telah bersiap dengan perlengkapannya, kendati badan perempuan itu cukup lemah. “Izinkan aku mengikuti kalian sampai ke Poon Hill. Aku sudah cukup jauh menjelajah sampai di sini, dan aku tak mau dikalahkan dengan mengabaikan Poon Hill,” ujarnya.

Semangatnya memang mengagumkan. Kami berharap agar kondisi Kokom tidak memburuk karena perjalanan pagi ini lebih menggigil daripada sebelumnya.

Sambil menanti datangnya matahari, saya melihat Kokom yang tampak segar bugar dan penuh semangat. “Keindahan Poon Hill telah menyembuhkan aku.”

Dalam beberapa hari ini bibir saya sudah pecah, terasa perih sehingga menyulitkan saya untuk makan. Butuh sekitar satu jam untuk meniti anak tangga yang cukup sempit. Saya mulai kehausan, dan saya tersadar telah melakukan kesalahan dengan meninggalkan botol minuman lantaran saya menganggapnya sebagai pemberat perjalanan. Ini konyol!

Semula saya berpikir, saya tidak butuh air minum karena cuaca masih pagi dan dingin. Pada kenyataannya, saya salah besar. Cuaca kering ternyata lebih membutuhkan banyak minum meski udara terasa dingin.

Sambil menanti datangnya matahari,  saya melihat Kokom yang tampak segar bugar dan penuh semangat. “Keindahan Poon Hill telah menyembuhkan aku,” ujarnya sambil asyik menggunakan gawai cerdasnya untuk berswafoto.

 Annapurna dan Everest berada dalam dua sisi yang berjauhan, berpencar di belahan barat dan timur. Aroma Himalaya telah mengisi dada, meski saya tak kuasa menjelajahi puncak-puncaknya. Memotret lereng dalam jarak terdekatnya  pun sudah cukup memuaskan saya.

Saya puas telah menyaksikan peninggalan kejayaan masa lampau di Kota Kathmandu dan Bhaktapur yang bertahan dari gempa bumi setahun silam.

Buddha mungkin tersenyum riang. Negeri tempat ia dilahirkan menjadi ramai oleh semua umat beragama dan suku bangsa. Mereka tidak sekadar berziarah, tetapi juga bertetirah, atau menetap di sini.  Mereka telah larut dalam keheningan bersama koakan gagak.  Saya merasakan kerinduan tentang Nepal ketika saya beranjak meninggalkan negeri ini.