Menyelami Papua

By , Kamis, 2 Februari 2017 | 17:00 WIB

Sosok besar itu tiba-tiba menyelinap secara perlahan dalam laut biru nan gelap. Saya terdiam sejenak sembari menahan agar tak mengeluarkan gelembung udara. Tiba-tiba saya terperangah, dia tidak sendiri. Bersama dua kawannya, tubuh sepanjang empat meter ini meliuk-liuk memecah keheningan laut Kwatisore. Bagaikan tawanan yang sudah dikepung, saya terus bersiaga memperhatikan pergerakannya yang lamban. Sesekali kepalanya mendongak ke permukaan dan mulutnya menganga lebar.

Saya berdiam dan berusaha tenang sembari membiarkan tubuh saya mengambang di dalam laut. Saat melihat ke bawah, yang ada hanya lautan biru pekat nan dalam. Saya terus memperhatikan gerak-gerik kawanan ini, hingga akhirnya kehadiran mereka tak lagi menakutkan, melainkan menyenangkan.

Ini pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan si raksasa penunggu Teluk Cenderawasih. Pola totol-totol putih dan garis di kulit yang berwarna keabu-abuan, kepalanya lebar namun gepeng, mulutnya akan terbuka lebar saat melahap plankton ataupun ikan kecil, serta garis insang dan sirip punggung pertama yang besar telah menjadi ciri khas ikan terbesar di planet ini.

“Sejauh ini belum ada hiu paus yang menyerang manusia,” ujar Evi Nurul Ihsan, pemuda yang bekerja di World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia. “Meskipun begitu, usahakan agar tetap menjaga jarak dan jangan menyentuh hiu paus,” demikian tambahnya mewanti-wanti.

“Sejauh ini belum ada hiu paus yang menyerang manusia,” ujar Evi Nurul Ihsan, pemuda yang bekerja di WWF Indonesia.

Kawasan yang masuk ke dalam Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini menerapkan peraturan yang ketat bagi setiap orang yang akan berkunjung dan beraktivitas di kawasan ini. Tujuannya agar kawasan ini tetap lestari, serta memastikan wisatawan yang berkunjung tetap aman dalam melakukan setiap kegiatan.

Abraham Maruanaya melepas keberangkatan kami dari bibir pantai di Kota Nabire. “Saya tidak bisa bergabung ke Kali Lemon kali ini,” ujarnya ramah. Pria yang akrab disapa Bram ini telah bersentuhan dengan kawasan Teluk Cenderawasih sejak belasan tahun lalu. 

"Tahun 2004, saya menemani tim dari National Geographic saat melakukan penyelaman di Teluk Cenderawasih. Saat itu belum ada warga lokal di Kwatisore yang menjadi pemandu bagi para wisatawan ataupun peneliti yang akan masuk ke kawasan Teluk Cenderawasih,” jelasnya. “Dari pengalaman itu tercetuslah ide bagaimana kehadiran para wisatawan maupun peneliti di kawasan ini bisa memberikan dampak positif bagi warga lokal.”

Tahun 2008, upaya Bram itu dimulai dengan mendirikan Papua Pro, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengusung misi konservasi melalui kegiatan pendampingan dan pelatihan ekowisata. Bersama-sama dengan warga Kwatisore, Bram membangun sebuah homestay yang saat ini telah menjelma menjadi Kali Lemon Dive Resort.

Kali Lemon Dive Resort menjadi rumah singgah bagi para wisatawan ataupun penyelam yang ingin melihat hiu paus lebih dekat. “Yero akan menemani kawan-kawan selama di sana,” ujar Bram sembari memperkenalkan Yero.

“Tunggu ombak agak besar, barulah kita dorong perahu ini menuju laut,” teriak Daud. Kami menggiring perahu itu menuju laut dengan bantuan ombak yang menghempas tepian pantai. Saat ombak datang, “Ayo dorong,” teriaknya.

Saya buru-buru meloncat saat posisi perahu sudah berada pada posisi aman untuk dinaiki. Siang itu gelombang laut cukup tinggi, namun kondisi tersebut masih aman untuk diarungi. Daud, juru kemudi kapal ini meyakinkan kami, “Nanti kalau sudah di tengah laut, ombaknya biasanya tak setinggi ini,” teriaknya di antara lengkingan dua mesin kapal yang masing-masing berkekuatan 40 PK.

Kali Lemon terlalu mahal untuk disia-siakan. Tempat ini jauh dari ingar-bingar kendaraan yang memekakkan telinga.

Caranya mengemudikan perahu berhasil mengocok perut, memacu adrenalin, dan sukses membuat kami berteriak karena manuver yang nekat. Dua jam perjalanan laut dari Nabire ke Kali Lemon sungguh sangat menyenangkan.

Laut sedang pasang sore itu. Hempasan gelombang menghantam keras tepian pantai tempat perahu kami akan bersandar. Kami datang di saat bulan sedang penuh. “Saat purnama gelombangnya memang tinggi seperti ini,” ujar Yance, warga Kwatisore yang bertanggung jawab mengelola Kali Lemon Dive Resort. 

Saat menginjakkan kaki di Kali Lemon, saya mulai terasing dari dunia luar. Satu-satunya cara kami agar tetap tersambung dengan orang-orang adalah menggunakan radio. “Tak ada sinyal telepon seluler di sini,” ujar Yance.

“Tak apa-apa. Hidup lebih tenang dan menyenangkan tanpa sinyal,” saya mensyukuri apa yang Yance ucapkan.

Kali Lemon terlalu mahal untuk disia-siakan. Tempat ini jauh dari ingar-bingar kendaraan yang memekakkan telinga. Alih-alih mendengar desingan knalpot, kuping saya malah dimanjakan oleh hempasan ombak yang pecah di tepian pantai. Udara disini sangat sempurna dibandingkan dengan udara jalanan Jakarta yang penuh dengan racun. Bagi pencari ketenangan dan kedamaian, sepertinya tempat ini boleh diletakkan di urutan teratas setelah Tanah Suci.

!break!

Saya melepas penat sembari berbaring di kursi kayu. Di hadapan saya, laut luas yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik menyisakan pemandangan garis tepi bumi.

Sebagai taman nasional laut terluas di Indonesia, hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah perairan laut.

Nabire menjadi salah satu gerbang masuk ke kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih. Taman Nasional seluas 1.453.500 hektare ini memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitas yang tinggi. Sedikitnya ada 456 spesies karang dan 877 spesies ikan karang di kawasan ini. Sekitar 42 satwa berstatus dilindungi. Sebagai taman nasional laut terluas di Indonesia, hampir 90 persen kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah perairan laut.

Perairan Kwatisore di Distrik Yaur merupakan satu dari segelintir tempat di dunia yang bisa melihat hiu paus dari dekat. “Hampir sepanjang tahun hiu paus hadir di sini,” ujar Evi Nurul Ihsan. “Saat bulan purnama, hiu paus jarang muncul. Tapi berdoa saja, kadang keberuntungan berbanding terbalik dengan purnama,” tambahnya.

Hiniotanibre adalah sebutan bagi hiu paus dalam Bahasa Yaur, atau warga lokal di Kwatisore biasa menyebutnya dengan gurano bintang karena totol-totol putih pada kulitnya nan gelap bak bintang-bintang di malam hari. Masyarakat lokal menganggap hiu paus sebagai hantu laut.

Sebelum pariwisata marak di Kwatisore, masyarakat lokal sangat takut dengan hiu paus. Tak jarang mereka mematikan mesin perahu atau berdiam saat berpapasan dengan hiu paus di tengah laut. Kearifan lokal berhasil melindungi hiu paus (Rhicodon typus) yang masuk ke dalam daftar merah untuk spesies terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan status rentan. Di Indonesia sendiri, hiu paus ini telah dilindungi sejak tahun 2013 sebagai upaya untuk melestarikan dan menjaga populasinya di perairan Indonesia. 

Ukuran hiu paus yang hadir di Teluk Cenderawasih pun beragam. Namun dari total 121 hiu paus yang sudah dicatat oleh WWF Indonesia, mayoritas yang hidup di Taman Nasional Teluk Cenderawasih adalah jantan dengan panjang rata-rata 4,4 meter.

“Hiu paus ini biasanya mencapai usia matang gonad pada umur 30 tahun. Ukuran jantan pada usia matang biasanya berkisar antara 8-9 meter, sedangkan betina biasanya diatas 10 meter,” ujar Evi menjelaskan. “Namun mereka bisa hidup hingga umur 100 tahun,” tambahnya.

Saya melepaskan udara yang tersimpan dalam Bouyancy Compensator Device (BCD). Perlahan-lahan tubuh saya tenggelam semakin menjauh dari gerombolan hiu paus yang sedang berebut ikan puri dari bagan milik nelayan. Meskipun bertubuh tambun, hiu paus hanya memakan plankton, cumi-cumi kecil, dan ikan kecil.

Kebiasaan nelayan yang membuang sebagian hasil tangkapannya ke laut telah mengundang hiu paus untuk mendekati bagan untuk mencari makan. Kondisi ini menjadi salah satu faktor kenapa hiu paus mudah ditemukan di perairan Kwatisore.

Dari kedalaman 12 meter, saya melihat siluet hiu paus nan indah. Kedalaman yang sempurna untuk melihat hiu paus secara utuh. Saya mempertahankan kedalaman itu selama beberapa saat sebelum kembali ke permukaan.

Buddy diver saya, yang sedari tadi berenang liar, mengacungkan jempol ke atas, pertanda penyelaman sudah harus diakhiri. Namun, saya masih berhutang padanya, sebuah foto dari kedalaman yang menampilkan dirinya dan hiu paus gagal saya abadikan dengan baik.

Alih-alih mengabadikan fotonya bersama hiu paus, saya lebih memilih menikmati suasana nan sempurna di kedalaman laut. Perjumpaan yang mahal ini kadang tak harus diabadikan dalam bingkai foto. Dalam momen tertentu saya hanya ingin menyimpannya dalam ingatan.

Upaya pelestarian dan ekowisata yang berwawasan lingkungan dengan melibatkan seluruh pihak untuk saling bekerja sama bisa menjadi salah satu cara agar hiu paus serta kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih ini tetap lestari. Setidaknya, generasi setelah kita tidak hanya mengenangnya lewat bingkai foto, tetapi dari pengalaman langsung yang membekas dalam ingatan.

Semoga!

Petunjuk Berinteraksi dengan Hiu Paus