Kehidupan nomaden paling baik untuk menjaga lingkungan hidup,” ujar Nima Renchi kepada saya. Dia merupakan seorang aktivis lingkungan di Desa Labu, Tibet, Provinsi Qinghai, Tiongkok. Sejatinya, saya sungguh tak mengerti maksud Nima. Apalagi, saya juga baru beberapa hari singgah di Tibet.
Keinginan untuk mengetahui lebih banyak kehidupan nomaden pun mulai menggenangi hasrat saya. Sejak berjumpa Nima, rasa penasaran saya pun menggelora.
Gayung bersambut, Kepala Desa memperkenalkan saya dengan salah seorang keluarga nomaden yang dipercaya mengelola ratusan ekor yak, sapi pegunungan Tibet. Lalu, dia mengundang kepala keluarga suku nomaden, Luosong Chudey, untuk bertemu kami sembari bersantap siang di sebuah kedai makan sederhana di desa itu.
Saat kami bersantap, saya menyimak perbincangan. Luosong diberi kepercayaan menggembalakan 160 ekor yak dari bank ternak milik desa. Mereka menyepakati sistem bagi hasil. Imbal baliknya, setiap tahunnya, desa akan membeli mentega dan keju serta yak yang berkembang biak. Selama setahun terakhir, ternak itu telah melahirkan 20 anakan. Penduduk desa dipersilakan menerima bantuan bank ternak dengan syarat harus diurus dengan baik. Kehidupan nomaden pun kembali menggeliat. “Dalam setahun, desa menerima 60 kilogram mentega dan 120 kilogram keju,” begitu kata Kepala Desa.
Luosong Chudey berasal dari keluarga nomaden. Perawakannya kecil, tetapi kekar. Gesit dan cekatan. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda. Ia bersama istri dan adik-adik iparnya menggembalakan yak desa.
Memberi makan ratusan yak tidaklah mudah. Apabila yak diternakkan di kandang, mereka memerlukan pakan ternak yang banyak, dan tentu saja tenaga manusia. Nah, tradisi nomaden menjadi solusinya.
Biasanya yak berkelana mencari makan sendiri sampai ke puncak-puncak gunung yang banyak terdapat di Tibet. Luosong dan keluarganya tinggal mengatur dan mengawasi saja. Mereka bertahan hidup sambil menjaga kalau ada yang sakit atau ancaman celaka lainnya.
Keesokan sorenya, Kepala Desa bersiap dengan mobil berpenggerak empat rodanya. Dia akan mengantar saya ke punggungan gunung. Kami menuju kemah keluarga Luosong. Medannya berat, jalanan menanjak dengan tanah berbatu dan melintasi anak sungai. Kami tiba di lembah yang dipenuhi padang rumput nan luas. Di sanalah Luosong dan keluarga besarnya mendirikan tenda-tenda mereka. Saya menyaksikan pegunungan tinggi mengelilingi kawasan kemah mereka.
Ada tiga tenda di area perkemahan itu. Tenda yang paling besar berwarna hitam, dihuni Luosong bersama istri dan ketiga anaknya. Ukurannya hampir seluas lapangan bulu tangkis. Bahan tenda mereka bukan dari terpal atau kain, melainkan lembaran anyaman bulu yak. Seperti karung goni, namun lebih tebal dan kuat! Bulu yak memiliki pori, sehingga memungkinkan sirkulasi udara lewat pori-pori yang membuat adem saat musim panas. Namun, saat musim dingin, mereka memberi lapisan penutup penahan angin. Zaman dahulu, penutup terbuat dari kulit yak, tetapi sekarang lembaran plastik.
Walau terlihat sederhana, saya melihat ada sentuhan teknologi di kemah utama nan bersahaja itu. Mereka menggunakan listrik yang diperoleh dari panel surya. Sebagai hiburannya, mereka menonton televisi berantena parabola.
Banyak biksu yang berasal dari keluarga nomaden. Termasuk pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama.
Dua tenda lainnya berbentuk seperti tenda pramuka dan berwarna biru. Kedua tenda ini tak seberapa besar, ukurannya kurang dari separuh lapangan bulu tangkis. Di sanalah kedua adik ipar Lousung tinggal beserta keluarganya. Mereka berbagi tugas harian. Ada yang menggembala, ada yang memerah susu.
Duh, senangnya! Saya dibuatkan tenda khusus oleh Luosong. Kebetulan hari itu, kerabatnya, yang seorang biksu, ikut menginap juga. Banyak biksu yang berasal dari keluarga nomaden. Termasuk pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama.
Sore itu keluarga Luosong menggiring yak betina ke area kemah mereka. Pukul empat merupakan waktu yang tepat untuk memerah susu yak. Saat yak betina dan anaknya terkumpul, ternak itu mulai ditambatkan. Mulailah mereka memerah susu yak sampai beberapa ember.