Senandung Lestari dari Luosong Chudey

By , Kamis, 2 Februari 2017 | 18:00 WIB

Kehidupan nomaden paling baik untuk menjaga lingkungan hidup,”  ujar Nima Renchi kepada saya. Dia merupakan seorang aktivis lingkungan di Desa Labu, Tibet, Provinsi Qinghai, Tiongkok. Sejatinya, saya sungguh tak mengerti maksud Nima. Apalagi, saya juga baru beberapa hari singgah di Tibet.

Keinginan untuk mengetahui lebih banyak kehidupan nomaden pun mulai menggenangi hasrat saya. Sejak berjumpa Nima, rasa penasaran saya pun menggelora.

Gayung bersambut, Kepala Desa memperkenalkan saya dengan salah seorang keluarga nomaden yang dipercaya mengelola ratusan ekor yak, sapi pegunungan Tibet. Lalu, dia mengundang kepala keluarga suku nomaden, Luosong Chudey,  untuk bertemu kami sembari bersantap siang di sebuah kedai makan sederhana di desa itu.

Saat kami bersantap, saya menyimak perbincangan. Luosong diberi kepercayaan menggembalakan 160 ekor yak dari bank ternak milik desa. Mereka menyepakati sistem bagi hasil. Imbal baliknya, setiap tahunnya, desa akan membeli mentega dan keju serta yak yang berkembang biak. Selama setahun terakhir, ternak itu telah melahirkan 20 anakan. Penduduk desa dipersilakan menerima bantuan bank ternak dengan syarat harus diurus dengan baik. Kehidupan nomaden pun kembali menggeliat. “Dalam setahun, desa menerima 60 kilogram mentega dan 120 kilogram keju,” begitu kata Kepala Desa.

Luosong Chudey berasal dari keluarga nomaden. Perawakannya kecil, tetapi kekar. Gesit dan cekatan. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda. Ia bersama istri dan adik-adik iparnya menggembalakan yak desa.

Memberi makan ratusan yak tidaklah  mudah. Apabila yak diternakkan di kandang, mereka memerlukan pakan ternak yang banyak, dan tentu saja tenaga manusia. Nah, tradisi nomaden menjadi solusinya.

Biasanya yak berkelana mencari makan sendiri sampai ke puncak-puncak gunung yang banyak terdapat di Tibet. Luosong dan keluarganya  tinggal mengatur dan mengawasi saja. Mereka bertahan hidup sambil menjaga kalau ada yang sakit atau ancaman celaka lainnya.

Keesokan sorenya, Kepala Desa bersiap dengan mobil berpenggerak empat rodanya. Dia akan mengantar saya ke punggungan gunung. Kami menuju kemah keluarga Luosong. Medannya berat, jalanan menanjak dengan tanah berbatu dan melintasi anak sungai.  Kami tiba di lembah yang dipenuhi padang rumput nan luas. Di sanalah Luosong dan keluarga besarnya mendirikan tenda-tenda mereka. Saya menyaksikan pegunungan tinggi mengelilingi kawasan kemah mereka. 

Ada tiga tenda di area perkemahan itu. Tenda yang paling besar berwarna hitam, dihuni Luosong bersama istri dan ketiga anaknya. Ukurannya hampir seluas lapangan bulu tangkis. Bahan tenda mereka bukan dari terpal atau kain, melainkan lembaran anyaman bulu yak. Seperti karung goni, namun le­bih tebal dan kuat! Bulu yak memiliki pori, sehingga memung­kinkan sirkulasi udara lewat pori-pori yang membuat adem saat musim panas. Namun, saat musim dingin, mereka memberi lapisan penutup penahan angin. Zaman dahulu, penutup terbuat dari kulit yak, tetapi sekarang lembaran plastik.

Walau terlihat sederhana, saya melihat ada sentuhan teknologi di kemah utama nan bersahaja itu. Mereka menggunakan listrik yang diperoleh dari panel surya. Sebagai hiburannya, mereka menonton televisi berantena parabola.

Banyak biksu yang berasal dari keluarga nomaden. Termasuk pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama.

Dua tenda lainnya berbentuk seperti tenda pramuka dan berwarna biru. Kedua tenda ini tak seberapa besar, ukurannya kurang dari separuh lapangan bulu tangkis. Di sanalah kedua adik ipar Lousung tinggal beserta keluarganya. Mereka berbagi tugas harian. Ada yang menggembala, ada yang memerah susu.

Duh, senangnya! Saya dibuatkan tenda khusus oleh Luosong. Kebetulan hari itu, kerabatnya, yang seorang biksu, ikut menginap juga. Banyak biksu yang berasal dari keluarga nomaden. Termasuk pemimpin spiritual Tibet, Dalai Lama.

Sore itu keluarga Luosong menggiring yak betina ke area kemah mereka. Pukul empat merupakan waktu yang tepat untuk memerah susu yak. Saat yak betina dan anaknya terkumpul, ternak itu  mulai ditambatkan. Mulailah mereka memerah susu yak sampai beberapa ember. 

Di tenda Luosong, susu ditampung dalam panci. Selanjutnya, susu dimasak di atas tungku berbahan bakar kotoran yak yang telah dikeringkan. Setelah susu matang, mereka mengolah turunannya: mentega, keju, atau yoghurt. Lagi-lagi saya takjub. Kendati suku nomaden, mereka ternyata punya mesin pengolah sederhana dengan sumber energi listrik.

Tiba-tiba riuh terdengar di luar kemah. Tampaknya, rombongan besar yak jantan sedang digiring ke area perkemahan. Tiba-tiba saja kesibukan melanda perkemahan. Ada beberapa ekor yak jantan yang sulit diatur. Mereka menghalaunya dengan alat ketapel tradisional. Malang benar satwa-satwa itu.  

Mereka mengajak saya untuk bersantap malam bersama. Saya menolak lantaran masih cukup kenyang. Saya memilih mencicipi yoghurt buatan mereka yang lezat! Tidak seperti yang biasa saya beli di swalayan, yoghurt buatan mereka tampak kental seperti puding. Inilah salah satu produk andalan kaum nomaden.

Tidak ada piring atau gelas kaca, bahkan sendok. Saya disodori gelas dan mangkuk kertas, serta sepasang sumpit. Gelas dan piring kertas yang sudah terpakai, langsung dimasukkan ke tungku sebagai bahan bakar.  Tungku itu menyala 24 jam sehari, sehingga di dalam kemah selalu hangat. Bahan bakarnya tak pernah habis karena kaum nomaden membudidayakan kotoran yak.

Pagi buta, sekitar pukul empat, mereka membangunkan saya untuk melihat proses pemerahan susu. Setelah itu mereka mulai menggiring keluar yak dari area perkemahan.

Setiap pagi, kaum wanitanya sibuk mengumpulkan kotoran yak hasil pembuangan semalam. Lalu, mereka menjemurnya.  Jika cuaca terik, perlu waktu sehari supaya kotoran yak kering. Setelah itu mereka menumpuknya di area perkemahan sebagai persediaan bahan bakar. Jelang malam, mereka menutupnya dengan lembaran-lembaran plastik supaya tak basah karena hujan atau embun.

Mereka menjadikan abu sisa pembakaran kotoran yak sebagai pupuk tanaman di pekarangan rumah batu mereka. Kaum nomaden biasanya memiliki rumah batu yang digunakan saat musim dingin. Selama musim panas, mereka membiarkan rumput, bunga, dan ilalang tumbuh di halaman rumah batu mereka. Kelak, tanaman itu akan dipangkas dan dikeringkan untuk persediaan bahan makanan yak saat musim dingin.

Oh ya, ada satu hal yang sering saya jumpai di Tibet: Bau harum yang mengambang ketika berjalan-jalan di kampung atau padang rumput.

Bau apakah itu?

Setelah beberapa hari, barulah saya menemukan jawabnya. Aroma itu berasal dari bunga-bunga kecil berwarna biru yang tumbuh liar, namun menebarkan angin surgawi. Bunga itu menjadi makanan favorit yak. Jadi, saat kotorannya yang mengering itu dibakar, asapnya akan menebarkan aroma bunga. Saya lupa nama bunganya.

Pada prinsipnya, jalan hidup nomaden adalah daur ulang kehidupan. Mereka tak meninggalkan sampah, segala sesuatu bisa didaur ulang dan dimanfaatkan.

Yak-yak menebar kotoran dan air seninya di padang-padang rumput. Satwa itu menebar pupuk sekaligus benih-benih tumbuhan. Padang rumput yang subur juga menjadi habitat satwa lainnya: seperti elang yang memangsa tikus-tikus padang rumput. Tradisi nomaden membantu siklus kehidupan di sana.

Pada prinsipnya, jalan hidup nomaden adalah daur ulang kehidupan. Mereka tak meninggalkan sampah, segala sesuatu bisa didaur ulang dan dimanfaatkan. Mereka justru membantu proses kehidupan padang rumput dan lereng gunung di Tibet. Petaka ekologis justru terjadi ketika kehidupan modern mulai mengambil alih padang rumput di Tibet. Sampah bakal muncul jika mereka gandrung mengonsumsi makanan kemasan hasil industri modern. Semoga mimpi buruk itu tak pernah terjadi.

Dalam perjalanan kembali ke biara tempat saya bermalam selama di Desa Labu, barulah saya mengerti makna ucapan Nima Renchi. Saya baru menyadari kehidupan nomaden sangat baik untuk kelestarian lingkungan di Tibet. Kehidupan suku nomaden bergulir terus sampai saat ini. Dan, saya bersaksi, Nima Renchi benar adanya!