Senandung Lestari dari Luosong Chudey

By , Kamis, 2 Februari 2017 | 18:00 WIB

Di tenda Luosong, susu ditampung dalam panci. Selanjutnya, susu dimasak di atas tungku berbahan bakar kotoran yak yang telah dikeringkan. Setelah susu matang, mereka mengolah turunannya: mentega, keju, atau yoghurt. Lagi-lagi saya takjub. Kendati suku nomaden, mereka ternyata punya mesin pengolah sederhana dengan sumber energi listrik.

Tiba-tiba riuh terdengar di luar kemah. Tampaknya, rombongan besar yak jantan sedang digiring ke area perkemahan. Tiba-tiba saja kesibukan melanda perkemahan. Ada beberapa ekor yak jantan yang sulit diatur. Mereka menghalaunya dengan alat ketapel tradisional. Malang benar satwa-satwa itu.  

Mereka mengajak saya untuk bersantap malam bersama. Saya menolak lantaran masih cukup kenyang. Saya memilih mencicipi yoghurt buatan mereka yang lezat! Tidak seperti yang biasa saya beli di swalayan, yoghurt buatan mereka tampak kental seperti puding. Inilah salah satu produk andalan kaum nomaden.

Tidak ada piring atau gelas kaca, bahkan sendok. Saya disodori gelas dan mangkuk kertas, serta sepasang sumpit. Gelas dan piring kertas yang sudah terpakai, langsung dimasukkan ke tungku sebagai bahan bakar.  Tungku itu menyala 24 jam sehari, sehingga di dalam kemah selalu hangat. Bahan bakarnya tak pernah habis karena kaum nomaden membudidayakan kotoran yak.

Pagi buta, sekitar pukul empat, mereka membangunkan saya untuk melihat proses pemerahan susu. Setelah itu mereka mulai menggiring keluar yak dari area perkemahan.

Setiap pagi, kaum wanitanya sibuk mengumpulkan kotoran yak hasil pembuangan semalam. Lalu, mereka menjemurnya.  Jika cuaca terik, perlu waktu sehari supaya kotoran yak kering. Setelah itu mereka menumpuknya di area perkemahan sebagai persediaan bahan bakar. Jelang malam, mereka menutupnya dengan lembaran-lembaran plastik supaya tak basah karena hujan atau embun.

Mereka menjadikan abu sisa pembakaran kotoran yak sebagai pupuk tanaman di pekarangan rumah batu mereka. Kaum nomaden biasanya memiliki rumah batu yang digunakan saat musim dingin. Selama musim panas, mereka membiarkan rumput, bunga, dan ilalang tumbuh di halaman rumah batu mereka. Kelak, tanaman itu akan dipangkas dan dikeringkan untuk persediaan bahan makanan yak saat musim dingin.

Oh ya, ada satu hal yang sering saya jumpai di Tibet: Bau harum yang mengambang ketika berjalan-jalan di kampung atau padang rumput.

Bau apakah itu?

Setelah beberapa hari, barulah saya menemukan jawabnya. Aroma itu berasal dari bunga-bunga kecil berwarna biru yang tumbuh liar, namun menebarkan angin surgawi. Bunga itu menjadi makanan favorit yak. Jadi, saat kotorannya yang mengering itu dibakar, asapnya akan menebarkan aroma bunga. Saya lupa nama bunganya.

Pada prinsipnya, jalan hidup nomaden adalah daur ulang kehidupan. Mereka tak meninggalkan sampah, segala sesuatu bisa didaur ulang dan dimanfaatkan.

Yak-yak menebar kotoran dan air seninya di padang-padang rumput. Satwa itu menebar pupuk sekaligus benih-benih tumbuhan. Padang rumput yang subur juga menjadi habitat satwa lainnya: seperti elang yang memangsa tikus-tikus padang rumput. Tradisi nomaden membantu siklus kehidupan di sana.

Pada prinsipnya, jalan hidup nomaden adalah daur ulang kehidupan. Mereka tak meninggalkan sampah, segala sesuatu bisa didaur ulang dan dimanfaatkan. Mereka justru membantu proses kehidupan padang rumput dan lereng gunung di Tibet. Petaka ekologis justru terjadi ketika kehidupan modern mulai mengambil alih padang rumput di Tibet. Sampah bakal muncul jika mereka gandrung mengonsumsi makanan kemasan hasil industri modern. Semoga mimpi buruk itu tak pernah terjadi.

Dalam perjalanan kembali ke biara tempat saya bermalam selama di Desa Labu, barulah saya mengerti makna ucapan Nima Renchi. Saya baru menyadari kehidupan nomaden sangat baik untuk kelestarian lingkungan di Tibet. Kehidupan suku nomaden bergulir terus sampai saat ini. Dan, saya bersaksi, Nima Renchi benar adanya!