Berapa Lama Sistem Kekebalan Manusia Mampu Mengalahkan Pandemi?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 18 Juli 2021 | 12:00 WIB
Hasil pemindaian mikroskop elektron terhadap SARS-COV-2 penyebab COVID-19. (NIAID/FLICKR)

Nationalgeographic.co.id - Sejak awal 2020, para ilmuwan seluruh dunia mempelajari bagaimana sistem imun tubuh merespon virus Covid-19. Beberapa menyatakan bahwa virus bisa disembuhkan lewat transplantasi plasma darah yang sudah memiliki antibodi, yakni milik mantan pasien yang sudah sembuh dari serangan virus corona.

Meski demikian, ada pula ilmuwan lain yang menyatakan bahwa ada kasus yang menunjukkan transplantasi itu hanya memberikan efek plasebo—kesembuhan palsu yang tidak begitu valid—seperti yang dilaporkan National Geographic Indonesia sebelumnya.

Penelitian terkait antibodi kemudian dilanjutkan oleh para ilmuwan di Australia yang emenliti bagaimana sistem kekebalan tubuh kita merespon Covid-19.

 

Mereka menemukan, bahwa infeksi varian awal pada tahun 2020 menghasilkan antibodi berkelanjutan, tetapi tidak seefektif terhadap varian virus yang ada saat ini. Para ilmuwan mempublikasikan laporannya di PLOS Medicine pada Selasa (06/07/2021). Penelitian itu berjudul, SARS-Cov-2 Neutralizing Antibodies: Longevity, Breadth, and Evasion by Emerging Viral Variants.

Kelompok penelitian itu menganalisis serum dari 233 orang yang terjangkit virus corona selama tujuh bulan. Serum individu yang terinfeksi virus menarik diteliti, lantaran itu merupakan bagian dari darah kita yang mengandung informasi penting terkait sistem kebelana tubuh kita.

Analisis serum memungkinkan para ilmuwan untuk membuat garis waktu terperinci tentang tingkat 'antibodi penetralisir' yang bermunculan akibat infeksi Covid-19. Selain iut, anqalisis ini membantu para ilmuwan mengetahui apakah ada kekebalan jangka panjang yang terjadi.

Antibodi yang bisa menetralisir adalah bagian dari garda terdepan perlindungan dalam sistem kekebalan kita. Mereka muncul akibat dipicu infeksi dan vaksinasi, yang bertugas untuk melindungi sel yang biasanya menjadi target patogen agar tidak terinfeksi.

Baca Juga: Pertama Kalinya, Seorang Pasien Diketahui Terinfeksi Dua Varian Corona

Fabienne Brilot, Associate Professor dari University of Sydney dan Kids Research, Sydney Children's Hospital Network. Laporan penelitian bersama timnya menunjukkan bahwa tingkat kekebalan dari waktu ke waktu bergantung pada tingkat keparahan dan varian virus. (Fabienne Brilot)

 

Tingkat respon antibodi penetralisisr ini dapat menjadi ciri yang menentukan seberapa efektif sesungguhnya tubuh kita saat melawan penyakit.

Ternyata, dalam penelitian ini, dari 233 orang yang dianalisis terdapat kalangan 'penanggap super' yang langka, dan diidentifikasi sebagai pengecualian. Mereka adalah yang memiliki tingkat antibodi yang stabil dan kuat melawan semua varian Covid-19, tulis para ilmuwan.

Dikutip dari SciTechDaily, para ilmuwan mengatakan kelompok ini terbukti berguna untuk menyelidiki potensi plasma penyembuhan. Sehingga dapat diartikan, penyembuhan yang lewat plasma darah dari yang sudah sembuh untuk didonorkan ke pasien kronis yang dianggap tidak efektif, bisa diselidiki lebih lanjut.

Selain itu, donor utama dapat dilihat dengan cermat dan antibodi kelompok 'penanggap super' ini dikloning untuk penggunaan terapeutik di masa depan.

Baca Juga: Alfa hingga Delta: Bagaimana Bisa Virus Corona Memiliki Banyak Varian?

Mereka menemukan bahwa tingkat kekebalan dari waktu ke waktu bergantung pada tingkat keparahan dan varian virus.

Dalam laporannya, para ilmuwan menunjukkan bahwa antibodi yang berkembang selama gelombang pertama dari pagebluk, telah mengurangi efektivitas terhadap enam varian. Fenomena itu mulai diamati saat gelombang ke dua di Australia terjadi, hingga tiga varian mendorong pandemi global yang terjadi di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan.

Fabienne Brilot, Associate Professor dari University of Sydney and Kids Research, Sydney Children's Hospital Network yang menjadi penulis laporan itu, memaparkan bahwa penelitian ini menggunakan alat yang sangat sensitif untuk dapat mengembangkan kajian terhadap antibodi secara rinci.

"Kita dapat belajar banyak dari orang-orang ini, yang terinfeksi pada gelombang pertama di Australia. Sebab mereka terinfeksi dengan varian yang sama, yang menjadi dasar vaksin kita saat ini," ujarnya kepada SciTechDaily.

Baca Juga: Empat Varian Covid-19 Ada di Jakarta, Perlukah Dosis Vaksinasi Ketiga?

Stuart Turville dari Kirby Institute. Menurutnya, vaksin menawarkan perlindungan yang jauh lebih luas terhadap Covid-19 dan variannya daripada respons kekebalan alami tubuh setelah infeksi, yang biasanya hanya melindungi terhadap varian virus yang dimiliki orang dengan infeksi tersebut. (UNSW)

Sementara vaksin yang disetujui haruslah memiliki respon yang baik. Penelitian ini menyoroti pentingnya pengembangan vaksin yang berkelanjutan, terutama dengan mempertimbangkan perbedaan ragam varian, Brilot berpendapat.

Sedangkan Stuart Turville dari Kirby Institute yang juga turut terlibat di laporan tersebut menambahkan. Menurutnya, penelitian ini dilakukan untuk menyelidiki tingkat, luas, dan panjang umur kekebalan yang dihasilkan dari infeksi Covid-19. Serta mengetahui, apakah mutasi virus justru membahayakan kekebalan itu sendiri.

“Apa yang telah ditunjukkan oleh pekerjaan ini bagi kami adalah pengamatan saat ini tentang vaksin menunjukkan, mereka menawarkan perlindungan yang jauh lebih luas terhadap Covid-19 dan variannya daripada respons kekebalan alami tubuh setelah infeksi, yang biasanya hanya melindungi terhadap varian virus yang dimiliki orang dengan infeksi tersebut," terang Turville.

"Oleh karena itu, kita tidak boleh bergantung pada respons imun alami tubuh untuk mengendalikan pandemi ini, melainkan pada vaksin pelindung yang tersedia secara luas.”

Baca Juga: Seberapa Bahaya Varian 'Delta Plus'? Apa yang Kita Ketahui Sejauh Ini?