Akan tetapi, kejayaan Ching Shih dan Armada Bendera Merah tidak bertahan lama. Mereka kehilangan sejumlah komandan penting pada 1809, khususnya Liang Bao yang memimpin Skuadron Putih.
Puncaknya terjadi pada November 1809, ketika kapal Ching Shih dan Cheung Po bersauh di Teluk Tung Chung untuk perbaikan. Portugis memanfaatkan keadaan ini untuk memblokade kapal Ching Shih, yang disusul pasukan Qing dua minggu kemudian. Di saat yang sama, Ching Shih dikhianati oleh Guo Podai, pemimpin Skuadron Hitam, yang menolak memberikan bantuan di Tung Chung. Ching Shih dan Cheung Po secara beruntung lolos berkat bantuan angin laut pada 29 November.
Kekalahan dan kesulitan menangkap sang ratu perompak membuat Kaisar menyerah. Ia mulai menawarkan amnesti kepada Ching Shih di akhir tahun tersebut. Di saat yang sama, peristiwa blokade dan pengkhianatan di Tung Chung Ching Shih memikirkan ulang tawaran sang Kaisar.
Ia akhirnya mengajukan amnesti kepada Bai Ling, Gubernur Liangguang, dengan beberapa syarat. Di antaranya, Armada Bendera Merah dapat menyimpan seluruh rampasannya, dan setiap perompak dapat memilih untuk menjadi tentara Kaisar.
Permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Bai Ling. Namun untuk membuktikan tekadnya, Ching Shih bersama 17 perempuan dan anak perompak berlabuh di kantor gubernur pada 17 April 1810.
Baca Juga: Geolog Singkap Misteri Temuan Pipa Berusia 150.000 Tahun di Tiongkok
Negosiasi berjalan alot selama tiga hari. Ching Shih tetap kukuh pada pendiriannya. Ia masih di atas angin, dan percaya bahwa Qing tidak akan berkutik jika ia kembali menjadi perompak. Bai Ling tidak menemui pilihan lain, dan akhirnya menuruti seluruh kemauan Ching Shih tanpa syarat.
Sebagai permintaan terakhir, Ching Shih memohon dinikahkan kepada Cheung Po, putra angkatnya. Dengan Bai Ling sebagai saksinya, Ching Shih dan Cheung Po akhirnya berlutut dan secara resmi menyerah kepada Qing. Di saat yang sama, ia menyerahkan seluruh armadanya yang terdiri dari 226 kapal, 1.315 meriam, dan 17.318 perompak.
Dengan demikian, berakhirlah teror dari sang ratu perompak. Ching Shih mengakhiri kariernya di puncak, waktu terbaik untuk pensiun dan menyelesaikan segalanya. Bersama dengan Cheung Po, ia akhirnya melahirkan dua orang anak.
Cheung Po bahkan bergabung dan menjadi Kolonel di angkatan laut Qing. Ia kembali ke laut dan bertarung dengan perompak yang pernah menjadi sekutunya. Sayangnya, ia kemudian gugur dalam pertempuan pada 1822.
Kembali menjanda, Ching Shih akhirnya kembali ke Guangdong. Sembari membesarkan anaknya, ia membuka sebuah usaha perjudian, yang semakin menambah pundi-pundi harta yang dimilikinya. Tidak seperti perompak kebanyakan, Ching Shih mengakhiri hidupnya dengan tenang. Ia meninggal di rumahnya pada tahun 1844, di usia 69 tahun.
Baca Juga: Penemuan Mumi Perempuan Singkap Gaya Hidup Zaman Dinasti Ming