Gumpalan di Bawah Mantel Bumi, Benarkah Sisa Terciptanya Bulan?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 25 Juli 2021 | 15:00 WIB
Tumbukan yang dialami Theia, planet purba Bumi, mengakibatkan terbentuknya Bulan. Kini para ilmuwan mencari bukti keberadaannya dalam penelitian di dalam magma planet kita. (Mark Garlick/Science Photo Library)

Nationalgeographic.co.id - Lebih dari 4,5 miliar tahun yang lalu, Bulan kita yang setia menemani langit malam terbentuk. Dia tercipta akibat proto planet yang disebut Theia menghantam Bumi kita saat berkembang.

Sekelompok ilmuwan menyodorkan proposal penelitian Maret lalu di Lunar and Planetary Science Conference. Mereka berhipotesis, sisa-sisa Theia itu kini berada di dua lapisan batuan yang seukuran benua dan terkubur jauh di dalam mantel bumi.

Hipotesis para ilmuwan itu berangkat dari misteri yang diungkap seismolog sebelumnya pada dua gumpalan yang berada di bawah Afrika Barat dan Samudera Pasifik. Gumpalan ini seperti mengolongi inti bumi seperti sepasang headphone.

 

Qian Yuan, peneliti Ph.D di Arizona State University yang merupakan penulis utama makalah proposal itu menyebut, tinggi gumpalan ini mencapai 1.000 kilometer, dan lebarnya bisa beberapa kali lebih besar.

"Itu adalah benda terbesar di mantel bumi," Yuan berpendapat di konferensi proposal penelitiannya 16 Maret lalu.

Saking besarnya, tiap kali gempa terjadi, gelombang seismik tiba-tiba melambat ketika melewati lapisan ini, yang menunjukkan adanya benda padat yang berbeda secara kimiawi dari batuan mantel di sekitarnya.

Awalnya Yuan berpendapat, deteksi LLSVP atau kecepatan geser rendah tingginya pada suatu kawasan, seperti yang dipaparkan para seismolog, gumpalan itu telah mengkristal dari kedalaman samudra magma saat Bumi masih muda.

Atau bisa jadi, benda itu adalah batuan mantel purba yang tersisa dari tumbukkan besar, yang kemudian membentuk bulan. Tetapi pendapat ini masih berdasarkan bukti dan pemodelan isotop baru.

Sehingga Yuan dan tim percaya bahwa LLSVP sebenarnya menggambarkan materi isi perut bumi, yang muncul dari tabrakan benda asing.

"Ide gila ini, setidaknya adalah yang memungkinkan," tambahnya.

Baca Juga: Untuk Pertama Kalinya, Astronom Menemukan 'Piringan Pembentuk Bulan'

Analisa bebatuan bulan menunjukkan jejak dari (Bayu Dwi Mardana)

Pemikiran terkait sisa tumbukan yang menjadi peristiwa terbentuknya Bulan ini telah tersebar di beberapa konferensi penelitian, selama bertahun-tahun. 

Penelitian lain terkait LLSVP terkait pembentukan Bulan sebenarnya sudah diteliti pada 2012 lalu di jurnal Earth and Planetary Science Letter. Makalah yang berjudul Heterogeneities from the first 100 million years recorded in deep mantlenoble gases from the Northern Lau Back-arc Basin itu mengungkapnya lewat bukti yang ada di Islandia dan Samoa.

Sujoy Mukhopadhyay, ahli geokimia di University of California dalam konferensi Yuan itu menganggap gagasannya menarik dan masuk akal. Dia, lewat makalahnya tahun 2012 itu memang menunjukkan LLSVP sudah ada sejak lama, pasca pembentukan bulan.

Pencitraan seismik telah melacak gumpalan magma yang ternyata memberi pasokan gunung berapi di Samoa dan Islandia, sampai ke LLSVP.

Baca Juga: Apa yang Terjadi Jika Bulan Dua Kali Lebih Dekat dengan Bumi?

Batuan dari Bulan ini telah banyak diteliti oleh para ilmuwan. Batuan ini sempat dipamerkan di NASA Johnson Space Center sebelum akhirnya direncanakan untuk dikembalikan ke Bulan. (Michael Wyke/AP Photo)

Selama beberapa dekade Mukhopadhyay dan tim telah menemukan bahwa lava di kedua lokasi mengandung catatan isotop unsur radioaktif yang terbentuk selama 100 juta tahun pertama kelahiran Bumi.

Salah satu rekan penelitian Yuan di makalah ini, ilmuwan astrofisika Arizona State University Steven Desch pernah memaparkan terkait bukti yang harus diteliti dalam makalah terbaru.

Desch bersama rekan-rekannya telah mengkaji batuan bulan yang pernah dibawa Apollo. Dia bersama tim dalam jurnal Geochemistry (Vol. 79, Issue 4, tahun 2019), mengukur rasio hidrogen terhadap deuterium--isotop hidrogen yang lebih berat yang dikandung batuan tersebut.

Hidrogen ringan jauh lebih kaya di beberapa sampel batuan Bulan daripada batuan di Bumi. Lewat temuan itu, Desch dan timnya yakin bahwa ukuran Theia pasti sangat besar.

Lantaran, untuk menangkap dan menahan begitu banyak hidrogen ringan di bulan memerlukan ukuran yang lebih besar dari Bumi. Kemudian hidrogen ini mengering, karena cairan apa pun, yang secara alami yang kaya hidrogen berat, pasti akan meningkatkan deuteriumnya di angkasa bebas.

Theia yang diyakini besar dan kering itu akan terpisah menjadi lapisan dan intinya yang kekurangan zat besi. Tetapi mantelnya justru kaya zat besi dengan sekitar dua hingga 3,5 persen lebih padat dari Bumi kini, Desch menjelaskan.

Dia juga menambahkan, bahwa penelitian kedepannya yang perlu dilakukan adalah mencari sampel batuan dari Bulan yang baru. Sebab sampel yang ditawarkan Apollo tidak satu pun menangkap materi yang serupa dengan mantel bumi yang tidak berubah.

Baca Juga: Rencana NASA Terbaru: Membuat Pos di Bulan Agar Manusia Bisa ke Mars

 

Itu sebabnya, Desch menerangkan, misi NASA dan Tiongkok yang hendak mernecanakan misi robotik ke kutub selatan Bulan dalam dekade ini, akan sangat dinantikan hasilnya.

Jennifer Jenkins, seismolog Durham University di forum yang sama memaparkan, apa bila sisa Theia benar-benar ada di dalam Bumi, penelitian ini akan membuka akses para ahli seisomolog untuk melihat materi yang sangat padat ini di mantel lebih mendalam.

Dan bisa jadi, sisa-sisa ini berasal dari inti yang kaya besi yang tenggelam dari planet kerdil lain yang juga menghantam Bumi kita yang masih muda.

Batu dari Bumi yang ditemukan di Bulan. (IFL Science)

Namun, Yuan, Desch, dan tim harus berhati-hati dalam penelitiannya. Barbara Romanowicz , seisomolog dari University of California, bersama ahli geofisika Paris-Scalya University Anne Davaille, melakukan studi pada September 2020 lalu akan bukti kabur gelombang seismik.

Romanowicz dan Davaille menulis makalah Deflating the LLSVPs: Bundles of Mantle Thermochemical Plumes Rather Than Thick Stagnant “Piles” yang diterbitkan di Tectonics. Alih-alih mencapai 1.000 kilometer, tumbukan lapisan di bawah tanah yang dideteksi bisa jadi naik beberapa ratus kilometer sebelum menjadi pecah dalam bentuk gumpalan yang bercabang.

Sehingga, bukti LLSVP yang mengandalkan gelombang seismik frekuensi rendah, bisa jadi hanyalah sekedar ilusi yang yang diciptakan oleh model interior.

Baca Juga: Studi: Bumi Sebenarnya Dua Planet yang Bergabung