Cerita Kehidupan di Balik Arsitektur Peranakan Tionghoa di Parakan

By Eric Taher, Sabtu, 31 Juli 2021 | 11:00 WIB
Rumah abu keluarga Chris Darmawan di Parakan, Jawa Tengah. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Melalui webinar dan peluncuran buku bertajuk Parakan Living Heritage, Ikatan Arsitek Indonesia berupaya memperkenalkan peninggalan arsitektur Tionghoa di Parakan. Dipandu oleh Feri sebagai moderator, webinar ini menjelaskan jejak kedatangan Tionghoa, hingga pencampuran budaya dan filosofi dalam pembangunan rumah Tionghoa di Parakan.

Parakan sudah lama menjadi melting pot antara masyarakat Tionghoa dan Jawa. Keberadaan orang Tionghoa mula-mula dapat ditelusuri dari Situs Liyangan, yang terletak delapan kilometer dari Parakan. "Situs ini dahulunya merupakan suatu pemukiman Hindu abad ke-7 atau 8 yang terkubur oleh lava Gunung Sindoro," tutur Chris Dharmawan, arsitek dan kolektor yang lahir di Parakan.

Dalam ekskavasi, ditemukanlah berbagai peninggalan seperti candi, bekas pemukiman, dan keramik asal Dinasti Tang. Artinya, kedatangan orang Tionghoa di Parakan ternyata jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.

"Boleh disimpulkan bahwa orang Tiongkok itu datang ke Nusantara sejak abad ke-7," ungkap Chris.

Baca Juga: Geliat Rumah Jamu Marie Parakan Menjaga Warisan Jamu Nusantara

Sawah Parakan di bawah kaki gunung kembar Sindoro dan Sumbing. Apakah terasa familier? (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Adapun migrasi orang Tionghoa secara besar-besaran baru terjadi antara abad ke-17 hingga ke-19. Beberapa dari mereka tinggal menetap, berbaur, dan mengambil istri dari kaum pribumi. Seiring waktu, budaya mereka mulai terakulturasi menjadi apa yang dikenal sebagai budaya Peranakan Tionghoa.

"Parakan pada awalnya itu terdiri dari beberapa kampung yang sebenarnya terpisah, yakni Coyudan, Ngempon, Ngemplak, Klewogan, dan Jetis," cerita Sutrisno Murtiyoso, arsitek dan sejarawan Universitas Tarumanagara.

Kala itu, sebuah pecinan mulai terbentuk di pusat kota yang dekat dengan pasar. Berubahnya administrasi dari waktu ke waktu menyebabkan pemindahan pasar, sehingga lama kelamaan pecinan ini pun berkembang ke seluruh kampung.

"Ini sesuatu yang sangat menarik," ujarnya. Sutrisno melihat, biasanya Pecinan di kota besar merupakan enklaf, atau satu daerah yang khusus dan terpisah. "Tetapi di Parakan justru Pecinan itu yang membentuk kotanya, karena perluasan pecinan itu menggabungkan [berbagai kampung] menjadi satu kesatuan," tuturnya.

Baca Juga: Kostum Jaran Kepang Untuk Menguatkan Identitas Jaran Kepang Temanggung

Kelenteng Hok Tek Tong di Parakan. Kelenteng ini merupakan salah satu warisan Tionghoa yang ada di kota tembakau ini. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Orang Tionghoa yang menetap kemudian mendirikan rumah-rumah sebagai tempat tinggal mereka. Tempat tinggal ini dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yakni rumah sederhana untuk pedagang kecil, rumah petak untuk kaum menengah, dan rumah besar untuk kaum elite.

"Perlu diingat orang Cina pada saat itu tidak ada kegiatan lain kecuali berdagang, karena mereka tidak boleh mempunyai tanah pertanian," katanya.

Adapun rumah sederhana biasanya menggunakan kerangka kayu dan dinding dari bambu. "[Rumah] ini bahkan sepenuhnya mengikuti pola pembagian ruang [rumah] Jawa," ungkapnya.

Baca Juga: Kisah Teh Wangi Melati dari Tegal: Dari Teh Tatah Sampai 'Nyipok'