Cerita Kehidupan di Balik Arsitektur Peranakan Tionghoa di Parakan

By Eric Taher, Sabtu, 31 Juli 2021 | 11:00 WIB
Rumah abu keluarga Chris Darmawan di Parakan, Jawa Tengah. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

 

Para kaum menengah tinggal di rumah petak, yang menurut Sutrisno paling ketat mengikuti tradisi Tionghoa. "Rumah petak ini biasanya sempit dan memanjang ke belakang," ujar Sutrisno.

Salah satu ciri paling mencolok adalah keberadaan "sumur langit". Bagian rumah ini adalah bagian atap terbuka, yang memisahkan bagian depan dan belakang rumah.

Rumah jenis terakhir adalah rumah besar yang ditinggali kaum elite. "Biasanya rumah besar itu dikelilingi tembok tinggi," tuturnya. Rumah-rumah seperti ini mempunyai perkarangan di depan dan taman di belakang rumah. Gaya arsitektur mereka merupakan perpaduan langgam Tionghoa dan langgam Indis yang diperkenalkan orang Eropa.

Rumah-rumah seperti ini masih lumrah dijumpai di Parakan. Namun seiring waktu, keberadaan mereka sudah semakin tak terurus, dan bahkan digantikan oleh perumahan modern.

Sutrisno mencatat bahwa rumah pedagang kecil lebih rentan terhadap perubahan. Para pedagang yang mulai sukses biasanya menjual rumahnya, dan membeli tempat tinggal yang lebih besar. "Beruntung sekali saya masih bisa menemukan beberapa rumah seperti ini," ungkapnya.

 Baca Juga: Tan Hong Boen dari Tegal, Penulis Pertama Riwayat Hidup Bung Karno

Salah satu rupa depan dari rumah elite Tionghoa di Parakan. Banyak rumah-rumah Tiongohoa seperti ini yang ditinggalkan, dan sedang dalam upaya restorasi. (Feri Latief/National Geographic Indonesia)

Upaya pemugaran pun dilakukan, terutama untuk rumah elite. Tantangan terbesarnya, menggunakan bahan baku seauntentik mungkin. Salah satu bangunan bahkan dibangun tanpa semen, sehingga menjadi tantangan tersendiri. "Jadi, saya menggunakan batu bata, kapur, dan pasir," tutur Chris.

Bangunan yang sudah direstorasi kemudian dipakai untuk bermacam hal. Salah satunya adalah rumah Siek Oen Soei, yang dapat disewa untuk kegiatan retret. "Rumah ini sekarang dimiliki oleh Bhante Aryamaitri Mahasthavira, Kepala Wihara Ekayana Arama Indonesia," jelas Lily Wibisono, jurnalis dan kopenulis dari buku Parakan Living Heritage.

Lily menuturkan, bahwa beberapa dari rumah tersebut bahkan masih ditinggali oleh keturunan pemilik asli. Salah satunya adalah rumah Goei Ing Tjhay, yang sudah dihuni selama delapan generasi. "Rumah ini sampai sekarang ditinggali keturunan Goei Ing Tjhay, yakni Goei Lok San," ujar Lily.

Bagi Lily, mengumpulkan data terkait rumah-rumah Tionghoa di Parakan menjadi tantangan tersendiri. Ia banyak melakukan wawancara terhadap sejumlah orang-orang Tionghoa untuk menggali asal usul dari setiap rumah. "Hanya sedikit sekali keluarga yang mengumpulkan data dan dokumentasi," ungkap Lily.

Tantangan seperti ini menandai bahwa proses pelestarian rumah Tionghoa di Parakan masih dalam perjalanan panjang. Chris berharap, buku Parakan Living Heritage dapat menjadi pengingat budaya peranakan bagi masyarakat luas.

"Buku ini diharapkan bisa menyadarkan tentang identitas peranakan Tionghoa sebagai bagian dari kepriadian bangsa, dan mempunyai kesadaran betapa pentingnya pelestarian warisan budaya, serta menjadi pengingat betapa kayanya dan beragamnya budaya di Indonesia," pungkasnya.

Baca Juga: Kiprah Tionghoa dalam Perkembangan Institut Teknologi Bandung