Teka-Teki Salakanagara, Kerajaan Nusantara Tertua Versi Wangsakerta

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 26 Juli 2021 | 21:45 WIB
Prasasti Tugu, yang diperkirakan dibuat pada abad kelima. Di batu itu menyertakan penguasa Kerajaan Tarumanagara dan asal-usul terkait kerajaan Salakanagara--kerajaan yang lebih tua dari Kutai. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Dewawarman I yang menikahi Pwahaci larasit ini lahirlah beberapa anak, salah satunya adalah Dewawarman II (bergelar Sang Prabhu Digwijayakasa Dewawarman). Dewawarman I ini berkuasa selama 38 tahun (130-68), dan sesuai dengan berita Tiongkok dari tahun 132 yang menyebut Pien yang diperkirakan lafal untuk namanya, Ayatrohaedi berpendapat.

Selanjutnya pada masa kekuasaan Dewawarman VIII (berkuasa 340-363), kerajaan Salakanagara berubah nama menjadi Tarumanagara. Dia juga memindahkan pusat kekuasaannya ke Jayasinghapura yang sudah menjadi kota besar.

Pergantian nama ini juga mempengaruhi sistem untuk memulai menulis nama raja-rajanya di prasasti. Nama-nama seperti Rajadhirajaguru atau Jayasingawarman Gurudharmapurusa, yang merupakan raja pertama Tarumanagara sendiri adalah menantu dari Dewawarman VIII.

Baca Juga: Mencerna Kembali Pesan Banjir dari Leluhur Jakarta

Prasasti Tugu Kopi di Ciaruteun Ilir, Bogor, yang disebut juga sebagai prasasti tapak gajah ini memiliki informas menarik seputar Raja Tarumanagara yang berasal-usul dari sejarah Salakanagara, kerajaan yang lebih tua dari Kutai. (Wibowo Djatmiko/Wikimedia)

Terdapat berbagai titik temu antara naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara dengan ragam prasasti peninggalan Tarumanagara. Prasasti Tugu memuat banyak informasi nama dan gelar raja-raja Tarumanagara awal, meski tak bertanggal.

Para ahli memperkirakan prasasti itu berasal dari abad ke-5, yang juga tidak bertentangan dengan menurut penanggalan naskah.

"Jika berita naskah itu dapat dipecaya, sekali lagi, berarti terjemahan Purbatjaraka mengenai Prasasti Tugu itu pada bagian yang berbunyi rajadhirajena sebagai 'oleh maharasa yang mulia' harus diubah menjadi 'oleh Rajadhiraja," terang Ayatrohaedi mengenai penyamaan nama dalam naskah dan prasasti.

"Jika bertia naskah itu dapat dipercaya, berarti kita harus banyak merombak atau mengubah pandangan dan pendapat kita mengenai kisah sejarah kita di masa lampau," ia menambahkan. "Karena berita naskah itu berbeda dengan pandangan tafsiran kita selama ini."

Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis