Sebuah batu bertulis dari abad ke-5 yang ditemukan di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Prasasti beraksara Pallawa dan berbahasa Sansekerta itu mendedahkan ikhtiar terhadap banjir yang dilakukan Purnawarman, Raja Tarumanagara. Temuan itu dikenal sebagai "Prasasti Tugu" yang tercatat pertama kali dalam laporan Notulen Bataviaasch Genootschap pada 1879. Namun demikian, baru pada 1911 prasasti ini dipindahkan ke Museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen—kini Museum Nasional. Kisah yang terpahat pada warisan budaya leluhur Jakarta itu ibarat penanda siaga.
Aksara-aksara itu dipahat melingkar dalam lima baris. Ahli epigrafi berhasil menyingkap maknanya:
“Dahulu sungai yang bernama Candrabhaga telah digali oleh maharaja yang mulia dan yang memiliki lengan kencang serta kuat yakni Purnnawarmman, untuk mengalirkannya ke laut, setelah saluran sungai ini sampai di istana kerajaan yang termashur. Pada tahun ke-22 dari tahta Yang Mulia Raja Purnnawarmman yang berkilau-kilauan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji segala raja-raja, [maka sekarang] dia pun menitahkan pula menggali saluran sungai yang permai dan berair jernih Gomati namanya, setelah saluran sungai tersebut mengalir melintas di tengah-tegah tanah kediaman Yang Mulia Sang Pendeta Nenekda (Raja Purnnawarmman). Pekerjaan ini dimulai pada hari baik, tanggal 8 paro-gelap bulan dan disudahi pada hari tanggal ke 13 paro terang bulan Caitra, jadi hanya berlangsung 21 hari lamanya, sedangkan saluran galian tersebut panjangnya 6122 busur. Selamatan baginya dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan”
Ringkas ceritanya, di batu itu leluhur Jakarta menorehkan kisah pembangunan kanal yang dimandori para pendeta Hindu. Kanal itu panjangnya kira-kira sebelas kilometer, selesai dalam waktu 21 hari. Atas keberhasilan pembangunan kanal, sang raja menghadiahkan seribu lembu kepada para pendeta.
Baca Juga: Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi Sejak Zaman Tarumanegara
“Di mana kanal itu sampai sekarang kita juga tidak tahu,” ujar Restu Gunawan. “Mungkin sudah tertutup lapisan sungai-sungai purba.”
Kini, Restu menjabat sebagai Direktur Kesenian di Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Masyarakat Sejarawan Indonesia.
“Bahwa fenomena ekologi atau lingkungan Jakarta yang datar itu sudah disadari sejak zaman dulu,” ungkap Restu. Berdasarkan penelitiannya tentang sejarah lingkungan Jakarta, seperti kota-kota lain sepanjang pesisir utara Jawa, Ibu Kota itu merupakan suatu dataran rendah yang terbentuk karena endapan banjir.
Wacana banjir Tarumanagara seolah lenyap selama seribu tahun. Baru kemudian sekitar abad ke-17 para pendatang Eropa mendirikan Kota Batavia di muara Ciliwung dan mengiris-iris kota itu dengan kanal. “VOC melihat Jakarta seperti kota asalnya yang dibelah-belah kanal,” kata Restu.
Meskipun banjir bertubi-tubi meluberkan kota itu, pengendalian banjir lewat pembangunan kanal banjir dan pintu air baru dilakukan pemerintah kolonial pada awal abad ke-20. Pada 1919 kanal banjir telah berhasil mengalirkan banjir menuju laut. Kanal dan pintu air itu utamanya didesain untuk melindungi permukiman elit bernuansa taman pertama di Hindia Belanda, Menteng. Namun demikian, banjir terus meluberkan kota ini.
Baca Juga: Seberapa Kuat Arus Banjir Hingga Bisa Menghanyutkan Mobil?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR