Salah satu orang yang sohor karena studi tentang rencana penanganan banjir di Batavia adalah Herman van Breen, yang membangun pintu air Matraman dan kanal banjir pada 1919. Kelak, rencana van Breen itu menjadi bagian dari ruas saluran pembuangan air menuju laut yang telah disempurnakan pada 1970-an, dan dikenal sebagai Kanal Banjir Barat.
Setelah Indonesia merdeka Presiden Soekarno pernah menginstruksikan bahwa semua pekerjaan yang berkaitan dengan pencegahan banjir dan bagian-bagiannya dianggap sebagai badan vital. Pernyataan tersebut dilansir setelah Pembentukan Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir) pada 1965. Lalu, Kopro Banjir diubah menjadi Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR) pada 1972.
Ikhtiar secara saksama baru dilakukan pemerintah ketika membuat rencana induk pengendalian banjir dan sistem drainase kota pada 1973. Peta rencana induk itu menampilkan Kanal Banjir Barat (revitalisasi dari kanal banjir zaman kolonial) dan Kanal Banjir Timur (KBT). Keduanya menyerupai ladam yang membentengi Jakarta.
Pembangunan KBT baru terlaksana setelah tertunda 38 tahun dari perencanaan. Sebuah proyek pembangunan selokan raksasa itu dimulai pada 2003 dan selesai pada 2011. Kanal itu mengular sepanjang 23,5 kilometer, sekaligus memotong dan menampung lima sungai besar.
Baca Juga: Melelehnya Es Antartika Akan Mendatangkan Banjir di Kota-kota Pesisir
Kanal itu berhulu di Cipinang Besar Selatan, Jakarta timur, dan bermuara di Marunda, Jakarta Utara—tak jauh dari lokasi penemuan batu bertulis tinggalan Tarumanagara. Tujuan KBT adalah mengamankan seperempat wilayah Jakarta dari meluapnya lima sungai tadi kala hujan besar. Apakah pembangunan kanal-kanal banjir merupakan obat mujarab untuk masalah banjir Jakarta?
“Sistem kanal itu gagal,” ujar Restu.“Tidak ada bukti sejarah, ketika kanal itu dibangun, orang di sekitarnya terbebas dari banjir.”
Mengapa Restu Gunawan berpendapat demikian? Lalu, apa yang seharusnya dilakukan kota ini untuk mengendalikan banjir secara berkelanjutan?
Dalam kisah Megaselokan Megapolitan yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2013, Restu mengungkapkan kegagalan sistem kanal yang juga dibangun era kolonial disebabkan pemerintah Hindia Belanda tidak memperhitungkan geografi Batavia.
Kawasan ini merupakan dataran rendah yang terbentuk karena erosi sungai dari
gunung berapi di sisi selatan kota. “Sedimentasi Negeri Belanda tak seperti Jakarta,” ungkapnya.“Sedimentasi membuat kanal tidak optimal."
Jadi, menurut Restu, solusi mengalirkan limpahan air ke dalam kanal hanya akan
menambah endapan-endapan yang kelak menyumbat kanal itu sendiri. Melihat kebijakan masa lalu Jakarta, dia menolak apabila air sebagai anugerah Tuhan itu dialirkan begitu saja ke laut. “Seharusnya air tidak dialirkan ke sungai,” katanya. “Tetapi dikembalikan ke tempat asalnya, diresapkan.”
“Pembangunan kanal sudah cukup!” ujar Restu. “Sekarang tinggal merawat kanal dan sungai dengan dikeruk secara benar.” Menurutnya, gara-gara sedimentasi yang luar biasa dan perilaku manusia yang buruk, Jakarta akan menemui kegagalan kalau sekadar mengandalkan kerja kanal. “Artinya, manusianya juga harus dibangun.”
Baca Juga: Buang Sampah ke Sungai Merupakan Warisan Zaman VOC, Benarkah?
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR