Tidak Cukup Menanam, Perlu Keragaman Hayati Supaya Mangrove Lestari

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 30 Juli 2021 | 16:00 WIB
Upaya penanaman pohon mangrove kerap dilakukan oleh organisasi atau lewat CSR perusahaan. Apakah itu cukup? (Yunaidi Joepoet)

Nationalgeographic.co.id - Tidak sedikit dari perusahaan atau organisasi mengadakan berfilantropi untuk peduli lingkungan dengan menanam mangrove (bakau). Di Jakarta, misalnya, kegiatan seperti itu sering diadakan di Kepulauan Seribu, atau pesisir rentan erosi dan gelombang tinggi lainnya.

Di sisi lain, memanglah kegiatan bisa dikatakan sebagai upaya tandingan deforestasi yang juga marak. Lewat mangrove, tentunya juga menjadi habitat bagi makhluk hidup dan memperkuat paru-paru dunia.

Namun, ada satu hal yang kurang diperhatikan dalam menanam mangrove: apakah hutan ini bisa bertahan hidup jika hanya sekadar ditanam?

 

Nyatanya, studi berjudul A functional analysis reveals extremely low redundancy in global mangrove invertebrate fauna di jurnal PNAS menerangkan, perlu adanya upaya tambahan untuk ketahanan mangrove. 

Kelompok penelitian itu dipimpin oleh Stefano Cannicci, doktor Swire Institute of Marine Science di University of Hong Kong. Hasil laporan mereka itu masih dalam tahap peer review, dan rencananya dipublikasikan secara resmi pada 10 Agustus mendatang.

Cannicci bersama tim mengungkap, perlu adanya makhluk hidup yang beragam di dalam mangrove agar dapat menopang keberlangsungan hidup hutan.

Sebab, secara fungsi ekologis hutan mangrove ternyata sangat bergantung pada hubungan timbal balik antara unsur flora dan faunanya. Dengan demikian, tidak ada hutan bakau yang dapat hidup tanpa komunitas kehidupan, terutama invertebrata, yang sehat untuk menopangnya.

Baca Juga: Ancaman Kota-kota Pesisir dan Upaya Pelestarian Ekosistem Mangrove

Hutan Perempuan, hamparan mangrove yang dimuliakan oleh warga Kampung Engros, Teluk Youtefa, Jayapura. Hutan ini didedikasikan untuk para peremuan sebagai ruang berbincang privat. (Ricky Martin/National Geographic Indonesia)

"Pola fungsi ekosistem yang dimediasi ragam fauna ini sangat penting untuk menilai kerentanan hutan mangrove terhadap dampak antropogenik, dan memberikan pendekatan untuk merencanakan konservasi serta restorasi yang efektif," tulis para peneliti dalam laporan.

Antropogenik sendiri adalah bahaya yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dan dapat berdampak buruk bagi makhluk lain, bioma, eksosistem, atau manusia itu sendiri.

"Kami mengumpulkan dataset global fauna invertebrata mangrove yang terdiri dari 364 spesies dari 16 lokasi, diklasifikasikan ke dalam 64 entitas fungsional," terang para peneliti terkait sumber data studinya.

364 spesies ini terdiri dari 209 spesies krustasea dan 155 moluska yang hidup dalam eksosistem hutan mangrove di seluruh dunia.

"Untuk setiap lokasi, kami menghitung perbedaan taksonomi, kekayaan fungsional, redundansi fungsional, dan kerentanan fungsional untuk menilai integritas fungsional," tambah mereka.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Memuliakan Perempuan dengan Hutan Perempuan

Butuh keragaman hayati yang memiliki banyak fungsi supaya hutan mangrove tetap bertahan hidup. (Lutfi Fauziah)

64 entitas fungsional yang dikumpulkan itu berdasarkan kombinasi unik atau lebih detail dari tiga ciri fungsuional utama: kebiasaan makan, sifat perilaku yang berpotensi mempengaruhi karakteristik ekosistem, dan habitat mikro. Lebih dari 60% lokasi yang ditemukan ternyata tidak menunjukkan kelimpahan fungsional itu.

Sedangkan 57% dari entitas fungsional, hanya dilakukan satu spesies. Para peneliti menyimpulkan, hilangnya keanekaragaman invertebrata lokal yang sedeharna pun memiliki konsekuensi negatif yang signifikan bagi fungsi dan ketahanan mangrove.

Lantaran, invertebrata sangat penting untuk siklus nutrisi mangrove, dan sebagai penyedia oksigen ke akar pohon. Akibatnya, kinerja ini akan hilang dengan penurunan keragaman fungsionalnya.

Selain itu mereka juga membandingkan hutan bakau dengan ekosistem lain, termasuk di antaranya yang memiliki kelimpahan fungsional populasi fauna yang rendah. Hasilnya, mereka menunjukkan bahwa tanaman pesisir ini merupakan ekosistem yang paling rentan dalam menghadapi perubahan antropogenik.

Pohon mangrove berlatar panorama Jembatan Suramadu, Selat Madura, Jawa Timur. (Imam Primarhardy)

Cannicci dan tim menulis, keragaman fungsi makhluk hidup seperti invertebrata adalah "jaminan ekologis" untuk kelestarian berbagai hutan. Dengan limpahan fungsi makhluk ini, para peneliti yakin apa bila ada spesies hilang, sudah ada spesies lain yang dapat memenuhi fungsinya untuk menjaga ekosistem tetap hidup.

Betapa hutan mangrove, melalui ekosistem, membutuhkan keragaman fungsional agar tetap hidup menunjukkan betapa rentannya tumbuhan di planet ini.

Para peneliti juga memberi contoh kondisi ekosistem dengan keanekaragaman fungsi yang invertebrata yang rendah di Kamerun.

Sebaliknya, untuk kondisi hutan mangrove walau hanya dalam petak kecil, seperti di Hong Kong, Mozambik dan Segara Anakan di Indonesia.

Ketiga lokasi ini menampung kumpulan invertebrata multifungsi yang dapat berperan sebagai reservoir keanekaragaman hayati, yang terbukti penting untuk upaya konservasi di masa mendatang.

Baca Juga: Hari Mangrove Sedunia, Merawat Benteng Terakhir di Ekosistem Pesisir