Nationalgeographic.co.id—“Kepada orang yang lapar tidak bisa diberikan kepadanya pemikiran revolusi,” kata Bung Karno. Sang Raksasa Muda, julukan Indonesia pada 1950-an, berdiri di atas fondasi pangan yang rapuh.
Bung Karno menyadari krisis pangan pada tahun-tahun awal kemerdekaan. Dia berupaya membangkitkan cita rasa daerah-daerah di penjuru Indonesia sebagai identitas dan siasat di meja makan kenegaraan sampai pelipur lapar-lara.
Pada masa 1950-1960-an tercatat banyak musisi yang menyambut seruan Bung Karno untuk menaikan derajat dan mencintai makanan lokal. Seruan yang ingin menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki banyak ragam makanan, dan karena itu tidak akan kelaparan.
Para seniman mengekspresikan dalam lagu-lagu irama keroncong sampai pop. Dari Soto Bandung, Semanggi Suroboyo, Gado-Gado Betawi, Dondong Apa Salak, sampai Genjer-genjer.
Menjawab tantangan krisis pangan saat itu, Bung Karno menegaskan kembali sikapnya dalam pidato 17 Agustus 1963. Dia menyerukan untuk tidak meminta-minta kepada asing.
“Jika kita tak sanggup menyediakan sandang pangan di negara kita yang kaya ini, ini menunjukkan kita bodoh, kita benar-benar bodoh,” imbuhnya. “Lebih baik tetap makan gaplek, daripada makan enak karena bantuan asing tapi kemudian tetap diperbudak!”
Baca Juga: Sekerat Hikayat Menu Babi Nusantara sampai Resep Warisan Bung Karno
Impian makanan enak dan sehat untuk bangsanya ini dituangkan dalam proyek buku masak Mustikarasa. Ketika buku ini terbit pada 1967, tampak Bung Karno tak ingin orang Indonesia hanya makan nasi beras. Ada 1.600 resep, sebagian besar adalah resep daerah. Akan tetapi, ada pula resep dari mancanegara—Meksiko, Eropa, Tiongkok, dan Arab yang disesuaikan dengan cita rasa Indonesia.
Bung Karno memiliki visi yang membawa pemahaman pangan cita rasa Indonesia dalam perspektif budaya dan geografis yang berkelanjutan. Saat itu pangan hadir sebagai siasat diplomasi di meja makan sampai pelipur lapar-lara.
Baca Juga: Bung Karno dan Sate Sebagai Penyambung Lidah Rakyat Asia-Afrika