AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 2 Agustus 2021 | 18:34 WIB
(Keempat dari kiri, dirangkul) Andi Pakkanna bersama para veteran lainnya di Bantaeng yang terdiri dari AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan PPI (Penerjang Penjajah Indonesia) berpose bersama anak-anaknya pada 1980-an di Bone. Mereka mencatat kenangan perjuangannya dalam makalah sejarah. (Dok. Keluarga Pakkanna)

 

Hingga akhirnya, Yau Yu Tek, warga Bantaeng keturunan Tionghoa datang ke rumah adat Balla Lompoa (istana kerajaan Bantaeng), bersama Harsoyo, Ince Ali Amir, Sugardo, Pujo Sumpeno. Mereka dipanggil pada 17 Agustus  oleh Andi Mannappiang (raja ke-32 Bantaeng) secara rahasia.

Yau Yu Tek dan rombongnya mengabarkan, Sukarno dan Hatta di Jakarta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Informasi itu didapatinya berkat siaran radio Jawa Hooso Kyoku. Kabar itu dikonfirmasi beberapa hari berikutnya oleh Andi Daeng Raja, pemuda yang sempat ke Jakarta bersama Dr Sam Ratulangi.

Kejadian ini ditulis oleh para veteran lewat makalah Sejarah Perjuangan Lasykar Pejuang Bersenjata 1945-1949 Kabupaten Bantaeng (1988).

25 Agustus, Andi Mannappiang memerintahkan Andi Pakkanna, pimpinan pemuda dari Pegunung membuat tim menjaga kota dan pimpinan pemerintahan. Dalam praktiknya bahkan pada 27 Agustus, mereka mengacaukan pihak-pihak yang pro Belanda di Kampung Letta dan beberapa daerah lainnya di Bantaeng.

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

Suasana Bonthain (kini Bantaeng) sekitar 1900-an. Merupakan kawasan kerajaan yang menjadi Afdeeling di masa pemerintahan Hindia Belanda. (Tropenmuseum)

"Setelah kemerdekaan diketahui maka suasana di Bantaeng telah berubah sedemikian rupa dengan pemberitaan estafet, dari mulut-kemulut tentang kemerdekaan, dan kelihatan dengan jelas bahwa Jepang tidak beraksi apa-apa melihat gelagat rakyat," tulis para veteran.

Andi Mannappiang menggelar pertemuan dengan banyak pemuda-pemudi, termasuk bekas anggota Heiho. Mereka sudah memperkirakan, bahwa Sekutu akan tiba ke negeri ini. Meski demikian, seperti rakyat Sulawesi Selatan umumnya, Sekutu tidak dianggap musuh, yang dikhawatirkan adalah Belanda menggunakan blok itu untuk menancapkan lagi kolonialismenya.

Pertemuan ini akhirnya melahirkan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) di bulan September. Lembaga itu langsung sigap menguasai bahan pangan, dan sektor pertanian di pegunungan Loka.

Di sisi lain, pasukan Sekutu sudah tiba di Jakarta di bulan yang sama. Ketika tiba di Sulawesi Selatan, pemerintah RI membantu mereka untuk membebaskan tawanan Perang Dunia II, tetapi NICA memperkeruh suasana.

Di Bantaeng sendiri, bentrokan antara AMRI dan NICA pertama kali terjadi akibat Belanda hendak menggunakan kantor adminsitrasi pemerintahan yang kini digunakan pemerintahan RI.

Baca Juga: Pertempuran Tarakan, Jejak Mengusir Jepang di Akhir Perang Dunia II