NICA yang dipimpin oleh Hyboer, seorang controleur Bantaeng bersama beberapa anggota KNIL. Pimpinan pemuda Abdullah Baso dan Muharrang sempat merampas pistol milik Hyboer pada 10 September.
Tak lama, pihak Sekutu datang membawa truk dan membawa Hyboer dan Hemsing, bekas controleur Bulukumba, untuk kembali ke markas.
Pihak Sekutu setelah itu mengadakan perundingan dengan pemerintahan Indonesia di Bantaeng yang dipimpin oleh Andi Mannappiang. Hasilnya, Indonesia diperbolehkan berkantor gedung bekas Kantor Asisten Residen, dan mereka bisa berhubungan dengan Sekutu.
"Hal ini tidak berjalan lama, karena NICA tidak berhenti membuat siasat untuk menjelek-jelekan pihak kita (Republik)," para veteran menerangkan.
Gerakan AMRI semakin menjadi, terutama pasca pertemuan antar pemuda dari Makassar, Sinjai, dan Selayar, di Bantaeng. Rupanya Moon Maricar dan Massiara, wakil dari Makassar dalam perjalanannya diikuti tentara.
Penginapan mereka dikepung oleh Sekutu dan NICA. Akibatnya, pada 15-19 September, AMRI terpicu melakukan perlawanan berupa sabotase sambungan telepon, memutuskan listrik rumah-rumah pro Belanda, dan mengambil alih Pesanggerahan.
Baca Juga: Kisah Sang Penyebar Berita Kemerdekaan Indonesia ke Penjuru Dunia
Mereka juga mengalami bentrokan dengan pihak KNIL. Bahkan di suatu pagi 15 September, beberapa pemuda yang dipimpin oleh Andi Pakkanna, berhasil membunuh aparat penting dari KNIL.
"Penekanan yang makin dirasakan dari pihak musuh, sedangkan kekuatan pemuda pada siang hari tidak dapat terang-terangan lagi dalam kota, sebab Tentara Sekutu aktif melakukan patroli dalam kota bersama KNIL," ungkap mereka.
"Bahkan kian hari kian bertambah jumlahnya karena adanya peraturan SOB dari Belanda, di bahagian Sulawesi Selatan, termasuk Bantaeng. Maka Pimpinan Pemerintah kita pindah di Kantor Adatsgemeenschaap Bantaeng."
Untuk melanjutkan perjuangan, salah satu anggota pemuda Abdul Salam berlayar ke Pulau Jawa bersama 20 orang rombongan. Tujuannya agar mendapatkan bantuan, khususnya senjata, dengan dalih melatih sepak bola dan teater.
Usaha itu membuat para Sekutu gencar menangkap pemuda pergerakan. Mereka yang hendak ke Jawa itu gagal sampai tujuan dan terdampar kembali di Bantaeng dan ditangkap.
Baca Juga: Selarik Tembang Kenangan Orang-orang Buangan di Boven Digoel
Andi Pakkanna bersama Jazied Nasar dan Ambo Dai melanjutkan usaha ke Pulau Jawa itu. Nahasnya, mereka ditangkap dan ditahan di Bangkalan, Madura, hingga Februari 1946. Setelah itu mereka dipulangkan kembali ke Bantaeng.
"Kedatangan A. Pakkanna tercium oleh musuh. Karena baru saja bersiap memimpin kembali pasukannya, tiba-tiba ia ditempat persembunyiannya di Tala-tala, pada 00.03 dini hari ia ditangkap dan dipenjara," terang para veteran.
Akhirnya, Andi Pakkanna bersama temannya Andi Muluk Tawang dan Karaeng Naud ditahan. Pakkanna dan Muluk dikirimkan ke Papua sebagai tahanan politik, sedangkan Karaeng Naud dipenjara di Makassar. Mereka baru bebas ketika penyerahan kedaultan pada 1949.
Otomatis, pergerakan AMRI sudah lumpuh karena banyak yang ditangkap, begitu pula pemerintahan Indonesia di Bantaeng yang dipimpin Andi Mannappiang. Hal itu karena banyaknya perundingan yang gagal, dan serangan yang brutal oleh para pemuda.
Perjuangan AMRI kemudian dilanjutkan oleh PPI (Penerjang Penjajah Indonesia) yang dikoordinasi oleh Daeng Nyallu, Abdullah Baso, Mahmud Daeng Siala, Muharrang Muratala. Mereka menyatukan kembali laskar-laskar kepemudaan yang terpecah-pecah akibat lumpuhnya AMRI.
Baca Juga: To Manurung, Sosok, dan Falsafah Demokrasi Ciri Khas Sulawesi Selatan