AMRI, Gelora Pemuda Bantaeng Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Senin, 2 Agustus 2021 | 18:34 WIB
(Keempat dari kiri, dirangkul) Andi Pakkanna bersama para veteran lainnya di Bantaeng yang terdiri dari AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) dan PPI (Penerjang Penjajah Indonesia) berpose bersama anak-anaknya pada 1980-an di Bone. Mereka mencatat kenangan perjuangannya dalam makalah sejarah. (Dok. Keluarga Pakkanna)

Nationalgeographic.co.id—15 Agustus 1945, ada situasi yang janggal bagi SUDARA (Sumber Darah Rakyat) di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Selama Perang Dunia II, lembaga itu berisi pemuda-pemudi yang wacananya menjadi tameng dalam perjuangan menghadapi serangan Sekutu—musuh Kekaisaran Jepang.

Malam itu, pemerintah Jepang menginstruksikan mereka untuk Senso Yasume atau Peperangan Istirahat, sehingga para personel diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing. Tidak ada lagi latihan.

Para pemuda-pemudi ini tidak tahu bahwa Jepang sudah kalah karena bom atom yang terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945. Wajar, sebab media menyensor semua berita pertempuran maupun perang yang mereka hadapi.

 

Hingga akhirnya, Yau Yu Tek, warga Bantaeng keturunan Tionghoa datang ke rumah adat Balla Lompoa (istana kerajaan Bantaeng), bersama Harsoyo, Ince Ali Amir, Sugardo, Pujo Sumpeno. Mereka dipanggil pada 17 Agustus  oleh Andi Mannappiang (raja ke-32 Bantaeng) secara rahasia.

Yau Yu Tek dan rombongnya mengabarkan, Sukarno dan Hatta di Jakarta telah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Informasi itu didapatinya berkat siaran radio Jawa Hooso Kyoku. Kabar itu dikonfirmasi beberapa hari berikutnya oleh Andi Daeng Raja, pemuda yang sempat ke Jakarta bersama Dr Sam Ratulangi.

Kejadian ini ditulis oleh para veteran lewat makalah Sejarah Perjuangan Lasykar Pejuang Bersenjata 1945-1949 Kabupaten Bantaeng (1988).

25 Agustus, Andi Mannappiang memerintahkan Andi Pakkanna, pimpinan pemuda dari Pegunung membuat tim menjaga kota dan pimpinan pemerintahan. Dalam praktiknya bahkan pada 27 Agustus, mereka mengacaukan pihak-pihak yang pro Belanda di Kampung Letta dan beberapa daerah lainnya di Bantaeng.

Baca Juga: The Sin Nio dan Ho Wan Moy, Srikandi Tionghoa untuk Kemerdekaan

Suasana Bonthain (kini Bantaeng) sekitar 1900-an. Merupakan kawasan kerajaan yang menjadi Afdeeling di masa pemerintahan Hindia Belanda. (Tropenmuseum)

"Setelah kemerdekaan diketahui maka suasana di Bantaeng telah berubah sedemikian rupa dengan pemberitaan estafet, dari mulut-kemulut tentang kemerdekaan, dan kelihatan dengan jelas bahwa Jepang tidak beraksi apa-apa melihat gelagat rakyat," tulis para veteran.

Andi Mannappiang menggelar pertemuan dengan banyak pemuda-pemudi, termasuk bekas anggota Heiho. Mereka sudah memperkirakan, bahwa Sekutu akan tiba ke negeri ini. Meski demikian, seperti rakyat Sulawesi Selatan umumnya, Sekutu tidak dianggap musuh, yang dikhawatirkan adalah Belanda menggunakan blok itu untuk menancapkan lagi kolonialismenya.

Pertemuan ini akhirnya melahirkan AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) di bulan September. Lembaga itu langsung sigap menguasai bahan pangan, dan sektor pertanian di pegunungan Loka.

Di sisi lain, pasukan Sekutu sudah tiba di Jakarta di bulan yang sama. Ketika tiba di Sulawesi Selatan, pemerintah RI membantu mereka untuk membebaskan tawanan Perang Dunia II, tetapi NICA memperkeruh suasana.

Di Bantaeng sendiri, bentrokan antara AMRI dan NICA pertama kali terjadi akibat Belanda hendak menggunakan kantor adminsitrasi pemerintahan yang kini digunakan pemerintahan RI.

Baca Juga: Pertempuran Tarakan, Jejak Mengusir Jepang di Akhir Perang Dunia II

 

 

NICA yang dipimpin oleh Hyboer, seorang controleur Bantaeng bersama beberapa anggota KNIL. Pimpinan pemuda Abdullah Baso dan Muharrang sempat merampas pistol milik Hyboer pada 10 September.

Tak lama, pihak Sekutu datang membawa truk dan membawa Hyboer dan Hemsing, bekas controleur Bulukumba, untuk kembali ke markas.

Pihak Sekutu setelah itu mengadakan perundingan dengan pemerintahan Indonesia di Bantaeng yang dipimpin oleh Andi Mannappiang. Hasilnya, Indonesia diperbolehkan berkantor gedung bekas Kantor Asisten Residen, dan mereka bisa berhubungan dengan Sekutu.

"Hal ini tidak berjalan lama, karena NICA tidak berhenti membuat siasat untuk menjelek-jelekan pihak kita (Republik)," para veteran menerangkan.

Gerakan AMRI semakin menjadi, terutama pasca pertemuan antar pemuda dari Makassar, Sinjai, dan Selayar, di Bantaeng. Rupanya Moon Maricar dan Massiara, wakil dari Makassar dalam perjalanannya diikuti tentara.

Penginapan mereka dikepung oleh Sekutu dan NICA. Akibatnya, pada 15-19 September, AMRI terpicu melakukan perlawanan berupa sabotase sambungan telepon, memutuskan listrik rumah-rumah pro Belanda, dan mengambil alih Pesanggerahan.

Baca Juga: Kisah Sang Penyebar Berita Kemerdekaan Indonesia ke Penjuru Dunia

Balai Kota Makassar, sekitar 1946. (KITLV)

Mereka juga mengalami bentrokan dengan pihak KNIL. Bahkan di suatu pagi 15 September, beberapa pemuda yang dipimpin oleh Andi Pakkanna, berhasil membunuh aparat penting dari KNIL.

"Penekanan yang makin dirasakan dari pihak musuh, sedangkan kekuatan pemuda pada siang hari tidak dapat terang-terangan lagi dalam kota, sebab Tentara Sekutu aktif melakukan patroli dalam kota bersama KNIL," ungkap mereka.

"Bahkan kian hari kian bertambah jumlahnya karena adanya peraturan SOB dari Belanda, di bahagian Sulawesi Selatan, termasuk Bantaeng. Maka Pimpinan Pemerintah kita pindah di Kantor Adatsgemeenschaap Bantaeng."

Untuk melanjutkan perjuangan, salah satu anggota pemuda Abdul Salam berlayar ke Pulau Jawa bersama 20 orang rombongan. Tujuannya agar mendapatkan bantuan, khususnya senjata, dengan dalih melatih sepak bola dan teater.

Usaha itu membuat para Sekutu gencar menangkap pemuda pergerakan. Mereka yang hendak ke Jawa itu gagal sampai tujuan dan terdampar kembali di Bantaeng dan ditangkap.

Baca Juga: Selarik Tembang Kenangan Orang-orang Buangan di Boven Digoel

Rumah Controleur di Bantaeng, Sulawesi Selatan, 1910. (KITLV)

Andi Pakkanna bersama Jazied Nasar dan Ambo Dai melanjutkan usaha ke Pulau Jawa itu. Nahasnya, mereka ditangkap dan ditahan di Bangkalan, Madura, hingga Februari 1946. Setelah itu mereka dipulangkan kembali ke Bantaeng.

"Kedatangan A. Pakkanna tercium oleh musuh. Karena baru saja bersiap memimpin kembali pasukannya, tiba-tiba ia ditempat persembunyiannya di Tala-tala, pada 00.03 dini hari ia ditangkap dan dipenjara," terang para veteran.

Akhirnya, Andi Pakkanna bersama temannya Andi Muluk Tawang dan Karaeng Naud ditahan. Pakkanna dan Muluk dikirimkan ke Papua sebagai tahanan politik, sedangkan Karaeng Naud dipenjara di Makassar. Mereka baru bebas ketika penyerahan kedaultan pada 1949.

Otomatis, pergerakan AMRI sudah lumpuh karena banyak yang ditangkap, begitu pula pemerintahan Indonesia di Bantaeng yang dipimpin Andi Mannappiang. Hal itu karena banyaknya perundingan yang gagal, dan serangan yang brutal oleh para pemuda.

Perjuangan AMRI kemudian dilanjutkan oleh PPI (Penerjang Penjajah Indonesia) yang dikoordinasi oleh Daeng Nyallu, Abdullah Baso, Mahmud Daeng Siala, Muharrang Muratala. Mereka menyatukan kembali laskar-laskar kepemudaan yang terpecah-pecah akibat lumpuhnya AMRI.

Baca Juga: To Manurung, Sosok, dan Falsafah Demokrasi Ciri Khas Sulawesi Selatan