Ketika musim timur tiba,
kapal berdendang di laut lestari
Berkelanalah hingga ujung utara,
berlabuhlah di mutiara pulau tujuh lestari
Kedua bola mata saya memicing. Terik matahari yang ada di ujung penggalah sedikit menghalangi saya memandang panorama di hadapan saya. Laut yang membiru, nyaris berpadu dengan langit yang cerah. Ada sedikit gumpalan awan, tapi bukanlah kumpulan cumulus nimbus, yang dapat menyurutkan perjalanan saya dan teman-teman dari Jakarta – yang berjarak ratusan kilometer dari sini.
Musim utara belumlah selesai sepenuhnya untuk wilayah perairan Natuna yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan. Biasanya selama rentang waktu November hingga Februari setiap tahunnya, gelombang perairan tak ramah bagi para pejalan.
Bahkan, saat puncak musim utara, selain angin yang bertiup kencang, gelombang lautnya dapat mengangkat kapal tinggi-tinggi hingga memabukkan para penumpangnya. Setelah saya melihat peta, perairan yang kami arungi bukanlah perairan yang langsung berhadapan dengan laut lepas, yang memiliki kedalaman di atas angka dua puluhan meter.
Tujuan kami siang itu, Desa Pulau Tiga. Tempat ini dapat dicapai dengan menumpang perahu pompong – alat angkut yang terbuat dari kayu dan menggunakan mesin pendorong dengan suara yang memekakkan telinga. Lantaran itulah, kami tidak banyak bercakap-cakap selama perjalanan.
Saya sendiri asyik membidikkan lensa kamera ke panorama sekitarnya. Lebih tepatnya, saya mencari-cari obyek yang pas untuk saya laporkan setelah kembali dari sini. Ah, saya bagaikan menemukan kemilau mutiara di wilayah barat Nusantara.
Pikiran saya bak larut akan data-data yang pernah saya baca. Inilah gugusan pulau kaya di ujung utara Provinsi Kepulauan Riau, yang berbataskan lautan. Daratan dan perairannya mengandung berbagai barang tambang yang melimpah, seperti pasir kuarsa, gas alam, dan minyak bumi.
Daftar kekayaan itu masih ditambahi dengan ekosistem perairan dangkal dan laut dalam, yang menjadi hunian berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Sementara, masyarakat yang bermukim di sejumlah kecil pulau-pulau itu menyimpan pula keberagaman asal mereka. Dan, mereka hidup dalam harmoni yang tertata rapih.
Natuna memang mencuri perhatian. Pemandangan dari udara selalu memikat mata para tetamu yang datang dari jauh. Tak percaya? Cobalah tengok jendela pesawat Anda sesaat akan mendarat di Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna.
Gugusan terumbu yang ditutupi air laut yang berwarna hijau muda, hamparan pasir putih, dan hutan yang menghijau di bagian daratan bagai menantang Anda untuk menyinggahi. Pesawat yang memutar demi menghindari empasan angin laut yang menabrak Gunung Ranai, dengan titik tertinggi 1.035 meter dari muka laut, semakin menegaskan pemandangan nan apik.