Kemilau Mutiara Nusa Tujuh

By , Kamis, 25 April 2013 | 20:00 WIB
()

Ketika musim timur tiba,

kapal berdendang di laut lestari

Berkelanalah hingga ujung utara,

berlabuhlah di mutiara pulau tujuh lestari

Kedua bola mata saya memicing. Terik matahari yang ada di ujung penggalah sedikit menghalangi saya memandang panorama di hadapan saya. Laut yang membiru, nyaris berpadu dengan langit yang cerah. Ada sedikit gumpalan awan, tapi bukanlah kumpulan cumulus nimbus, yang dapat menyurutkan perjalanan saya dan teman-teman dari Jakarta – yang berjarak ratusan kilometer dari sini.

Musim utara belumlah selesai sepenuhnya untuk wilayah perairan Natuna yang berhadapan dengan Laut Cina Selatan. Biasanya selama rentang waktu November hingga Februari setiap tahunnya, gelombang perairan tak ramah bagi para pejalan.

Bahkan, saat puncak musim utara, selain angin yang bertiup kencang, gelombang lautnya dapat mengangkat kapal tinggi-tinggi hingga memabukkan para penumpangnya. Setelah saya melihat peta, perairan yang kami arungi bukanlah perairan yang langsung berhadapan dengan laut lepas, yang memiliki kedalaman di atas angka dua puluhan meter.

Tujuan kami siang itu, Desa Pulau Tiga. Tempat ini dapat dicapai dengan menumpang perahu pompong – alat angkut yang terbuat dari kayu dan menggunakan mesin pendorong dengan suara yang memekakkan telinga. Lantaran itulah, kami tidak banyak bercakap-cakap selama perjalanan.

Saya sendiri asyik membidikkan lensa kamera ke panorama sekitarnya. Lebih tepatnya, saya mencari-cari obyek yang pas untuk saya laporkan setelah kembali dari sini. Ah, saya bagaikan menemukan kemilau mutiara di wilayah barat Nusantara.

Pikiran saya bak larut akan data-data yang pernah saya baca. Inilah gugusan pulau kaya di ujung utara Provinsi Kepulauan Riau, yang berbataskan lautan. Daratan dan perairannya mengandung berbagai barang tambang yang melimpah, seperti pasir kuarsa, gas alam, dan minyak bumi. 

Daftar kekayaan itu masih ditambahi dengan ekosistem perairan dangkal dan laut dalam, yang menjadi hunian berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Sementara, masyarakat yang bermukim di sejumlah kecil pulau-pulau itu menyimpan pula keberagaman asal mereka. Dan, mereka hidup dalam harmoni yang tertata rapih.

Natuna memang mencuri perhatian. Pemandangan dari udara selalu memikat mata para tetamu yang datang dari jauh. Tak percaya? Cobalah tengok jendela pesawat Anda sesaat akan mendarat di Ranai, ibu kota Kabupaten Natuna.

Gugusan terumbu yang ditutupi air laut yang berwarna hijau muda, hamparan pasir putih, dan hutan yang menghijau di bagian daratan bagai menantang Anda untuk menyinggahi. Pesawat yang memutar demi menghindari empasan angin laut yang menabrak Gunung Ranai, dengan titik tertinggi 1.035 meter dari muka laut, semakin menegaskan pemandangan nan apik. 

Tari Persembahan yang menyambut tamu kehormatan, setelah selesai menari perwakilan tamu diberi daun sirih oleh penari (Warsono/NGI).

Ranai berada di Pulau Natuna Besar, yang lebih dikenal sebagai Pulau Bunguran Besar oleh warga Natuna. Apabila dihitung dari ibu kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) – Tanjungpinang, maka Ranai memiliki jarak terjauh (440 mil laut) dibandingkan dengan enam ibu kota kabupaten/kota lainnya di dalam provinsi itu.

Gugusan pulau di Natuna terbagi menjadi: gugusan Pulau Natuna (Pulau Sedanau, Pulau Bunguran, Pulau Laut, dan Pulau Tiga); gugusan Pulau Serasan (Pulau Serasan, Pulau Midai, Pulau Subi Besar, dan Pulau Subi Kecil). 

Natuna memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan (sekitar 70 persen lautan). Berdasarkan kondisi fisiknya, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit dan bergunung batu. Dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir pantai. Ketinggian wilayah antara kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara tiga sampai dengan 1.035  meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara dua hingga lima meter.

Lamunan saya tiba-tiba buyar saat kapal kayu yang tumpangi menurunkan kecepatannya. Mesin yang menempel pada badan perahu tak lagi menggerung. Saya memandangi lanskap ke arah Pulau Bunguran yang tampak berbukit-bukit lancip dan berbentuk seperti limas. Oh, rupanya, kami menyinggahi Desa Selading.

Dari sana, kami meneruskan perjalanan ke Desa Pulau Tiga. Begitu tiba, pelabuhan desa tengah ramai. Saya hanya menyaksikan para pemuda berseragam kesebelasan sepak bola yang berlalu lalang di tempat ini.

Setelah mencari tahu, akhirnya saya mendapatkan info: ada hajatan dari kecamatan. Saat itu, warga memperingati ulang tahun ketujuh dari Kecamatan Pulau Tiga. Itu sebabnya, pertandingan sepak bola menjadi salah satu mata acara yang selalu mendapatkan perhatian (selain kompetisi bola voli, domino, karaoke lagu dangdut dan melayu).

Sebagian besar rumah – rumah di Desa Pulau Tiga berdiri di atas air laut. Alasannya, topografi pulau yang memiliki lereng curam. Tapi, penduduk memanfaatkannya untuk bertanam cengkeh – yang hasilnya  menjadi pendapatan tambahan buat warga, selain dari pekerjaan utama menjadi nelayan. Kebetulan sekali saat itu sedang panen cengkeh. Setelah melihat sunrise di pelabuhan, saya melihat warga sudah mulai menjemur cengkeh di depan rumah masing-masing.

Saat sarapan saya sempat mencicipi singkong rebus dan penganan yang mirip tiwul. Namanya, tabol yang terbuat dari sagu dan diberi kelapa parut. “Tabol enaknya disajikan dengan ikan kuah pindang” ujar Siti, perempuan paruh baya yang membuat penganan khas itu.

Kisah lengkap perjalanan menjelajahi keelokan mutiara Natuna dan pulau-pulau di sekitarnya dapat kita ikuti melalui National Geographic Traveler edisi Mei 2013. Tetaplah menjelajah Nusantara!