Kemilau Mutiara Nusa Tujuh

By , Kamis, 25 April 2013 | 20:00 WIB
()
Tari Persembahan yang menyambut tamu kehormatan, setelah selesai menari perwakilan tamu diberi daun sirih oleh penari (Warsono/NGI).

Ranai berada di Pulau Natuna Besar, yang lebih dikenal sebagai Pulau Bunguran Besar oleh warga Natuna. Apabila dihitung dari ibu kota Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) – Tanjungpinang, maka Ranai memiliki jarak terjauh (440 mil laut) dibandingkan dengan enam ibu kota kabupaten/kota lainnya di dalam provinsi itu.

Gugusan pulau di Natuna terbagi menjadi: gugusan Pulau Natuna (Pulau Sedanau, Pulau Bunguran, Pulau Laut, dan Pulau Tiga); gugusan Pulau Serasan (Pulau Serasan, Pulau Midai, Pulau Subi Besar, dan Pulau Subi Kecil). 

Natuna memiliki perairan yang lebih luas ketimbang daratan (sekitar 70 persen lautan). Berdasarkan kondisi fisiknya, Kabupaten Natuna merupakan tanah berbukit dan bergunung batu. Dataran rendah dan landai banyak ditemukan di pinggir pantai. Ketinggian wilayah antara kecamatan cukup beragam, yaitu berkisar antara tiga sampai dengan 1.035  meter dari permukaan laut dengan kemiringan antara dua hingga lima meter.

Lamunan saya tiba-tiba buyar saat kapal kayu yang tumpangi menurunkan kecepatannya. Mesin yang menempel pada badan perahu tak lagi menggerung. Saya memandangi lanskap ke arah Pulau Bunguran yang tampak berbukit-bukit lancip dan berbentuk seperti limas. Oh, rupanya, kami menyinggahi Desa Selading.

Dari sana, kami meneruskan perjalanan ke Desa Pulau Tiga. Begitu tiba, pelabuhan desa tengah ramai. Saya hanya menyaksikan para pemuda berseragam kesebelasan sepak bola yang berlalu lalang di tempat ini.

Setelah mencari tahu, akhirnya saya mendapatkan info: ada hajatan dari kecamatan. Saat itu, warga memperingati ulang tahun ketujuh dari Kecamatan Pulau Tiga. Itu sebabnya, pertandingan sepak bola menjadi salah satu mata acara yang selalu mendapatkan perhatian (selain kompetisi bola voli, domino, karaoke lagu dangdut dan melayu).

Sebagian besar rumah – rumah di Desa Pulau Tiga berdiri di atas air laut. Alasannya, topografi pulau yang memiliki lereng curam. Tapi, penduduk memanfaatkannya untuk bertanam cengkeh – yang hasilnya  menjadi pendapatan tambahan buat warga, selain dari pekerjaan utama menjadi nelayan. Kebetulan sekali saat itu sedang panen cengkeh. Setelah melihat sunrise di pelabuhan, saya melihat warga sudah mulai menjemur cengkeh di depan rumah masing-masing.

Saat sarapan saya sempat mencicipi singkong rebus dan penganan yang mirip tiwul. Namanya, tabol yang terbuat dari sagu dan diberi kelapa parut. “Tabol enaknya disajikan dengan ikan kuah pindang” ujar Siti, perempuan paruh baya yang membuat penganan khas itu.

Kisah lengkap perjalanan menjelajahi keelokan mutiara Natuna dan pulau-pulau di sekitarnya dapat kita ikuti melalui National Geographic Traveler edisi Mei 2013. Tetaplah menjelajah Nusantara!