Prakarsa Jejaring Museum dan Kabar Artefak Indonesia di Luar Negeri

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Minggu, 15 Agustus 2021 | 13:00 WIB
Topeng kayu berukir yang menampilkan karakter Kiai Manila, Jawa Tengah. Di dalam topeng terdapat tali serat yang digigit pemain untuk menahan topeng di tempatnya. Dibuat sekitar 1800-1816, koleksi Thomas Stamford Raffles. (Alexandra Green/British Museum)

Nationalgeographic.co.id - "Pada momen seperti ini, ada baiknya kita lihat kembali asal-usul kita, dari mana kita datang, agar lebih baik kita memahami situasi kita sekarang dan juga begitu tentunya membuka langkah kita ke depan," ujar Hilmar Farid selaku Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Dia menyampaikan pemikirannya dalam Seminar Internasional Badan Musyawarah Musea (Barahmus) yang digelar 12 Agustus 2021.

Selama pagebluk COVID-19, Hilmar mengungkapkan bahwa hampir semua museum di seluruh dunia menghentikan aktivitasnya, baik itu sementara atau untuk selamanya. Namun dia melihat sisi lain yang memberi peluang untuk semua. Ketika semua museum berhenti, kita  yang bisa mempelajari asal-usul koleksi museum sehingga memberikan kontribusi dalam pelestarian peninggalan sejarah.

Dalam webinar itu, hadir pula para ahli yang mewakili museum dari beberapa negara. Salah satunya, British Museum, yang menyimpan sekitar 2.000 benda hasil pengumpulan dan penjarahan Thomas Stamford Raffles saat kuasa Inggris di Hindia.

 

"Hampir 1.500 [di antaranya] berasal dari Pulau Jawa di Indonesia, terutama dikumpulkan selama masa peralihan Inggris ketika Raffles menjadi Letnan Gubernur dari tahun 1811 hingga 1816," terang Alexandra Green dari British Museum.

"500 lainnya adalah koin Cina yang ditemukan di Jawa, dan sisanya termasuk barang-barang dari Sumatera, Nias, India, Burma (Myanmar), dan Siam (Thailand)."

Alasan mengapa Raffles mengumpulkan ragam benda itu, berdasarkan buku The History of Java yang ditulisnya, ia ingin mengetahui lebih dalam kondisi geografi, flora-fauna, iklim, hingga sosial budaya di Pulau Jawa.

Baca Juga: Tatkala Raffles Menjarah Keraton Yogyakarta

Buta Kimul, Cirebon, Jawa Barat, sekitar akhir 1700-an hingga awal 1800-an. Terbuat dari kulit, tanduk, pigmen, serat, dan prada. Koleksi dari Thomas Stamford Raffles. (Alexandra Green/British Museum)

Dia juga mengumpulkan beberapa arca, wayang, alat musik tradisional, dan naskah bersejarah. Tetapi banyak barang yang dibawanya hilang ketika kapalnya tenggelam, termasuk naskah-naskah penting.

"Terlepas dari minat budayanya, Raffles juga menginginkan daerah koloni untuk menghasilkan keuntungan sebagai sumber pendapatan," papar Green.

"Raffles dan rekan-rekan senegaranya dari Eropa berpikir positif atas kesuburan dan kerimbunan Jawa, yang mendorong antusiasmenya untuk mengembangkannya sebagai koloni Inggris."

Ada pula Francine Brinkgreve dari Volkenkunde Museum di Leiden. Dia memaparkan bahwa banyak koleksi museum di Belanda diminati tokoh Indonesia, contohnya pahlawan nasional Ida Anak Agung Gede Agung. Sebab, terdapat berbagai koleksi termasuk dari Indonesia timur, beberapa di antaranya dibawa oleh Rudolf Bonnet pada 1948.

Baca Juga: Raffles Meresmikannya, Kita Membongkarnya

Wayang tokoh Menak Jingga, penjahat utama dalam narasi Damarwulan. Kayu, serat, pigmen, daun emas, akhir 1700-an atau awal 1800-an. Asal Surakarta, koleksi Thomas Stamford Raffles. (Alexandra Green/British Museum)

"Namun, setelah Tropenmuseum di Amsterdam dan Museum Volkenkunde di Leiden digabung menjadi National Museum of World Culture pada 2018, kami menghubungi KBRI mengenai masalah penyerahan koleksi tersebut kepada pemilik yang sah," terang Brinkgreve.

"Alhasil, sebelum koleksi itu benar-benar dikembalikan ke Indonesia, pada 2019 kami merealisasikan penerbitan koleksi tersebut, dengan dukungan dana dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag."

Ia mengakui, bahwa pengembalian artefak Indonesia tidak bisa dilakukan secara langsung, terlebih krisis COVID-19 menghadang. "Tetapi kami berharap ini akan terjadi di masa mendatang," ia menambahkan.

Baca Juga: Artefak-artefak di dalam The British Museum sudah Dapat Dinikmati melalui Google Street View

Ida Anak Agung Gede Agung (tengah) saat mengunjungi Tropenmuseum, Belanda tahun 1948. Dia menyaksikan banyak peninggalan Indonesia Timur, seperti Bali, dipamerkan di museum itu. (Tropenmuseum)

Salah satu usaha memperkenalkan museum secara digital dipaparkan oleh Yilan Wang dari China National Silk Museum. Museum itu mengandalkan teknologi konservasi, dan studionya dilengkapi dengan cara-cara teknis untuk untuk memenuhi seluruh proses persyaratan konservasi dan restorasi.

"Sejauh ini, kami telah menyediakan layanan perlindungan dan konservasi untuk lebih dair 50 museum dan lembaga budaya di seluruh dunia," terang Wang.

Pihak China National Silk Museum sendiri berencana mengadakan proyek The Silk Road Online Museum (SROM) untuk mengenalkan kebudayaan pembuatan sutra. Proyek ini akan menggandeng 40 museum lainnya, untuk menyediakan konten koleksi, pameran, pengajaran, dan kurasi digital.

Baca Juga: Linschoten, Kartografer Belanda yang Menentukan Takdir Nusantara

 

"Ada dua tujuan utama dari proyek SROM," papar Wang dalam presentasinya. "Untuk memasilitasi kerjasama dan pembelajaran antara museum-museum jalur sutera, memecahkan kterebtasan ruang fisik, mengumpulkan informasi dan sumber daya digital di seluruh dunia bersama-sama, serta mempromosikan semangat Jalur Sutra."

Tujuan kedua adalah penyediaan penelitian daring, dan kurasi langsung bagi museum maupun dari universitas. Dengan demikian dapat menjadi peluang bagi mahasiswa untuk mempelajari seluruh proses, teknik kurasi, dan merancang pameran, jelasnya.

Koleksi artefak warisan Indonesia tidak hanya di Eropa, tetapi juga di Australia. Carol Cains dari National Gallery of Australia di Canberra mengungkapkan kemungkinan untuk mengembangkan kerjasama baru. “Di sini saya berharap dapat mengembangkan kerjasama baru dan sharing mengenai sebagian kecil dari koleksi Indonesia di National Gallery Australia dengan Anda hari ini."

Webinar merupakan rangkaian Festival Museum Yogyakarta 2021, sekaligus memperingati 50 tahun Badan Musyawarah Musea. "Festival ini berisi rangkaian kegiatan webinar, pameran, penerbitan buku yang akan berlangsung sampai 12 Oktober 2021 yang bertepatan dengan Hari Museum Indonesia," kata GKR Bendara selaku Ketua Panitia Festival Museum Yogyakarta 2021 melalui rilisnya.

 

Baca Juga: Lukisan Van Gogh Dicuri Saat Museum Belanda Tutup Karena COVID-19

Lukisan karya seniman Bali Ida Bagus Made Poleng (1915-1999) yang berada di koleksi National Museum of World Culture di Belanda. (Museum of World Culture )

Selain membahas nasib koleksi benda bersejarah warisan Indonesia di berbagai museum besar, mereka juga menggagas kemungkinan kerjasama. Salah satunya terkait evolusi museum untuk menghadapi perubahan di masa mendatang, namun tetap menjaga karakter masing-masing.

Hilmar menambahkan bahwa acara ini menjadi ajang untuk museum di Indonesia dapat memunculkan metode kreatif dan inovatif untuk menampilkan karya pada publik secara digital.

Harapannya, tidak hanya pameran yang diadakan oleh pegiat museum, tetapi juga kegiatan bertukar pikiran dari beberapa museum di luar negeri untuk merawat koleksinya.

"Sehingga menjadi pembelajaran untuk memperbaiki, memberikan perlindungan, dan pengelolaan koleksi kita," ujar Hilmar. "Terutama, pencatatan, inventarisasi, konservasi, dan hal-hal lain yang susah dilakukan ketika museum melayani pengunjung."

Baca Juga: Karut-Marut Pagebluk Pes Pertama di Hindia Belanda