Perang Uni Soviet-Afganistan, Awal Kisah Perlawanan Taliban

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Selasa, 17 Agustus 2021 | 14:00 WIB
Seorang milisi Mujahidin pada 1 April 1984 di perkemahan dekat Wana, Afghanistan. Mereka bersiap atas kepulangan Uni Soviet dari tanah air mereka, meski masalah perang saudara tak kunjung selesai. Berikutnya, kalangan Mujahidin akan membentuk organisasi Taliban untuk melanjutkan perlawanan. (Christopher Gunnes/AP)

Nationalgeographic.co.id - Sejak dulu hingga kini, Afganistan sering terjadi konflik. Mulai dari perang pertama Anglo-Afgan di pertengahan abad ke-20, hingga peralihan kekuasaan pemerintahan Afghanistan ke Taliban--kalangan fundamentalis--yang terjadi kini.

Salah satu yang penting dalam sejarah Afganistan adalah yang terjadi pada perang Soviet-Afganistan. Waktu itu Perang Dingin sedang gencar-gencarnya terjadi, dan negeri itu masih menjadi negara komunis.

Diplomat Amerika Serikat untuk Afganistan J. Bruce Amstutz menulis perpolitikan saat itu lewat bukunya, Afghanistan: The First Five Years of Soviet Occupation.

Ia mengabarkan, setelah Revolusi Saur tahun 1973-1978, negeri itu yang bernuansa komunisme cenderung menerapkan hukum yang dianggap bertentangan dengan kalangan konservatif.

Saat itu, negara dipimpin oleh Nur Muhammad Taraki dari Partai Demokrasi Rakyat Afganistan. Berbagai kebijakan itu membuat kalangan Islam konservatif menjadi militan dan membentuk badan persenjataan, Mujahidin.

Makalah the Journal of Slavic Military Studies berjudul the Soviet-Afghan War: a Superpower Mired in the Mountains menyebutkan, dekade 70-an adalah masa jayanya komunisme. Terbukti, dengan beberapa negara yang sempat diserang Barat melakukan perlawanan yang memperkuat persekutuan Blok Timur, seperti Vietnam, Kamboja, Kuba, Angola, Mozambik, dan Ethiopia.

Makalah itu ditulis oleh Lester W. Grau, Foreign Military Studies Office, Amerika Serikat.

Baca Juga: Sejarah Taliban yang Membangun Negara Islam Fundamental di Afganistan

 

Demonstrasi Asosiasi Revolusioner Wanita Afghanistan (RAWA) di Peshawar, Pakistan mengutuk Taliban dan melakukan peringatan 6 tahun mobilisasi fundamentalis ke Kabul, 28 April 1998. (www.rawa.org/Wikimedia Commons.)

1979, kudeta terjadi ketika Perdana Menteri Hafizullah Amin membunuh Taraki karena perang saudara. Setelah itu, Amin tetap meminta bantuan Soviet, termasuk intervensi militer untuk memerangi ancaman Mujahidin yang kian ganas.

Tetapi permintaannya ke Uni Soviet tidak semudah sebelumnya, lantaran Taraki adalah orang Moskow. Akibatnya, Afganistan makin kacau dan Moskow mulai bertindak pada 1980.

"Mereka memutuskan untuk melenyapkan Amin dan menempatkan kandidat mereka sendiri dalam kekuasaan, sambil menggunakan intervensi yang tampaknya enggan untuk membantu perjuangan DRA (Afganistan) melawan Mujahidin sebagai kedok," tulis Grau.

"Itu adalah penyamaran yang sukses. Staf Umum DRA bekerja sama dengan Staf Umum Soviet dalam merencanakan masuknya pasukan Soviet tiga divisi awal. Itu adalah operasi yang brilian. Dengan mengorbankan 66 Soviet yang tewas (44 karena kecelakaan), Soviet menguasai kota-kota dan pemerintah Afganistan."

 

Uni Soviet memasuki kawasan itu dengan tujuan untuk menahan kota, garnisun, dan lapangan udara. Sedangkan angkatan bersenjata Afganistan memerangi Mujahidin di kawasan pedesaan.

Rupanya, tetangga-tetangga Afganistan tidak nyaman dengan serangan Soviet. Pakistan merasa tidak aman karena musuh bebuyutannya, India, lebih dekat dengan Barat, dan mereka sendiri harus mengimbanginya menjadi negara Islam agar mendapat dukungan negara Muslim di seluruh dunia.

Iran yang sedang berperang dengan Irak (negara yang mengandalkan senjata Soviet) juga merasa hal yang sama. Maka dengan lekas Iran dan Pakistan memberikan bantuan kepada Mujahidin.

Baca Juga: Lelah Berperang, Ini Detik-detik Soviet Mundur dari Afghanistan 30 Tahun Lalu

Seorang tentara Uni Soviet menunggu di dekat jendela untuk membidik musuh sekitar 1988. (Mikhail Evstafiev)

 

Kemudian negara-negara yang memiliki masalah dengan Uni Soviet, seperti Amerika Serikat, Republik Rakyat Tiongkok, Inggris, Prancis, Italia, Arab Saudi, dan Mesir, juga mulai menyalurkan bantuan militer ke Mujahidin melalui Pakistan.

"Penilaian Pakistan adalah bahwa Uni Soviet telah datang ke Afganistan untuk tinggal dan itu adalah kepentingan terbaik Pakistan untuk mendukung para Mujahidin yang tidak akan pernah menerima kehadiran Soviet," terang Grau.

"Pakistan Inter-Services Intelligence Agency (ISI) mulai menyalurkan bantuan melalui berbagai faksi politik Afganistan yang bermarkas di Pakistan."

Amerika Serikat dan Inggris memberikan bantuan senjata dan perlengkapan, walau seringkali bantuan yang tersedia ternyata tidak sesuai keinginan para komandan Mujahidin. Arab Saudi dan Uni Emirat Arab memberikan bantuan dana. Sedangkan Tiongkok juga membantu dana, dengan tujuan menguasai pengaruh perekonomian komunis.

Baca Juga: Gadis Afghanistan Terpaksa Hidup dan Berdandan Seperti Laki-laki, Mengapa?

 

Kelompok Mujahidin terpaksa untuk membangun titik pasokan dan distribusi ke dalam areal Afganistan untuk meringkankan permasalahan logistik yang rumit karena medan. Kebanyakan titik tersebut berada di kawasan terpencil di pegunungan dan ngarai seperti Tora Bora, Zhawar dan lembah Sharikot.

Situs-situs ini merumitkan mobilitas Mujahidin. Di sisi lain membuat Uni Soviet dapat mengetahui target lemah mereka, meski tidak mudah. Kesulitan Soviet adalah mereka harus menyediakan basis keamanan yang membutuhkan sekitar 85 persen dari kekuatannya bersama tentara Afganistan.

Ancaman pada pihak Soviet sejak kedatangannya tahun 1980 adalah penyakit yang membuat 60 persen anggota bantuan dirawat di rumah sakit. Penyakitnya antara lain shigelosis, amubiasis, tifus, kolera, hepatitis, dan penyakit yang ditularkan lewat air lainnya.

Maka pada 1984, perang yang berkecamuk adalah di bidang logistik di masing-masing pihak, tulis Grau. Mereka saling berusaha mencekik logistik sambil berusaha untuk mempertahankan pasokan yang layak.

Baca Juga: Perempuan Afganistan

Tentara Soviet mundur dari Afghanistan pada 15 Februari 1989. (Vitaly Armand/AFP)

Setahun kemudian, Mikhail Gorbachev berkuasa di Uni Soviet. Dia melancarkan militer ke Afganistan yang paling sadis, yang sebenarnya menyebabkan pihak Mujahidin kacau balau, tetapi tidak disadari Soviet sendiri.

Dalam arsip keterangan Amerika Serikat tahun 2005, kekuatan Mujahidin kian menguat dengan satuan Arab-Afganistan. Kelompok ini oleh Presiden Ronald Reagan dianggap 'pejuang kebebasan' yang terdiri dari kalangan Muslim dunia untuk jihad melawan komunis. Salah satu gerilyawan tersebut adalah Osama bin Laden.

Gerilya Mujahidin berlanjut hingga 1987, hingga akhirnya Gorbachev menyerukan 'Afganisasi' perang dan penarikan pasukan Soviet dari Afganistan. Pasukan tempur Soviet terakhir yang meninggalkan Afganistan terjadi pada 15 Februari 1987.

Baca Juga: Melongok Penjara Mewah untuk Terpidana Teroris di Arab Saudi

Malala Yousafzai, usia 18 tahun saat foto ini dibuat, yang menjadi korban penembakan oleh Taliban tepat di kepalanya. (Andrew Burton/Getty Images)

Kepergian Uni Soviet menyisakan perang saudara yang terus berkecamuk di Afganistan antara pemerintahan di Kabul dan para Mujahidin selama 1989 hingga 1992. Ketika Uni Soviet runtuh, Rusia juga enggan membantu karena pemerintahan yang baru enggan membantu komunis.

1993, Burhanuddin Rabbani menjadi presiden sementara, yang mengakibatkan kecemburuan pada pihak Mujahidin dalam situasi rekonsiliasi. Kondisi menyebabkan Mujahidin pada September 1994 membuat kelompok fundamentalis Islam Taliban, dan menyebar lewat kelompok santri etnis Pashtun yang menginginkan keadilan berdasarkan syariat Islam.

Kekalahan Soviet sendiri menurut Grau dan Michael Gress dalam the Afghan War di jurnal Modern War Studies menyebutnya sebagai Perang Vietnamnya Uni Soviet.

Baca Juga: Sejarah Taliban yang Membangun Negara Islam Fundamental di Afganistan