Kesaksian Prajurit Mataram Juluki Batavia Sebagai 'Kota Tahi'

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 23 Juni 2017 | 19:07 WIB
Peta bertajuk 'Plattegrond in vogelvlucht van de belegering van Batavia in 1629' (pandangan mata burung tentang pengepungan Batavia pada 1629). Lukisan karya Jacobus van der Schley, diterbitkan oleh Pierre d' Hondt pada 1753. (Atlas Mutual Heritage)

Ujung perang sudah beradu berayun, dalam satu aba-aba seluruhnya, pecah melebur dalam perang, berhadap-hadapan, serangan tembakan Sang Kompeni, bergemuruh seolah gunung runtuh, seluruh pasukan pesisir pun kacau balau.  

Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian Ki Mandura terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja. Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening.

[...] Menurut saya mesiunya sudah tipis, begitu disampaikan oleh para adipati, lalu berangkatlah bersama, Kota intan sudah kelihatan, tak berapa lama sudah dikepung, gubernur bersiap, cukup gugup memberikan aba-aba.

Meriam sudah disulut, suaranya bagaikan petir di tengah para adipati, serempak dihadapannya, tidak takut pada suara peluru, namun cukup gugup bagi yang berada di dalam benteng.

Peluru habis maka dibuatlah peluru dari tinja, menyingkirlah semua, menyendoki tinja, demikian  Ki Mandura  terkena peluru tinja, beliau berlumuran tinja.

Dengan demikian para adipati merasa jengkel, mundurlah semuanya, semua terkena tinja, kembali ke perkemahan, mandi membersihkan diri, cerita pun hening."

Lalu, di mana lokasi sesungguhnya kubu Redoute Hollandia itu?

Beberapa dekade setelah pertempuran sengit nan menjijikkan itu, kubu Hollandia mulai ditinggalkan. Kemudian, kubu usang itu digunakan sebagai penyamakan kulit. Gubernur Jenderal Johan Camphuijs, yang memerintah pada 1684 sampai 1691, menempatkannya dalam daftar monumen bersejarah. Sayangnya, tengara bersejarah itu menghilang pada 1766.

Heuken, dalam bukunya yang bertajuk Historical Sites of Jakarta, mengungkapkan bahwa dahulu memang pernah ada kampung bernama “Kota Tahi” di tenggara pusat Kota Batavia. Namun, Heuken juga menambahkan bahwa kampung berjulukan “Kota Tahi’ itu masih kerap didengar orang, setidaknya hingga pertengahan abad ke-19.

Toponimi kampung itu menandai pertahanan VOC di kubu Hollandia. Lokasinya di dekat Jalan Pinangsia Timur, tepatnya di sisi timur dari ujung selatan jalan itu. Kini lokasinya tak jauh dengan Glodok Plaza, Jakarta Barat.

“Lokasi bekas benteng Hollandia ini tak banyak yang tahu,” ungkap Ade Purnama, penggerak Sahabat Museum. Adep, demikian ia akrab disapa, menziarahi tapak pertahanan VOC  itu bersama komunitasnya. Kini, tapak bangunan pertahanan itu telah menjelma kompleks ruko dan permukiman padat di ujung selatan Jalan Pinangsia Timur, Jakarta Barat. Dia juga menyaksikan bahwa Sungai Ciliwung yang pernah membatasi kubu Hollandia itu masih memiliki alur dan pola seperti empat abad silam.  

Walaupun  para pucuk pimpinan perang kedua belah pihak yang berseteru itu dikenang sepanjang masa, demikian menurut Adep, “Lokasi pertempuran mereka kembali sunyi dan tak diingat masyarakat.”

Hampir 400 tahun yang lalu, di tempat ini prajurit Mataram dan Eropa pernah mengorbankan ratusan bahkan ribuan prajuritnya untuk menguasai Batavia—yang kita kenal sebagai Jakarta kini. “Mereka bertempur sampai titik darah penghabisan,” ungkap Adep.

Lalu, seperti apakah rupa bangunan kubu Hollandia tatkala Mataram menyerbu Batavia pada 1628?

Tapak Bastion Hollandia. Dari benteng itu serdadu VOC beramunisi tahi menyerang prajurit Mataram. (Ade Purnama & Joe Zerino dari Sahabat Museum.)

Adep menemukan dua rujukan, sayangnya keduanya memerikan gambaran yang berbeda tentang kubu Hollandia. Rujukan dari sumber tertulis semasa bersaksi bahwa pertahanan di sisi tenggara Kota Batavia itu berupa menara yang berpagar deretan kayu berujung runcing, ungkapnya. Namun demikian, rujukan dari peta semasa (karya Frans Florisz. van Berckenrode, 1627) menunjukkan bahwa pertahanan di timur kota itu berupa dinding batu yang melintang dari selatan hingga ke utara. Adep menduga, “Mungkin untuk pencitraan suatu daerah, yang berhasil direbut, kepada tuannya di Belanda.”

Baca juga: Hampir Setiap Minggu, Bumi Kejatuhan Satelit

“Kami mengajak masyarakat Jakarta untuk lebih mengenal kotanya, sejarah kotanya. Walau wujudnya [Bastion Hollandia] sudah tidak ada lagi kini, lokasi pertempurannya masih dapat didatangi,” ungkap Adep. “Tidak ada yang tersisa kecuali catatan sejarah yang melegenda:  Kota Tahi.”

(Kisah ini terbit pertama kali pada 23 Juli 2013, kemudian diperbaharui dan diperkaya dengan berbagai materi pada 19 September 2017)