Memaknai Seni Kriya Pulau Dewata

By , Selasa, 15 Oktober 2013 | 09:00 WIB
()

Alunan gamelan menyentak ruang yang semula senyap, mengiringi bayang-bayang wayang yang bergerak ke sana ke mari dengan lincah. Sang Dalang, I Agung Rai, kadang berkelakar dalam bahasa Inggris untuk memancing tawa. Pertempuran dengan Indrajit, anak Rahwana, berlangsung seru dalam dentang gamelan yang semakin menggema.

Saya terpana akan siluet wayang yang disorot nyala api. Tubuh Hanoman yang dibentuk dari kulit kambing yang berlubang di sana sini tampak memukau ditembus sinar jingga. Kenangan seolah menarik saya kembali ke sebuah tempat yang terletak di Banjar Jeleka, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. I Wayan Balik, perajin wayang kulit Bali, sibuk memamerkan karyanya. Wayang berwarna warni, juga wayang polos putih susu yang disimpan di rak kaca.

Namun, saya lebih tertarik dengan apa yang dikerjakan oleh Ni Wayan Yosita, putri tertua I Wayan Balik. Yosita panggilannya, baru duduk di kelas tiga SD. Wajah manisnya tertutup uraian rambut lurusnya yang legam. Tangan kanannya memukulmukulkan palu ke besi pemahat sementara tangan kirinya sibuk membuat gerakan memutar dengan terampil, membolongi tiga lembar kulit di atas sebuah kayu bundar di hadapannya. Wayang ini juga mungil, tingginya hanya sejengkalan tangan orang dewasa. Sesekali Yosita mengganti pemahat, sesuai ukuran sketsa.

Ketiga adik lelakinyanya sibuk sang ibu memanaskan plastik di atas nyala api, menyatukan lengan wayang cendera mata yang sudah diwarnai. "Anakanak sejak TK sudah belajar membuat wayang, agar tidak keluyuran ke mana-mana," ujar I Wayan Balik sambil terkekeh.

Senja nyaris tiba di Semarapura. Bale Kambang yang dikelilingi air di Kerta Gosa dan dulunya merupakan tempat mengadili perkara Kerajaan Klungkung ini dihujani oleh sinar sore nan hangat. Saya masih saja enggan pergi dari tempat itu, mendongak menikmati lukisan cerita wayang di langitlangitnya: sebuah lukisan tradisional gaya Kamasan. Lukisan ini pula yang mengantarkan saya dan fotografer Reynold Sumayku hingga sampai ke Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung. Kami disambut oleh pasangan I Wayan Suweca dan Ni Wayan Darsini. Kerajinan tangan penuh lukisan khas Kamasan bertebaran di beranda rumahnya. Seperti tumpukan besek hingga kipas tangan. I Wayan Suweca yang berusia 61 tahun itu memamerkan sebuah kain kamasan lusuh. "Ini usianya sudah ratusan tahun," ujarnya. Pewarna merah dan kuning berasal dari karang. Sedangkan warna biru dulu didapatkan dari blau dan sekarang dari akrilik.

Untuk membuat warna yang ada di dalam lukisannya menonjol, I Wayan Suweca menggunakan kerang atau bulih. Sebelum dibubuhi sketsa, bulih digosokkan ke atas kain blacu. Hal ini dilakukan kembali setelah kain diwarnai. Setelah itu barulah garis gambarnya ditegaskan dengan menggunakan alat lukis iyep yang dibuat dari pohon enau. Bahkan proses penggosokan ini dilakukan lagi setelah lukisan dijemur.

Kain lukis beragam ukuran bertumpukan di lantai dan amat menarik hati. Rama dan Sita serta tokohtokoh wayang lainnya banyak tergambar dalam lukisan berukuran sekitar 30 x 40 cm. Sedangkan pada kain berukuran besar, adeganadegan seperti perang Mahabarata tergambar dengan amat apiknya. Pilihan saya pun akhirnya jatuh pada lukisan ini.

Angin dingin berembus membelai wajah pada perjalanan kami selanjutnya di Banjar Pakudui, Tegallalang, yang berbukitbukit dan terkenal akan lahan sawahnya yang bertingkattingkat. Kali ini suara yang menarik perhatian kami adalah ketukan pahat yang saling bersahutan di atas gelondongan kayu di balik ruang pamer yang dipenuhi oleh aneka patung. Lima orang memegang alat pahat menghadapi kayunya masingmasing. Gelondongan kayu pohon nangka itu perlahan berubah menjadi wujud Garuda Wisnu Kencana yang tingginya tak lebih dari sekitar 60 cm, tanpa guratan sketsa. Sketsa hanya digoreskan pada gelondongan kayu yang berukuran besar. "Yang ukurannya kecil seperti ini yang lebih banyak dicari, karena mudah dibawa," ujar sang perajin I Wayan Temun, sambil duduk di lantai, di selasela ketukan pahat dan serpihan kayu yang terlontar ke segala arah. Rekannya sedang mengerjakan sebuah patung pesanan berbentuk Dewi Kwan Im dengan bahan kayu cendana yang lebih keras dan sulit dipahat.

Gelondongan kayu bertumpukan di sudut gudang. Patung-patung raksasa menjulang ke langit-langit mengelilingi para pekerja, seolah bergeming mengamati mereka. Salah satunya sedang rebah di atas semen untuk diampelas. Garuda Wisnu Kencana yang satu ini butuh dua minggu hanya untuk menghaluskan permukannya saja. Tinggi patung yang mencapai dua m dengan bobot sekitar 75 kg ini dikerjakan hingga delapan bulan lamanya, termasuk proses melukis atau mewarnai yang menghabiskan waktu sebulan. "Tergantung permintaan," ujar I Wayan Temun. "Ada juga orang yang meminta patungnya hanya dipernis." Ini belum seberapa. Salah satu patung di situ tingginya mencapai 3,5 m dengan waktu pengerjaan dua tahun. Pengerjaan pahatan, ampelasan, dan pelukisan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.

Memasuki Desa Tenganan di wilayah Karangasem seperti memasuki dimensi lain dari waktu. Dikelilingi perbukitan hutan, rumah-rumah seolah bersembunyi di balik tembok-tembok tinggi menjulang yang saling terpisah oleh jalanan berbatu. Plang dan benda-benda yang dipajang di depan pagar akan mengantarkan Anda pada seni kriya di dalamnya, dari tenun ikat, keranjang anyaman, topeng, telur, hingga lukisan lontar.

Ni Wayan Sudiati sudah berkeliling ke berbagai negara terkait dengan tenunan yang ia kerjakan. Tahap pertama pembuatan kain ialah melakukan pewarnaan sesuai desain awal. Desain dibentuk pada benang horizontal pada tenun ikat biasa sedangkan bagian benang vertikal dibiarkan polos. Sementara untuk tenun ikat ganda, desain dibuat pada keduanya. Nantinya, gambar dari kedua benang itu disatukan pada proses penenunan.