Oleh karena itu, "Tidak ada satu pun kain yang sama," tegas Ni Wayan Sudiati. Ia pun memperlihatkan kerumitan dalam menenun kain ikat ganda. Benang horizontal dan vertikal harus dipertemukan sedemikian rupa hingga membentuk suatu gambar yang benarbenar pas. Jika tidak, maka gambar akan hancur atau tidak terbentuk. "Oleh karena itulah kerapatan benangnya juga berbedabeda," jelasnya.
Pewarnaan sendiri bisa mencapai dua tahun lamanya, tergantung tingkat kepekatan warna. "Untuk warna merah misalnya, setelah dicelupkan, dikeringkan, harus tunggu tiga bulan untuk kemudian dicelupkan kembali," jelasnya. Oleh karena itulah warna juga mempengaruhi harga.Setelah menyaksikan koleksi kain yang ia gelar, sebelum pamit kami pun sempat melihat bagaimana cara mengurai benang yang sudah diwarnai sesuai dengan pola yang diinginkan. Ini pun bukanlah pekerjaan yang mudah, menambah penghargaan saya terhadap kain tenun ikat.
Matahari hampir mencapai atas kepala saat kami kembali menapak di atas jalan bebatu, hingga suatu saat kami menjumpai papan bertulisan: Basket Weaving. Setelah memasuki pintu pagar batu yang menjulang, kriya anyam memenuhi lantai dan rak yang berdiri di sepanjang dinding. Berbagai pernakpernik tergeletak dalam bungkus plastik siap dipilih oleh pengunjung, dari kotak cincin, tas beraneka bentuk, hingga keranjang anyaman besar.
Di tengah perjalanan pulang saya bertemu dengan I Nyoman Suanda. Pria paruh baya ini sedang duduk menghadap meja. Di depannya bertebaran lontarlontar berisi gambar barong, kalender bali lengkap dengan dewadewa dan keterangannya. Dengan sigap ia menoreh lontar yang sedang ia kerjakan dan menunjukkan pada saya, bagaimana guratan yang tadinya tak terlihat itu menjadi nyata saat ia menyapukan kemiri yang sudah dibakar di atasnya dan menyekanya dengan jemarinya.
Selain untuk pajangan, ia bertutur pernah mengerjakan lontar untuk suvenir pernikahan di Eropa. Ia juga berkisah soal kartu nama yang ia buat dari lontar. "Bisa dikasih peta lokasi kantor di bagian belakangnya," ujarnya bersemangat. Tangan dan matanya tidak lepas dari lontar yang sedang ia kerjakan.
Petualangan saya pagi itu diawali dengan dentingan lempeng perunggu di sela bunyi mesin pengamplas logam. Seorang pria dengan rambut beruban mengadu kedua lempeng perunggu tersebut kemudian mendekatkannya ke telinga. Pandangan matanya tajam berkonsentrasi mendengarkan nada yang dihasilkan. Jika merasa tidak puas, ia akan mengamplas sisi dalam lempeng tersebut, untuk kemudian diadu kembali hingga suaranya benarbenar sama dengan lempeng acuannya.
Jika penyelarasan nada bilah sudah selesai, penyelarasan berikutnya bunyi yang ditimbulkan saat bilah sudah tersusun di atas bambu. Seorang pekerja tampak sibuk mengisi ronggarongga bambu yang menjadi resonator dengan campuran pasir dan semen. Sesendok demi sesendok ia masukkan agar suaranya sesuai dengan urutan nada berikutnya. Sesekali terdengar alunan musik yang menyejukkan hati.
Di bengkel yang terletak di Blahbatuh, Gianyar, ini sembari duduk bersila di lantai semen I Made Rindhi mengetukngetukkan lima bilah bambu kecil di hadapan saya. "Ini namanya petuding, penyelaras untuk semar penggulingan, turuntemurun dari zaman kakek saya," ungkapnya. Semar pegulingan adalah salah satu jenis gamelan bali. "Alat musik ini bisa juga dipakai untuk mengiringi tari legong," tambahnya. Menurutnya penyelaras dari logam bisa jadi tidak stabil dibandingkan dengan penyelaras dari bambu yang tidak akan berubah nadanya sampai kapan pun.
Saat penyelaras digital pemberian rekannya dari Jerman tidak berfungsi, misalnya, ia akan kembali ke peralatan tradisional. "Orang luar negeri sering bingung melihat kami menyelaraskan nada hanya dengan mengandalkan telinga," lanjutnya sambil tersenyum.
"Gamelan bali itu rumit, tak seperti gamelan jawa," jelas I Made Rindhi. Gong bali untuk mengiringi tarian barong, misalnya yang disebut gong kebyar, berbeda dengan gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang yang hanya terdiri dari peralatan musik yang lebih sederhana. "Para turis sering memesan alat musik pada kami dengan tangga nada diatonik," jelas I Made Rindhi. Bahkan alat musik terompong atau riong yang berisi pencon atau logam berbentuk bulat dan berpunuk juga dibuat dengan tangga nada diatonik. Namun penyelarasan nada harus kembali dilakukan dalam waktu kurang lebih enam bulan agar nadanya tak berubah dari nada awal.
Enggan juga keluar dari tempat ini. Tempat para pekerja menuangkan logam cair untuk membentuk bilah dan pencon, tempat nadanada lincah mengalun dinamis saat diselaraskan. Dan nadanada ini benarbenar jadi hidup kala saya terpaku menyaksikan pertunjukan legong dan barong dengan iringan gamelan kebyar di Puri Saren Ubud atau Ubud Palace.
Seperti kecak, pertunjukan ini termasuk salah satu yang banyak diminati turis. Bahkan bisa jadi Anda harus menyisihkan waktu satu jam sebelum pertunjukan untuk mendapatkan tempat yang cukup dekat dengan panggung. Tarian legong akan memanjakan mata yang lelah dengan kostum cantik beraneka warna dan gerakan khas tari bali yang dinamis dan menawan hati, mengisahkan Prabu Lasem yang menculik Putri Rangkesari. Di akhir kisah, Prabu Lasem wafat dalam peperangan, setelah sebelumnya seekor gagak pertanda buruk datang menghampirinya. Para pemain gamelan berkutat dengan alatnya masingmasing di sisi kiri dan kanan di panggung, seolah mencoba berkejaran dengan kecepatan gerakan para penari.
Selanjutnya, lakon barong dari Mahabarata hadir dalam empat episode, berkisah tentang saudara raksasa: Sunda dan Upasunda yang ingin menaklukan Swargalokha, tempat tinggal para dewa dewi. Di akhir cerita, Niatama, seorang bidadari, berhasil menggagalkan niat buruk ini.Ditemani oleh seekor monyet, sang barong tampil menarik di atas panggung. Saat pemunculan pertama, untuk beberapa saat penonton akan dibuat penasaran dengan kehadirannya yang seolah enggan keluar dari balik pintu teriring buntut yang bergerakgerak lucu. Drama tari ini juga diisi oleh dialogdialog berbahasa setempat. Lalu, canda barong dengan si monyet cukup membuat segar suasana pertunjukan, di antara anggunnya para bidadari dibalut kostum berwarna warni dan sosok Upa serta Upasunda yang memang bagai raksasa.
Terpana melihat tampilan barong pertama kali di saat upacara Kuningan beberapa tahun lalu, ingatan saya kembali ke Banjar Puaya, Batuan, Sukawati di Gianyar. Selain melihat topengtopeng yang dibuat untuk pertunjukan seni dan tari, satu hal yang membuat saya tertarik adalah barong yang tergantung di bagian tengah rumah: wajahnya merah menyala, dibingkai oleh lempengan hiasan serta mahkota yang berkilaukilau diterpa sinar mentari. Sekujur tubuhnya dihiasi oleh surai berwarna hitam dan putih, mulai dari depan hingga belakang. Pandangannya jenaka di mata saya. Sementara di sebelahnya, terdapat barong berkepala harimau. Badannya dibalut oleh kain tebal bermotif tutul. "Barong itu dikerjakan selama empat bulan oleh delapan orang," ujar I Wayan Dawig, sambil mengacu ke barong bersurai.
Membuat barong, apalagi yang merupakan pesanan sebuah Pura, tidaklah sama seperti membuat topengtopeng lainnya yang terpajang di ruang depan rumahnya. "Sebelum dipahat menjadi barong, kayu pule yang digunakan biasanya diambil dari halaman Pura atau tepian sungai, di tempattempat yang sakral," ujar I Wayan Dawig. Kayu ini pun harus melalui sebuah ritual khusus sebelum diserahkan ke pemahat. Setelah itu akan dicari hari baik yang tepat untuk memulai pemahatan ini. Barong yang sakral dan disimpan di Pura ini biasanya dikeluarkan dan diupacarakan saat hari raya Kuningan dilaksanakan, dan sang barong akan berkeliling ke rumahrumah penduduk untuk memberi berkah.
Saat saya mengintip melalui mulut sang barong yang anggun, di dalamnya terlihat beraneka kayu, rotan dan tali yang berseliweran, juga bantalan di sana sini, salah satunya untuk meletakkan kepala pembawa barong. Tak heran jika bobot barong ini bisa mencapai 60 kg.
Di sudut halaman terdapat sebuah balai-balai berisi tiga kepala barong yang masih polos, belum tersentuh cat kecuali di bagian mahkota. Bunyi mulutnya saat dihentak mengatup adalah suatu hal yang amat penting dalam pembuatan barong. Pengerjaan untuk mendapatkan suara yang baik memakan waktu yang cukup lama. Tangan Wayan pun bergerakgerak mempermainkannya ke sana sini, sehingga tibatiba barong tersebut seolah menjelma menjadi hidup.Sama seperti barong yang bergerakgerak jenaka di depan mata saya di Puri Saren Ubud ini. Mulutnya mengatupngatuk mencoba menangkap pisang yang dipegang oleh seekor monyet yang sengaja menggodanya. Nadanada suara gamelan lagilagi menggema di udara Ubud yang amat sejuk malam itu. Saya pun merenung. Ah, napas kesenian akan selalu berembus tak kenal waktu di Tanah Seribu Pura ini.