Memaknai Seni Kriya Pulau Dewata

By , Selasa, 15 Oktober 2013 | 09:00 WIB
()

DINGINNYA MALAM menyelimuti Pura Dalam, Ubud. Hadirin sibuk mengomentari tari kecak yang baru usai. Sebuah penggalan epik Ramayana tentang kematian Kumbakarna saudara Rahwana, saat Kerajaan Alengka diserbu oleh Rama dan sekutunya untuk menyelamatkan Sita. Mantra kecak bersahutan dengan tempo naik turun sepanjang pertunjukan ditimpal suara tiruan angin, seolah menyihir gendang telinga penonton dari berbagai bangsa agar tak mengalihkan pandangan mata sedetik pun dari pusat pelataran.

Pertunjukan disajikan melalui empat bagian dan akhirannya tentu merupakan bagian yang paling seru dan dinamis, saat Kumbakarna menyerang pasukan Rama. Rama dan Laksmana pun berhasil melenyapkan Kumbakarna, membuat heboh pelataran dengan pertempuran di antara para penari kecak.Keremangan menyergap panggung terbuka ini saat api yang menarinari di bagian tengah sejak awal pertunjukan, disingkirkan. Dari arah kiri seseorang menyorongkan gerobak yang berisi sabut kelapa membuncah yang kemudian dituangkah di tengah. Semenit kemudian api yang lebih besar menjulur menjilat langit, mengirimkan udara panas ke penonton yang duduk mengeliling.

Beberapa saat kemudian seseorang berperawakan kurus memasuki arena. Otot seolah-olah tampak mencuat dari lengannya. Menunggangi "kudanya", ia setengah berlari mendekati api di tengah pelataran, mengikuti tempo yang mengalir dari para penyanyi kecak. Dalam sekejap tumpukan bara pun berhamburan nyaris menyentuh kaki penonton yang duduk melantai di bagian depan. Para petugas memusatkan tebaran sabut kelapa yang menyala itu. Ia pun berputar mengelilingi arena, kembali berderap menuju pusat bara untuk kemudian menghamburkannya kembali ke segala arah. Panas kembali menyapu para penonton yang terpana di tengah kelamnya langit Ubud, malam itu. Sanghyang Djaran adalah tarian menjauhkan kejahatan serta epidemi. Penunggang kudanya dirasuki, sama seperti kuda kepang di Jawa Barat.

Tenun Geringsing (Reynold Sumayku/NGI)

Bara api dan panas yang dihasilkan oleh sabut kelapa ini tibatiba mengingatkan saya saat menapak di wilayah Klungkung, pada suatu siang. Panas yang saya rasakan di Pura Dalam ini masih belum seberapa dibandingkan panas yang menyergap sekujur tubuh saat memasuki sebuah ruang sepanjang sekitar 20 m dengan suara semburan api hijau yang menggodok cairan logam di Banjar Pande, Kamasan, Klungkung.

Di sisi lain, empat wanita dengan tekun mengampelas tepian keping yang memenuhi mangkuk di hadapan mereka: jinah bolong atau uang kepeng untuk kepentingan upakara, persembahan bagi para dewa. Kepeng yang terbuat dari besi melambangkan kekuatan Dewa Wisnu, perak untuk Dewa Iswara, tembaga untuk Dewa Brahma, kuningan untuk Dewa Mahadewa, dan emas melambangkan Dewa Siwa.

Di tengah ruang terdapat onggokan tanah liat. Dua orang tengah memindahkannya ke dalam blok cetakan kepeng dan membebaninya dengan bobot mereka agar padat. Sudah ada ratusan balok tanah liat yang tertata rapi menyembunyikan lantai semen yang dibentuk sejak pagi hari.

Tepat pukul 14.30 WITA, setelah dipanaskan selama dua hingga empat jam, logam yang telah leleh itu dituangkan ke lubang yang terbentuk di bagian atas cetakan. Puluhan titik-titik jingga berkilauan di ruang yang minim jendela ini. Logam dalam cetakan berbentuk kepeng itu pun mengeras sekitar tiga puluh detik kemudian. Setelah mendingin, tanah liat dipecah untuk mengeluarkan rangkaian empat buah kepeng yang sudah terbentuk, untuk selanjutnya dipecah dan diampelas.

Sebuah ruang pamer yang menempel ruang panas ini diisi oleh aneka kerajinan logam: seratus kepeng dalam untaian tali, peralatan upacara, juga arca yang dibuat dari kepingan kepeng: Arca Oleg, Arca Legong, atau Arca Rambut Sedana.

Sekitar 30 langkah dari tempat itu, telinga kami digoda oleh dentang logam dari balik pagar batu yang tinggi. Tiga orang berusia lanjut sedang memukul-mukul wadah logam yang salah satunya disebut sangku. Walau kepalanya terliput rambut putih, tangan Ni Nengah Suardi dengan lincah mengetuk dasar sangku yang berbahan perak agar rata dengan menggunakan palu khusus. Memiliki diameter sekitar 20 cm dengan tinggi 10 cm, ia butuh tiga hari untuk membuat wadah siap ukir. Pengukirannya memakan waktu sehari.

Setelah dibentuk, bagian luar wadah dilapisi getah sejenis damar dengan ketebalan dua cm kemudian ditatah dari bagian dalam. Getah menahan benturan tatah agar wadah tidak bolong. Uniknya, tidak ada sketsa di bagian dalam wadah. Ni Nengah Suardi menatah berdasarkan keterampilan yang ia selami selama puluhan tahun. "Menatahnya sudah dari dalam hati," ujarnya sambil tertawa. "Bahan yang terbuat dari perak lebih sulit dibentuk daripada kuningan karena keras," akunya.

Di sebelahnya, I Made Semudri dengan tekun meratakan dasar pinggan dari kuningan berdiameter 40 cm dengan palunya. Sambil mengagumi tempat tirta berbahan perak karya Ni Nengah Suardi dengan tatahan yang amat cantik di tangan saya, irama dentang palu beradu dengan perak dan kuningan pun kembali memenuhi udara Kamasan di siang tak berawan.

Malam pun larut. Tak seperti pertunjukan tari di tempat lain yang disesaki turis hingga lebih dari 200 orang, ruang pertunjukan wayang kulit di Oka Kartini ini hanya dipenuhi 40 bangku plastik, tempat lukisan hadir di sekujur dinding. Di depan jajaran kursi menjulang panggung tertutup layar putih yang kedua sisinya berbatas dinding. Di baliknya, segumpal api tergantung berayunayun seolah berusaha menggapai layar. Sesaat lampu meredup dan api menenang, menunggu sosoksosok wayang menampakkan diri, diiring tutur sang dalang tentang perjuangan Hanoman si wanara di tanah Alengka, saat memberi kabar baik bagi Sita.

Alunan gamelan menyentak ruang yang semula senyap, mengiringi bayang-bayang wayang yang bergerak ke sana ke mari dengan lincah. Sang Dalang, I Agung Rai, kadang berkelakar dalam bahasa Inggris untuk memancing tawa. Pertempuran dengan Indrajit, anak Rahwana, berlangsung seru dalam dentang gamelan yang semakin menggema.

Saya terpana akan siluet wayang yang disorot nyala api. Tubuh Hanoman yang dibentuk dari kulit kambing yang berlubang di sana sini tampak memukau ditembus sinar jingga. Kenangan seolah menarik saya kembali ke sebuah tempat yang terletak di Banjar Jeleka, Desa Batuan, Sukawati, Gianyar. I Wayan Balik, perajin wayang kulit Bali, sibuk memamerkan karyanya. Wayang berwarna warni, juga wayang polos putih susu yang disimpan di rak kaca.

Namun, saya lebih tertarik dengan apa yang dikerjakan oleh Ni Wayan Yosita, putri tertua I Wayan Balik. Yosita panggilannya, baru duduk di kelas tiga SD. Wajah manisnya tertutup uraian rambut lurusnya yang legam. Tangan kanannya memukulmukulkan palu ke besi pemahat sementara tangan kirinya sibuk membuat gerakan memutar dengan terampil, membolongi tiga lembar kulit di atas sebuah kayu bundar di hadapannya. Wayang ini juga mungil, tingginya hanya sejengkalan tangan orang dewasa. Sesekali Yosita mengganti pemahat, sesuai ukuran sketsa.

Ketiga adik lelakinyanya sibuk sang ibu memanaskan plastik di atas nyala api, menyatukan lengan wayang cendera mata yang sudah diwarnai. "Anakanak sejak TK sudah belajar membuat wayang, agar tidak keluyuran ke mana-mana," ujar I Wayan Balik sambil terkekeh.

Senja nyaris tiba di Semarapura. Bale Kambang yang dikelilingi air di Kerta Gosa dan dulunya merupakan tempat mengadili perkara Kerajaan Klungkung ini dihujani oleh sinar sore nan hangat. Saya masih saja enggan pergi dari tempat itu, mendongak menikmati lukisan cerita wayang di langitlangitnya: sebuah lukisan tradisional gaya Kamasan. Lukisan ini pula yang mengantarkan saya dan fotografer Reynold Sumayku hingga sampai ke Banjar Sangging, Desa Kamasan, Klungkung. Kami disambut oleh pasangan I Wayan Suweca dan Ni Wayan Darsini. Kerajinan tangan penuh lukisan khas Kamasan bertebaran di beranda rumahnya. Seperti tumpukan besek hingga kipas tangan. I Wayan Suweca yang berusia 61 tahun itu memamerkan sebuah kain kamasan lusuh. "Ini usianya sudah ratusan tahun," ujarnya. Pewarna merah dan kuning berasal dari karang. Sedangkan warna biru dulu didapatkan dari blau dan sekarang dari akrilik.

Untuk membuat warna yang ada di dalam lukisannya menonjol, I Wayan Suweca menggunakan kerang atau bulih. Sebelum dibubuhi sketsa, bulih digosokkan ke atas kain blacu. Hal ini dilakukan kembali setelah kain diwarnai. Setelah itu barulah garis gambarnya ditegaskan dengan menggunakan alat lukis iyep yang dibuat dari pohon enau. Bahkan proses penggosokan ini dilakukan lagi setelah lukisan dijemur.

Kain lukis beragam ukuran bertumpukan di lantai dan amat menarik hati. Rama dan Sita serta tokohtokoh wayang lainnya banyak tergambar dalam lukisan berukuran sekitar 30 x 40 cm. Sedangkan pada kain berukuran besar, adeganadegan seperti perang Mahabarata tergambar dengan amat apiknya. Pilihan saya pun akhirnya jatuh pada lukisan ini.

Angin dingin berembus membelai wajah pada perjalanan kami selanjutnya di Banjar Pakudui, Tegallalang, yang berbukitbukit dan terkenal akan lahan sawahnya yang bertingkattingkat. Kali ini suara yang menarik perhatian kami adalah ketukan pahat yang saling bersahutan di atas gelondongan kayu di balik ruang pamer yang dipenuhi oleh aneka patung. Lima orang memegang alat pahat menghadapi kayunya masingmasing. Gelondongan kayu pohon nangka itu perlahan berubah menjadi wujud Garuda Wisnu Kencana yang tingginya tak lebih dari sekitar 60 cm, tanpa guratan sketsa. Sketsa hanya digoreskan pada gelondongan kayu yang berukuran besar. "Yang ukurannya kecil seperti ini yang lebih banyak dicari, karena mudah dibawa," ujar sang perajin I Wayan Temun, sambil duduk di lantai, di selasela ketukan pahat dan serpihan kayu yang terlontar ke segala arah. Rekannya sedang mengerjakan sebuah patung pesanan berbentuk Dewi Kwan Im dengan bahan kayu cendana yang lebih keras dan sulit dipahat.

Gelondongan kayu bertumpukan di sudut gudang. Patung-patung raksasa menjulang ke langit-langit mengelilingi para pekerja, seolah bergeming mengamati mereka. Salah satunya sedang rebah di atas semen untuk diampelas. Garuda Wisnu Kencana yang satu ini butuh dua minggu hanya untuk menghaluskan permukannya saja. Tinggi patung yang mencapai dua m dengan bobot sekitar 75 kg ini dikerjakan hingga delapan bulan lamanya, termasuk proses melukis atau mewarnai yang menghabiskan waktu sebulan. "Tergantung permintaan," ujar I Wayan Temun. "Ada juga orang yang meminta patungnya hanya dipernis." Ini belum seberapa. Salah satu patung di situ tingginya mencapai 3,5 m dengan waktu pengerjaan dua tahun. Pengerjaan pahatan, ampelasan, dan pelukisan dilakukan oleh orang yang berbeda-beda.

Memasuki Desa Tenganan di wilayah Karangasem seperti memasuki dimensi lain dari waktu. Dikelilingi perbukitan hutan, rumah-rumah seolah bersembunyi di balik tembok-tembok tinggi menjulang yang saling terpisah oleh jalanan berbatu. Plang dan benda-benda yang dipajang di depan pagar akan mengantarkan Anda pada seni kriya di dalamnya, dari tenun ikat, keranjang anyaman, topeng, telur, hingga lukisan lontar.

Ni Wayan Sudiati sudah berkeliling ke berbagai negara terkait dengan tenunan yang ia kerjakan. Tahap pertama pembuatan kain ialah melakukan pewarnaan sesuai desain awal. Desain dibentuk pada benang horizontal pada tenun ikat biasa sedangkan bagian benang vertikal dibiarkan polos. Sementara untuk tenun ikat ganda, desain dibuat pada keduanya. Nantinya, gambar dari kedua benang itu disatukan pada proses penenunan.

Oleh karena itu, "Tidak ada satu pun kain yang sama," tegas Ni Wayan Sudiati. Ia pun memperlihatkan kerumitan dalam menenun kain ikat ganda. Benang horizontal dan vertikal harus dipertemukan sedemikian rupa hingga membentuk suatu gambar yang benarbenar pas. Jika tidak, maka gambar akan hancur atau tidak terbentuk. "Oleh karena itulah kerapatan benangnya juga berbedabeda," jelasnya.

Pewarnaan sendiri bisa mencapai dua tahun lamanya, tergantung tingkat kepekatan warna. "Untuk warna merah misalnya, setelah dicelupkan, dikeringkan, harus tunggu tiga bulan untuk kemudian dicelupkan kembali," jelasnya. Oleh karena itulah warna juga mempengaruhi harga.Setelah menyaksikan koleksi kain yang ia gelar, sebelum pamit kami pun sempat melihat bagaimana cara mengurai benang yang sudah diwarnai sesuai dengan pola yang diinginkan. Ini pun bukanlah pekerjaan yang mudah, menambah penghargaan saya terhadap kain tenun ikat.

Matahari hampir mencapai atas kepala saat kami kembali menapak di atas jalan bebatu, hingga suatu saat kami menjumpai papan bertulisan: Basket Weaving. Setelah memasuki pintu pagar batu yang menjulang, kriya anyam memenuhi lantai dan rak yang berdiri di sepanjang dinding. Berbagai pernakpernik tergeletak dalam bungkus plastik siap dipilih oleh pengunjung, dari kotak cincin, tas beraneka bentuk, hingga keranjang anyaman besar.

Di tengah perjalanan pulang saya bertemu dengan I Nyoman Suanda. Pria paruh baya ini sedang duduk menghadap meja. Di depannya bertebaran lontarlontar berisi gambar barong, kalender bali lengkap dengan dewadewa dan keterangannya. Dengan sigap ia menoreh lontar yang sedang ia kerjakan dan menunjukkan pada saya, bagaimana guratan yang tadinya tak terlihat itu menjadi nyata saat ia menyapukan kemiri yang sudah dibakar di atasnya dan menyekanya dengan jemarinya.

Selain untuk pajangan, ia bertutur pernah mengerjakan lontar untuk suvenir pernikahan di Eropa. Ia juga berkisah soal kartu nama yang ia buat dari lontar. "Bisa dikasih peta lokasi kantor di bagian belakangnya," ujarnya bersemangat. Tangan dan matanya tidak lepas dari lontar yang sedang ia kerjakan.

Petualangan saya pagi itu diawali dengan dentingan lempeng perunggu di sela bunyi mesin pengamplas logam. Seorang pria dengan rambut beruban mengadu kedua lempeng perunggu tersebut kemudian mendekatkannya ke telinga. Pandangan matanya tajam berkonsentrasi mendengarkan nada yang dihasilkan. Jika merasa tidak puas, ia akan mengamplas sisi dalam lempeng tersebut, untuk kemudian diadu kembali hingga suaranya benarbenar sama dengan lempeng acuannya.

Jika penyelarasan nada bilah sudah selesai, penyelarasan berikutnya bunyi yang ditimbulkan saat bilah sudah tersusun di atas bambu. Seorang pekerja tampak sibuk mengisi ronggarongga bambu yang menjadi resonator dengan campuran pasir dan semen. Sesendok demi sesendok ia masukkan agar suaranya sesuai dengan urutan nada berikutnya. Sesekali terdengar alunan musik yang menyejukkan hati.

Di bengkel yang terletak di Blahbatuh, Gianyar, ini sembari duduk bersila di lantai semen I Made Rindhi mengetukngetukkan lima bilah bambu kecil di hadapan saya. "Ini namanya petuding, penyelaras untuk semar penggulingan, turuntemurun dari zaman kakek saya," ungkapnya. Semar pegulingan adalah salah satu jenis gamelan bali. "Alat musik ini bisa juga dipakai untuk mengiringi tari legong," tambahnya. Menurutnya penyelaras dari logam bisa jadi tidak stabil dibandingkan dengan penyelaras dari bambu yang tidak akan berubah nadanya sampai kapan pun.

Saat penyelaras digital pemberian rekannya dari Jerman tidak berfungsi, misalnya, ia akan kembali ke peralatan tradisional. "Orang luar negeri sering bingung melihat kami menyelaraskan nada hanya dengan mengandalkan telinga," lanjutnya sambil tersenyum.

"Gamelan bali itu rumit, tak seperti gamelan jawa," jelas I Made Rindhi. Gong bali untuk mengiringi tarian barong, misalnya yang disebut gong kebyar, berbeda dengan gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang yang hanya terdiri dari peralatan musik yang lebih sederhana. "Para turis sering memesan alat musik pada kami dengan tangga nada diatonik," jelas I Made Rindhi. Bahkan alat musik terompong atau riong yang berisi pencon atau logam berbentuk bulat dan berpunuk juga dibuat dengan tangga nada diatonik. Namun penyelarasan nada harus kembali dilakukan dalam waktu kurang lebih enam bulan agar nadanya tak berubah dari nada awal.

Enggan juga keluar dari tempat ini. Tempat para pekerja menuangkan logam cair untuk membentuk bilah dan pencon, tempat nadanada lincah mengalun dinamis saat diselaraskan. Dan nadanada ini benarbenar jadi hidup kala saya terpaku menyaksikan pertunjukan legong dan barong dengan iringan gamelan kebyar di Puri Saren Ubud atau Ubud Palace.

Seperti kecak, pertunjukan ini termasuk salah satu yang banyak diminati turis. Bahkan bisa jadi Anda harus menyisihkan waktu satu jam sebelum pertunjukan untuk mendapatkan tempat yang cukup dekat dengan panggung. Tarian legong akan memanjakan mata yang lelah dengan kostum cantik beraneka warna dan gerakan khas tari bali yang dinamis dan menawan hati, mengisahkan Prabu Lasem yang menculik Putri Rangkesari. Di akhir kisah, Prabu Lasem wafat dalam peperangan, setelah sebelumnya seekor gagak pertanda buruk datang menghampirinya. Para pemain gamelan berkutat dengan alatnya masingmasing di sisi kiri dan kanan di panggung, seolah mencoba berkejaran dengan kecepatan gerakan para penari.

Selanjutnya, lakon barong dari Mahabarata hadir dalam empat episode, berkisah tentang saudara raksasa: Sunda dan Upasunda yang ingin menaklukan Swargalokha, tempat tinggal para dewa dewi. Di akhir cerita, Niatama, seorang bidadari, berhasil menggagalkan niat buruk ini.Ditemani oleh seekor monyet, sang barong tampil menarik di atas panggung. Saat pemunculan pertama, untuk beberapa saat penonton akan dibuat penasaran dengan kehadirannya yang seolah enggan keluar dari balik pintu teriring buntut yang bergerakgerak lucu. Drama tari ini juga diisi oleh dialogdialog berbahasa setempat. Lalu, canda barong dengan si monyet cukup membuat segar suasana pertunjukan, di antara anggunnya para bidadari dibalut kostum berwarna warni dan sosok Upa serta Upasunda yang memang bagai raksasa.

Terpana melihat tampilan barong pertama kali di saat upacara Kuningan beberapa tahun lalu, ingatan saya kembali ke Banjar Puaya, Batuan, Sukawati di Gianyar. Selain melihat topengtopeng yang dibuat untuk pertunjukan seni dan tari, satu hal yang membuat saya tertarik adalah barong yang tergantung di bagian tengah rumah: wajahnya merah menyala, dibingkai oleh lempengan hiasan serta mahkota yang berkilaukilau diterpa sinar mentari. Sekujur tubuhnya dihiasi oleh surai berwarna hitam dan putih, mulai dari depan hingga belakang. Pandangannya jenaka di mata saya. Sementara di sebelahnya, terdapat barong berkepala harimau. Badannya dibalut oleh kain tebal bermotif tutul. "Barong itu dikerjakan selama empat bulan oleh delapan orang," ujar I Wayan Dawig, sambil mengacu ke barong bersurai.

Membuat barong, apalagi yang merupakan pesanan sebuah Pura, tidaklah sama seperti membuat topengtopeng lainnya yang terpajang di ruang depan rumahnya. "Sebelum dipahat menjadi barong, kayu pule yang digunakan biasanya diambil dari halaman Pura atau tepian sungai, di tempattempat yang sakral," ujar I Wayan Dawig. Kayu ini pun harus melalui sebuah ritual khusus sebelum diserahkan ke pemahat. Setelah itu akan dicari hari baik yang tepat untuk memulai pemahatan ini. Barong yang sakral dan disimpan di Pura ini biasanya dikeluarkan dan diupacarakan saat hari raya Kuningan dilaksanakan, dan sang barong akan berkeliling ke rumahrumah penduduk untuk memberi berkah.

Saat saya mengintip melalui mulut sang barong yang anggun, di dalamnya terlihat beraneka kayu, rotan dan tali yang berseliweran, juga bantalan di sana sini, salah satunya untuk meletakkan kepala pembawa barong. Tak heran jika bobot barong ini bisa mencapai 60 kg.

Di sudut halaman terdapat sebuah balai-balai berisi tiga kepala barong yang masih polos, belum tersentuh cat kecuali di bagian mahkota. Bunyi mulutnya saat dihentak mengatup adalah suatu hal yang amat penting dalam pembuatan barong. Pengerjaan untuk mendapatkan suara yang baik memakan waktu yang cukup lama. Tangan Wayan pun bergerakgerak mempermainkannya ke sana sini, sehingga tibatiba barong tersebut seolah menjelma menjadi hidup.Sama seperti barong yang bergerakgerak jenaka di depan mata saya di Puri Saren Ubud ini. Mulutnya mengatupngatuk mencoba menangkap pisang yang dipegang oleh seekor monyet yang sengaja menggodanya. Nadanada suara gamelan lagilagi menggema di udara Ubud yang amat sejuk malam itu. Saya pun merenung. Ah, napas kesenian akan selalu berembus tak kenal waktu di Tanah Seribu Pura ini.