"Sastra sepatutnya tidak dipahami sebagai esensi, melainkan sebuah perhimpunan," tulis Wulandari, dalam makalah di seminar nasional dan peresmian Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia (ADBOSI) yang dipublikasikan 2015 lalu. Makalah itu berjudul Puisi Lama dalam Lirik Lagu ayam den Lapeh Ciptaan Nurseha dan Aset Budaya Bangsa Indonesia.
"Dengan demikian, puisi lama dalam lirik lagu Ayam Den Lapeh memiliki makna yang saarat dengan nilai filosofis dan estetika, merupakan sastra dengan bentuk tertentu."
Puisi lama yang dimaksud Wulandari adalah pantun dalam lirik lagu tersebut. Dia mengidentifikasikannya dalam empat bait, yang dalam bahasa Minangkabaunya memiliki pengulangan bunyi yang sama.
"Umumnya, tiap bait lirik lagu tersebut adalah pantun, akan tetapi ada pengulangan bunyi yang kurang sesuai sebagai pantun pada bait kedua," tambahnya.
Baca Juga: Video: Jangan Salah Sebut, Ini Perbedaan Nasi Kapau dan Nasi Padang
Wulandari berpendapat, penggunaan pantin dalam lirik disimpulkan sebagai sebuah simbol yang diinterpretasikan dalam filosofi Minangkabau, yakni ayam merupakan hal yang dinilai mewah dan hanya orang tertentu yang dapat memiliharanya.
"Akan tetapi, pemilihan ayam juga dianggap ada maksud lain karena masih banyak benda mewah lain yang dapat diasumsikan menjadi benda mewah," ungkapnya. Sehingga dengan kata 'ayamku lepas', diartikan sebagai hilangnya sesuatu yang berharga.
Nada yang mengiringi lagu Ayam den Lapeh diaransemen oleh Abdul Hamid, yang terkesan ceria. Padahal jika liriknya dicermati memiliki kesan muram dan menyedihkan. Maka, Wulandari memahaminya sebagai nada untuk lagu yang menertawakan nasib atau peristiwa buruk yang telah lewat "dan jangan larut dalam kesedihan."
Baca Juga: Tan Malaka, Bangsawan dari Tanah Minang yang 'Bunuh Diri Kelas'