Luruihlah jalan PayakumbuahBabelok jalan Kayu JatiDima ati indak karusuahAyam den lapeh... ai... ai...Ayam den lapeh
Nationalgeographic.co.id - Penggalan lirik di atas berasal dari lagu Ayam den Lapeh yang cukup populer. Lirik itu dikarang oleh Nurseha, personel kelompok musik yang terkenal pada 1950-an dan 1960-an, Orkes Gumarang. Kelompok musik itu sendiri berdiri di Jakarta, dan beranggotakan pemuda-pemudi asal Sumatera Barat.
Ketika lagu itu diperkenalkan sekitar 1954, popularitasnya melejit hingga skala internasional seperti Malaysia, Vietnam, hingga Jepang. Bahkan, lagu yang sangat identik bahasa Minang itu menjadi lagu daerah khas Sumatera Barat.
Jika diterjemahkan, penggalan lirik itu berarti: "Luruslah jalan Payakumbuh//Berbelok jalan Kayu Jati//Dimana hati tidak akan susah//Ayamku lepas, aduhai, ayamku lepas//".
Menurut Yosi Wulandari, pengamat budaya dan sastra dari Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, lirik dari lagu tersebut mengandung puisi lama. Untuk memahaminya, tentu tidak dapat dipisahkan tanpa mengenal budaya Minangkabau.
"Sastra sepatutnya tidak dipahami sebagai esensi, melainkan sebuah perhimpunan," tulis Wulandari, dalam makalah di seminar nasional dan peresmian Asosiasi Dosen Bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia (ADBOSI) yang dipublikasikan 2015 lalu. Makalah itu berjudul Puisi Lama dalam Lirik Lagu ayam den Lapeh Ciptaan Nurseha dan Aset Budaya Bangsa Indonesia.
"Dengan demikian, puisi lama dalam lirik lagu Ayam Den Lapeh memiliki makna yang saarat dengan nilai filosofis dan estetika, merupakan sastra dengan bentuk tertentu."
Puisi lama yang dimaksud Wulandari adalah pantun dalam lirik lagu tersebut. Dia mengidentifikasikannya dalam empat bait, yang dalam bahasa Minangkabaunya memiliki pengulangan bunyi yang sama.
"Umumnya, tiap bait lirik lagu tersebut adalah pantun, akan tetapi ada pengulangan bunyi yang kurang sesuai sebagai pantun pada bait kedua," tambahnya.
Baca Juga: Video: Jangan Salah Sebut, Ini Perbedaan Nasi Kapau dan Nasi Padang
Wulandari berpendapat, penggunaan pantin dalam lirik disimpulkan sebagai sebuah simbol yang diinterpretasikan dalam filosofi Minangkabau, yakni ayam merupakan hal yang dinilai mewah dan hanya orang tertentu yang dapat memiliharanya.
"Akan tetapi, pemilihan ayam juga dianggap ada maksud lain karena masih banyak benda mewah lain yang dapat diasumsikan menjadi benda mewah," ungkapnya. Sehingga dengan kata 'ayamku lepas', diartikan sebagai hilangnya sesuatu yang berharga.
Nada yang mengiringi lagu Ayam den Lapeh diaransemen oleh Abdul Hamid, yang terkesan ceria. Padahal jika liriknya dicermati memiliki kesan muram dan menyedihkan. Maka, Wulandari memahaminya sebagai nada untuk lagu yang menertawakan nasib atau peristiwa buruk yang telah lewat "dan jangan larut dalam kesedihan."
Baca Juga: Tan Malaka, Bangsawan dari Tanah Minang yang 'Bunuh Diri Kelas'
Sedangkan dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang Esy Maestro, bersama tim penelitiannya mempublikasikan pemaknaannya terhadap lagu itu di repositori universitas. Judul publikasi itu adalah Kearifan Lokal dalam Lagu Ayam Den Lapeh Garapan Orkes Gumarang.
Para peneliti menilai, lagu ini menyiratkan bagi pendengarnya untuk tetap tegar, konsisten, dan kuat menjalani segala macam pengharapan meski belum tercapai. Hal itu bisa dilihat dari aspek kebahasaan dan aspek musiknya yang paradoks dan gaya yang dimainkan Orkes Gumarang.
Baca Juga: Sepotong Rendang, Sekerat Cerita Abadi di Kedai Makan Padang
"Hal ini yang membuat lagu ini menarik, trend, populer pada masanya," tulis mereka.
"Masyarakat yang menikmati lagu Ayam den Lapeh tidak lagi melihat kandungan pesan atau isi dari lagu tersebut, baik yang mengerti bahasa Minang maupun tidak. Lagu Ayam den Lapeh lebih identik dengan lagu yang bahagia karena menggunakan irama cha-cha-cha yang biasa digunakan untuk menari cha-cha."
Baca Juga: Bagaimana si Lezat Asal Minangkabau Bisa Menyebar Hingga ke Malaysia?
Esy Maestro dan tim menambahkan bahwa lagu ini memiliki gambaran sosial budaya orang Minangkabau. Lewat liriknya yang memuat beberapa nama daerah di Sumatera Barat seperti Batusangkar dan Pagaruyung, menggambarkan kebiasaan orang Minangkabau yang gemar merantau.
Dengan merantau, lagu itu menggambarkan betapa susahnya mendapatkan ayam (harta) jika tidak fokus terhadap rencana awal ketika hendak merantau.
Lagu Ayam Den Lapeh masih terus diputar hingga kini, dan telah dibawakan kembali oleh berbagai penyanyi seperti Ria Amelia dan Elly Kasim. Melansir dari Kompas.com, Elly Kasim yang merupakan penyanyi legendaris pop Minang itu meninggal dunia di RS MMC Kuningan, Jakarta, Rabu 25 Agustus 2021.
Baca Juga: Rumah-rumah Gadang nan Meradang