Shatili, Desa Bersejarah Dengan Mahakarya Arsitektur Indah

By Galih Pranata, Senin, 30 Agustus 2021 | 13:00 WIB
Potret keindahan Shatili, desa bersejarah di dataran tinggi Georgia. (Mycaucasus)

Nationalgeographic.co.id—Desa Shatili merupakan pedesaan bersejarah yang terletak di dataran tinggi di Georgia, dekat dengan perbatasan dengan Chechnya (Republik Konstituen Chechnya). Desa ini berada dataran tinggi karena letaknya di Pegunungan Kaukasus, yang masyarakatnya hidup diketinggian 1.400 mdpl, sehingga tinggal dalam iklim yang dingin.

Shatili adalah salah satu mahakarya arsitektur Georgia yang paling mulia yang terletak di wilayah Khevsureti. Selama berabad-abad, ia berfungsi sebagai benteng dan tempat tinggal yangtersebar di lereng bukit berbatu. Shatili dikenal dengan dataran tinggi dan bangunan sucinya. Maklum, masyarakat Shatili sangat religius, dibuktikan dengan peninggalan dan hasil penelitian yang menyebut tentang kepercayaan-kepercayaan yang dianut masyarakatnya.

Arkeolog mengemukakan bangunan di Shatili mencakup berbagai tempat seperti rumah tinggal, stasiun kuno, sekolah, klinik rawat jalan (yang terletak di gedung administrasi), toko, helipad, jalan, jalan setapak, jembatan, dan public space, tempat berkumpul sehari-hari. Sayangnya, beberapa bangunan tersebut telah hancur.

Masyarakat aslinya diperkirakan telah mendiami dataran Shatili sejak permulaan abad ke-11, ditandai dengan adanya temuan menara dan rumah-rumah yang telah berumur sekitar 1.000 tahun. Giorgi Tavadze dalam risetnya berjudul Shatili from the Perspective of Philosophical Geography, terbitan 2013, menjelaskan adanya prosesi keagamaan bagi masyarakat asli Shatili di Khati.

Khati adalah sebutan bagi tempat penting yang disakralkan di Shatili. Segala bentuk ritual dan tradisi masyarakat terjaga disana. Ia memainkan peran penting bagi keberlangsungan adat istiadat masyarakat Shatili. Sejauh ini arkeolog telah menemukan empat Khati disana, namun ia hanya dapat dikunjungi sangat hari raya Athengenoba (hari raya agama setempat). Itupun hanya diperbolehkan bagi para laki-laki.

Para wanita di Shatili juga memiliki batasan-batasan, termasuk dilarang melewati wilayah teritorial Khati. "Meski terbatas pada banyak hal, tak ada (wanita) yang mengeluhkan tentang hal tersebut. Nampaknya mereka telah terbiasa tunduk dan patuh pada kepercayaan nenek moyang sejak remaja" tulis Tavadze.

Baca Juga: Keindahan Brugge, Kota Bersejarah dari Abad Pertengahan

Potret reruntuhan yang paling utuh, salah satu Khati yang ada di Shatili. (Giorgi Tavadze)

"Mereka percaya bahwa Khati melindungi Shatili dan penduduknya dari kemalangan. Oleh karena itu seseorang tidak boleh melanggarnya. Ini diungkapkan dalam penghormatan terhadap tempat-tempat dan ruang-ruang suci untuk mengikuti tradisi" tambahnya.

Ruang bersejarah lainnya di Shatili terdiri dari benteng atau menara (qvitkirebi atau koshkebi) dan Sapekhvno (tempat di mana laki-laki Shatili biasa berkumpul dalam acara adat). Ada juga Saqvabe (tempat membuat bir untuk upacara keagamaan), yang merupakan temuan arkeolog yang terletak di perbatasan Khati yang bersejarah.

Penduduknya yang agamis, juga tak terlepas dari adanya pengaruh Kristen Ortodoks yang masuk kesana. Hal itu dibuktikan dengan adanya temuan puing gereja Ortdoks. Anastasiia Khech & Maria Pelangia dalam tulisannya berjudul Shatili: Kebangkitan Abad Pertengahan, publikasi tahun 2017, menjelaskan tentang temuan gereja Ortodoks di Shatili.

Baca Juga: Simbol-simbol Relief Gereja Puh Sarang dalam Bingkai Hindu-Jawa

"Gereja tua yang dibangun abad ke-19 pada era kolonialisme Rusia, kemudian dihancurkan pada era Soviet. Tindakan Soviet berdasar pada adanya anti-Ketuhanan yang dianutnya, sehingga beberapa bangunan suci dihancurkan" tulisnya.

Menara dan rumah-rumah Shatili yang eksotis juga menciptakan ruang bersejarah. Hanya saja kemudian semua bangunan indah tersebut ditinggalkan. Hal tersebut disinyalir karena adanya migrasi paksa ke dataran rendah Georgia pada 1950-an oleh rezim Uni Soviet, dan mengambilnya sebagai benteng pertahanan. Kemudian, pada abad ke-16, para penduduk asli tinggal di rumah-rumah bergaya kontemporer.

Baca Juga: Desa Bawah Air dari Zaman Perunggu Ditemukan di Danau Luzern Swiss

Desa Shatili yang berada diketinggian, akses yang cukup terjal untuk ke atas. (Pilpilio)

 

Sejak abad ke-20 hingga hari ini, setiap pesta perayaan Athengenoba, berkumpul para penduduk asli dan keturunan penduduk Shatili yang bermigrasi dari Shatili ke dataran rendah Georgia. Pesta tersebut dan tempat-tempat suci ini memperkuat identitas mereka sebagai bangsa Shatili, dimanapun kini mereka berada.

Begitupun dengan menara dan rumah-rumah yang ditinggalkan, kini telah di nobatkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia, dan dibuka untuk para wisatawan sebagai destinasi wisata, meskipun medan yang ditempuh cukup terjal.

Baca Juga: Melihat Arsitektur Menakjubkan di Situs Warisan Dunia Pertama di India