Nationalgeographic.co.id - Epilepsi adalah gangguan pada otak yang menyebabkan kejang. Mengutip dari laman RS Panti Rapih Yogyakarta, data penderita epilepsi di Indonesia masih terbatas. Diperkirakan ada 1,5 juta orang dengan prevalensi 0,5-0,6 persen dari penduduk Indonesia, berdasarkan hitungan data penyakit epilepsi global di negara-negara berkembang.
Yang paling dikhawatirkan dalam bidang kesehatan adalah epilepsi refrakter, yakni ketika epilepsi bisa kambuh, meski sudah diberikan kadar terapi pengobatan. Maka, para ilmuwan terus mencari cara, dari mencegah gejala hingga menghentikan kejang mulai dari pengembangangan obat hingga penggunaan teknologi.
Terbaru, para peneliti dari dalam jurnal AJOB Neuroscience mengungkap, perkembangan implan otak generasi berikutnya adalah jawaban yang tepat. Implan pada otak ternyata tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya, yakni tidak akan menyebabkan perubahan pada kepribadian atau persepsi diri pasien.
Baca Juga: Kandungan CBD Pada Ganja Bantu Obati Epilepsi
Artikel itu berjudul Closed-Loop Neuromodulation and Self-Perception in Clinical Treatment of Refractory Epilepsy, yang terbit Kamis (2 September 2021). Para peneliti mengungkap, temuan ini dapat membantu meringankan beberapa kekhawatiran etis dalam stimulasi otak lingkar tertutup (closed loop).
Padahal sebelumnya, secara teori dapat memiliki efek yang tidak diinginkan pada perasaan diri atau kepribadian seseorang.
"Perangkat perangsang (stimulasi) otak generasi berikutnya dapat memodulasi aktivitas otak tanpa campur tangan manusia, yang menimbulkan pertanyaan etika dan kebijakan baru," ujar Tobias Haeusermann, penulis utama studi dari University of California.
"Namun sementara ada banyak spekulasi tentang konsekuensi potensial dari perawatan inovatif ini, saat ini sangat sedikit yang diketahui tentang pengalaman pasien dari perangkat apa pun yang disetujui untuk penggunaan klinis," tambahnya, mengutip dari Eurekalert.
Masalah implan otak ini lebih mendesak, ujar Haeusermann, lantaran beberapa perawatan serupa saat ini masih dikembangkan untuk beberapa kondisi neurologis dan kejiwaan, seperti depresi, nyeri kronis kecemasan, alzheimer, dan strok. Pemahaman yang optimal pada sakit itu penting untuk menawarkan cara perawatan baru yang efektif dan melemahkan penyakitnya.
Baca Juga: Ragam Bentuk Meditasi dan Khasiatnya Bagi Kesehatan Jiwa dan Raga
Haesermann menulis, sistem stimulasi otak lingkar tertutup dapat memantau dan memecahkan kode aktivitas pada otak kita. Kemudian secara otomatis, dapat menyesuaikan pengobatan yang disampaikan sinyal listrik, berdasarkan algoritma perangkat lunak internal.
Perangkat implan ini dapat memberikan perawatan yang lebih tepat dan lebih personal daripada sistem open loop, yang telah digunakan selama beberapa dekade untuk terapi pengobatan parkinson, dan kondisi lainnya. Cara lama itu menerapkan stimulasi yang telah diprogram terlebih dahulu sebelum diberikan pada area otak yang ditentukan.
Pengobatan konvensional pada epilepsi banyak diterapkan lewat operasi otak. Meski membantu, para peneliti menulis, bahwa tidak semua pasien akan cocok dengan cara itu.
Pada 2013, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat menyetujui sistem stimulasi otak lingkar tertutup untuk mengobati epilepsi refrakter. Para peneliti dapat meneliti secara etnografi pada 12 pasien, dan pengasuh keluarganya selama dua tahun berturut-turut tentang pengalaman tentang implan gaya baru ini.
"Kami menemukan bahwa implan otak tidak mengubah rasa diri atau kepribadian pasien. Baik implantasi jangka panjang perangkat elektronik di otak mereka, maupun stimulasi listrik untuk memodulasi fungsi otak mereka, tidak menyebabkan perubahan persepsi diri mereka—atau persepsi pasien oleh anggota keluarga dan orang lain di sekitar mereka," papar Haeusermann.
Baca Juga: Perubahan Iklim Dapat Memengaruhi Ukuran Tubuh dan Otak Kita
"Ini adalah berita yang meyakinkan bagi lebih dari 3.000 pasien dengan epilepsi refrakter yang ditanamkan dengan perangkat ini hingga saat ini—serta banyak orang lain yang mungkin mempertimbangkan perawatan ini sebagai cara untuk mencegah kejang mereka di masa mendatang."
Implan perangkat stimulan pada otak pada generasi berikutnya diyakini dapat merekam, menyimpan, dan menampilkan data kondisi otak, yang tentunya dapat menawarkan cara baru bagi pasien untuk memahami penyakit mereka. Haeusermann dan tim berpendapat, pengobatan seperti ini harus didukung teknologi, dan orang yang lain di sekitarnya yang memiliki penyakit di otak.
"Sementara pasien umumnya menghargai kesempatan untuk melihat data yang dikumpulkan oleh perangkat ini, prosesnya juga dapat menciptakan ketidaktentuan," dia berpendapat. "Dalam hasil yang tampak sebagai catatan objektif terkait penyakit, mereka dapat menafsirkannya sebagai laporan pasien sendiri."
Hauserman menekankan, pengamatan seperti ini perlu hati-hati dalam mempertimbangkan bagaimana pasien akan membuat makna dari data yang dikumpulkan, disimpan, dan diterjemahkan oleh perangkat ini.
"Pilihan desain seperti antarmuka pengguna, opsi untuk penggunaan dan portabilitas data, dan tingkat interaksi yang diantisipasi dengan dokter, mungkin memiliki efek yang tidak diinginkan pada bagaimana pasien memahami otak dan kondisi otak mereka,” ujarnya.
Kendati implan otak hanya memberikan gambaran kondisi otak pada pasien epilepsi, ternyata tidak memiliki banyak fungsi yang canggih, sehingga diharapkan pengembangan perangkat di masa depan bisa lebih baik.
Namun setidaknya, dapat membuat sistem yang merancang para dokter untuk memberikan efek khusus pada kepribadian dan perilaku pasien secara terprogram untuk mengobati gangguan kejiwaan, tulis para peneliti.
Baca Juga: Sepasang Mata Tumbuh dari 'Otak Mini' yang Diciptakan di Laboratorium