Temuan Minyak Melimpah pada 1939, Mengubah Nasib Kemiskinan di Qatar

By Galih Pranata, Senin, 6 September 2021 | 14:00 WIB
Kegiatan para pencari mutiara air asin sehari-hari, diperkirakan tahun 1920-an di perairan Qatar. (Quora)

Nationalgeographic.co.id — Qatar, hari ini dikenal sebagai negara kaya raya dengan kehidupan masyarakatnya yang makmur dan sejahtera. Hal ini dibuktikan juga dengan kesuksesan Qatar, sebagai calon penyelenggara event terbesar di dunia, Piala Dunia 2022, yang tidak banyak negara mampu menyelenggarakannya.

Namun, jika dirunut dari akar sejarahnya, gambaran tentang mereka jauh dari kenyataan yang kita lihat hari ini. Dulu, masyarakat Qatar adalah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Mayoritas masyarakatnya adalah nelayan, karena daratannya terlalu tandus untuk ditanami sayuran dan buah-buahan.

Dustin Senger dalam tulisannya berjudul Qatari Merchant Explains Life Before The Oil pada tahun 2010, berkisah tentang kehidupan Qatar sebelum era minyak dimulai. "Ekonomi awal masyarakatnya, bergantung pada panen mutiara air asin tanpa henti" tulisnya.

"Nelayan yang tak kenal takut, seringkali menghilang ditengah laut karena hiu , serta penyakit yang disebabkan oleh penyelaman laut dalam yang berulang menggunakan batu yang diikatkan ke kaki mereka" tambahnya.

Pada 1920-an, karena runtuhnya perdagangan mutiara, terjadi kelangkaan mata pencaharian dan kemiskinan merajalela, masyarakatnya kekurangan gizi, dan berbagai penyakit menjangkiti negara itu. Kehidupan yang sangat berat dilalui penduduk Qatar saat itu. Qatar yang merupakan negara jajahan Inggris, tak terlepas dari campur tangan Barat. Pada awal tahun 1922, Mayor Frank Holmes mulai memerhatikan sumber daya minyak Qatar.

"Ia berhasil membantu negara-negara Timur Tengah dalam memperoleh konsesi minyak di Arab Saudi, Kuwait dan Bahrain pada 1920-an. Namun, gagasannya untuk menemukan kilang minyak berhenti, setelah pemerintah kolonial Inggris di Qatar melarangnya melakukan penggalian" tulis Rasoul Sorkhabi dalam tulisannya berjudul The Qatar Oil Discoveries pada 2010.

Baca Juga: Berebut Ladang Minyak, Lelakon Perang Dunia Kedua di Kilang Palembang

Potret Mansour bin Khalil di tahun 1933, salah satu orang yang berjasa dalam menemukan kilang minyak Qatar. (Qatar Petroleum)

Memasuki tahun 1925, pembatasan tersebut tampaknya telah mereda. Hal itu dibuktikan karena pada awal tahun 1926, George Martin Lees, seorang ahli geologi dari Anglo-Persian Oil Company (APOC, kemudian menjadi British Petroleum), mengunjungi Doha dan melakukan perjalanan satu hari ke beberapa tempat di Qatar.

Sebelum pergi, Lees juga mendapat izin dari Syekh Abdullah bin Jassim al-Thani (penguasa Qatar saat itu) untuk menjelajahi Qatar selama dua tahun berikutnya. Hanya saja, ia kesulitan untuk menemukan sumber daya minyak di Qatar. 

Standard Oil Company of California telah berhasil menemukan cadangan minyak di Bahrain, sehingga APOC merasa khawatir apabila Amerika Serikat dapat menemukan cadangan minyak di Qatar.

Akhir tahun 1932, APOC akhirnya mengirim dua ahli geologi, E.W. Shaw dan P.T. Cox, ke Qatar. Setelah observasi dilakukan selama Januari hingga Maret 1933, mereka menemukan bahwa antiklin Dukhan di Qatar tenggara memiliki kesamaan dengan bidang penemuan minyak di Bahrain.

Baca Juga: Takdir Nusantara, Dari Jelajah Rempah Sampai Jelajah Emas Hitam

"Batuan permukaannya adalah batu gamping Eosen, sehingga berpotensi bagus untuk batuan reservoir Kapur (seperti di Bahrain)" tulis Sorkhabi. "Antiklin Dukhan tidak lain adalah bukit tertinggi di Qatar, yang oleh penduduk asli disebut Jabal Dukhan (Bukit Asap) karena cuacanya yang sering berkabut" tambahnya.

Pada tahun 1933 hingga 1934, APOC mengirimkan W.E. Browne dan D.C. Ion, untuk memetakan antiklin Dukhan secara tepat. Kemudian, APOC melakukan negosiasi dengan Qatar, dan pada 17 Mei 1935, diberikan konsesi minyak yang mencakup seluruh wilayah Qatar untuk mengeksplorasi dan memproduksi minyak.

Tiga tahun berselang, beberapa ahli geologi dari Inggris dan Qatar mulai melakukan penyelidikan lebih lanjut. Norval E. Baker, T.F. Williamson, dan R. Pomeyrol, serta dibantu dengan Mansour bin Khalil, mulai menelusuri batuan gamping Eosen sejauh 80 km dengan penutupan struktural 90 meter.

Baca Juga: Sejarah Perusahaan Global dalam Eksplorasi Minyak di Hindia Belanda

Suasana gemerlap yang indah di Qatar hari ini, jauh berbeda dengan Qatar sebelum era minyak pada 1939. (Harrison Jacobs)

Disanalah mereka mulai merekomendasikan sumur pertama, sekaligus membuka asa Qatar dalam mengelola minyak secara independen. Qatar telah mencatatkan 900 triliun kaki kubik gas alam, ladang gas tunggal terbesar di bawah kerak bumi.

Pasca penemuan kilang minyak yang melimpah ruah, masyarakat Qatar mayoritas merasakan dampaknya. "Mereka menjadi warga negara yang makmur dan sejahtera. Bahkan hari ini, pendapatan dari minyak dan gas membuat pendapatan per kapita rata-rata di Qatar mencapai lebih dari US$.98,800, jauh melampaui Amerika Serikat atau Inggris" tulis Harrison Jacobs dalam How Qatar got so rich so fast pada 2015.

"Anak-anak di Qatar telah mendapatkan pendidikan yang jauh lebih baik dari orang tuanya" tulis Senger. "Mereka telah memahami televisi dan tertawa melihat tayangannya, sedangkan orang tuanya hanya meminta anaknya menceritakan tentang apa yang terjadi sebenarnya" tutupnya.

Baca Juga: Desa Wisata Energi Migas Wonocolo, 'Texas' di Bumi Nusantara