"Namun, merupakan pandangan keliru jika menganggap penari seudati selain untuk seni, juga dapat digunakan untuk praktik perjantanan (pederasty), hubungan seksual antara pria dewasa dan anak laki-laki," tulisnya.
Selain di Aceh, Achmad juga memaparkan laporan dari pejabat kesehatan kolonial Julius Jacobs pada 1883 di Banyuwangi lewat tari Gandrung. Tarian itu berisi anak laki-laki berusia 10-12 tahun yang menari genit, dan disambut para laki-laki dewasa dengan mengikuti tarian, menciumi, dan memberi uang keping. Menurut Jacobs, praktik ini dianggap hal biasa bagi orang-orang Bali.
Meski sering identik dengan homoseksual, di mata hukum Hindia Belanda dan di Belanda sendiri, pedofilia berbeda dengan penyuka sesama jenis. Pedofilia pada Pasal 292 Wetboek van Strafrecht adalah mereka yang berhubungan seksual dengan anak di bawah umur 21 tahun. Kurang dari itu sudah dianggap sebagai tindak kriminal, bila tanpa ada hubungan pernikahan yang diatur UU dan peraturan adat.
Baca Juga: Buku Harian Homoseksual dan Reserse Polisi Moral Zaman Hindia Belanda
Pada 1925, Achmad memaparkan, sejumlah kota membentuk zedenpolitie (polisi susila) yang menjadi bagian dari reserse kepolisian. Tujuannya adalah mencegah praktik asusila seperti pedofilia dan prostitusi.
Di masa itu, anak laki-laki bahkan berkeliaran untuk melacurkan diri di jalanan kota dan menjadi target operasi polisi susila. Polisi susila sendiri bekerja sama dengan biro pemerintah di bidang pembernatasan perdagangan perempuan dan anak-anak, dan biro pengawasan pengeluaran ilegal Hindia Belanda.
"Pola, konteks, latar belakang, objek, serta reaksi menangani gejala tersebut mengensankan bahwa aksi kepolisian berkaitan dengan persaingan dan perebuatn kekuasaan," ungkap Achmad. "Pemicu utamanya kemungkinan bukan sekadar semangat untuk membersihkan moral masyarakat dari praktik penyimpangan perilaku seksual."