Pergulatan Filsuf Bertrand Russell Atas Kritiknya Terhadap Tuhan

By Galih Pranata, Selasa, 19 Oktober 2021 | 12:00 WIB
'Konsep mendasar dalam ilmu sosial adalah kekuatan, dalam pengertian yang sama di mana energi adalah konsep dasar dalam fisika,' demikian ungkap Bertrand Russel. (Freewillibrary)

Nationalgeographic.co.id—Seorang filsuf sekaligus ahli Matematika berkebangsaan Inggris, Bertrand Russell, merupakan penganut anti-teisme (anti-Ketuhanan). Dalam beberapa pandangan umat beragama, tentu eksistensinya dalam hal keyakinan dan spiritualitas menjadi isu kontroversial.

Bertrand Arthur William Russell lahir di Trellech, Monmouthshire, Inggris Raya, pada 18 Mei 1872. Ia melalui masa mudanya dalam perantauan intelektual yang luar biasa, menjadikannya seorang remaja yang kritis, sekalipun dengan kepercayaannya terhadap Tuhan.

Sebagai akademisi, ia bekerja di bidang filsafat, matematika, dan logika. "Dia adalah seorang intelektual publik, sejarawan, kritikus sosial, aktivis politik, dan pemenang Nobel penghargaan," tulis Ronald William Clark.

Ia menulis dalam bukunya yang berjudul The life of Bertrand Russell, yang diterbitkan pada 1976. "Russell adalah tokoh publik dalam hal sains dan keilmuan, namun dalam hal spiritualitas, banyak pihak yang kemudian menentangnya," tambah Clark.

"Karyanya memiliki pengaruh yang cukup besar pada matematika, logika, teori himpunan, linguistik, kecerdasan buatan, ilmu kognitif, ilmu komputer, dan berbagai bidang filsafat analitik, terutama filsafat matematika, filsafat bahasa, epistemologi dan metafisika," tulisnya.

Adanya pernyataan menarik dalam ulasan buku karya Helmy Hidayatulloh yang berjudul Ateisme VS Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid, terbitan tahun 2020. Ia berupaya menguak alasan-alasan Russell dalam mempertanyakan eksistensi Tuhan dengan kritiknya. 

"Setidaknya ada lima faktor yang membuat Russell membantah tentang kehadiran atau eksistensi Tuhan," terangnya. Faktor pertama, "Penyebab Pertama, adalah hal yang tidak valid, bagaimana mungkin Tuhan berdiri sendiri tanpa ada yang menciptakannya?" tanya Russell dalam buku Helmy.

Baca Juga: Mengapa Pemikiran Filsuf Konfusius Masih Relevan Hingga Saat Ini?

Dalam beberapa pandangan umat beragama, tentu eksistensi Russell dalam hal keyakinan dan spiritualitas menjadi isu kontroversial. (Fotocollectie Anefo Reportage )

"Kedua, hukum alam dalam ajaran-ajaran keagamaan merupakan hasil konvensi manusia itu sendiri, apa bedanya dengan teori peluang (dalam ilmu matmatika)," tambahnya. Faktor ketiga, "Dalam hal sains, dia tidak pernah mempercayai, bahwa kehidupan alam semesta akan berakhir," lanjutnya.

"Faktor keempat, Russell tidak mempercayai tentang teori kemaslahatan sosial yang lahir dari petunjuk dan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya, karena baginya tanpa Tuhan, ia dapat membangun relasi sosialnya dengan baik," imbuh Helmy.

"Kelima, ia menentang keadilan Tuhan. Ia beranggapan bahwa Tuhan tidak meletakkan keadilan pada makhluknya, dimana si baik bisa saja menderita, dan si jahat akan hidup bahagia," pungkasnya.

Ia menggiatkan seruannya tentang kritiknya terhadap eksistensi Tuhan. Dia menganggap dirinya sebagai agnostik sekaligus ateisme yang menolak akan hukum-hukum dan dalil-dalil dalam pembuktian sains dan analoginya.

Nurcholis Madjid turut mengkritisi Russell, dalam perspektifnya sebagai intelektual muslim Indonesia. Baginya, Russell yang hanya mengandalkan akal adalah kegagalan dalam membuktikan eksistensi Tuhan.

"Persoalan ateisme ialah persoalan kecongkakan manusia yang hendak mengandalkan dirinya sendiri (melalui akal dan ilmu pengetahuannya) untuk memahami Tuhan," tulis Nurcholis Madjid dalam bukunya.

Ia menulis tentang pandangannya dalam mengkritisi kritik Russell terhadap eksistensi Tuhan, pada bukunya yang berjudul Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, yang diterbitkan pada 1995.

Baca Juga: Filsuf Kontemporer Abad 21: Humor dan Filsafat Ala Slavoj Žižek

Bertrand Russell, ilmuwan dan akademisi sohor yang menganggap dirinya agnostik dan anti-teisme. (Aeon)

"Akal manusia modern bersifat a priori yang membatasi diri hanya kepada hal-hal empiris saja," tambahnya. Menurutnya, Russell adalah seorang ateis yang sengit dan radikal. "Russell menyatakan bahwa Tuhan itu tidak ada, padahal sebenarnya dia enggan membuktikannya saja," imbuh Madjid.

Nurcholis menegaskan bahwa Russell terbuai nafsunya, memandang secara subyektif bahwa Tuhan tidak ada. "Kebenaram atau kesalahan dalam kacamata 'subjektivisme' hanyalah soal kepentingan dan keinginan manusia belaka," lanjutnya.

Ada pula fungsi akal, dapat juga berfungsi sebagai penghalang hidayah dari Tuhan. "Kecenderungan manusia modern dengan selalu berpikir secara ilmiah, bisa berpotensi menghalangi cahaya ilahiyyah (Tuhan) yang hadir dalam sanubari manusia," tambah Nurcholis Madjid.

"Menurut para ahli sufi, hanya keikhlasan hati yang dapat membuka jalan-jalan masuknya hidayah. Dari sana, manusia akan mendapatkan kebenaran dan esensinya sebagai bagian dari makhluk Tuhan," pungkasnya.

Baca Juga: Hipotesa Simulasi, dari Filsafat hingga Teknologi Algoritma Fisika