Rangkaian Sejarah Pelanggaran HAM di Indonesia Bulan September

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 10 September 2021 | 21:00 WIB
Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi kekerasan kepada perempuan di Indonesia. Tanpa dasar hukum dan peradilan, mereka menanggung pelecehan seksual hingga penyiksaan berujung kematian. Kabar dusta yang diembuskan penguasa menjadi bagian takdir mereka sampai mati. (Ilustrasi)

Selama protes berlangsung, lima orang dilaporkan tewas seperti Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Randy, dan Yusuf Kardawi.

Pada saat bersamaan terjadi pula aksi militerisme di Wamena dan Jayapura, Papua pada 23 September. Kekerasan terjadi sebagai respon protes masyarakat terhadap ucapan rasis seorang guru di SMA PGRI Wamena, dan aparat di Pulau Jawa sebulan sebelumnya. Sejumlah 32 orang tewas di Wamena, dan empat orang di Jayapura.

     

Salim Kancil

Tewas pada 26 September 2015, Salim Kancil adalah warga Lumajang yang menolak tambang pasir di daerahnya. Dia bersama kawan-kawannya sebenarnya sudah mendapat ancaman sejak 9 September, lewat kelompok preman yang dibentuk oleh Kepala Desa Selok Awar-awar, tempat tinggal Salim.

Mengutip Beritagar, pada hari terakhir, Salim dan rekannya, Tosan, dijemput paksa oleh preman. Keduanya dianiaya oleh benda tumpul, bahkan Salim diseret ke pemakaman dan dihujani pukulan batu di kepalanya hingga menghembuskan napas terakhir.

Kepala desa Hariyono dan Mat Dasir mendapatkan hukuman setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana kepada Salim.

       

Gerakan 30 September

Kejadian paling berdarah dalam sejarah Indonesia ini bermula ketika terjadi penculikan terhadap jenderal TNI pada 30 September hingga 1 Oktober 1965. Penculikan itu juga disertai pembunuhan kepada mereka, yang memicu reaksi pembantaian massal kepada masyarakat yang diduga simpatisan PKI, Gerwani, dan yang kerap mengkritik pemerintah. 

Banyak buku dan penelitian sejarah yang membahas tragedi ini, termasuk Soe Tjen Marching lewat Dari dalam Kubur. Dia menggambarkan tragedi ini sebagai pembantaian, penculikan, pemerkosaan, dan rasialisme.

Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini belum menuntaskan pelanggaran HAM terbesar ini, meski para korban dan keluarga korban telah membawa kasus ini hingga International People Tribunal di Den Haag.