Rangkaian Sejarah Pelanggaran HAM di Indonesia Bulan September

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Jumat, 10 September 2021 | 21:00 WIB
Setelah peristiwa 30 September 1965, terjadi kekerasan kepada perempuan di Indonesia. Tanpa dasar hukum dan peradilan, mereka menanggung pelecehan seksual hingga penyiksaan berujung kematian. Kabar dusta yang diembuskan penguasa menjadi bagian takdir mereka sampai mati. (Ilustrasi)

Nationalgeographic.co.id—September identik menjadi bulan pertama musim hujan, setelah kemarau. Banyak lagu menyambut kedatangan bulan kesembilan ini dengan suka ria, seperti September Ceria karya Vina Panduwinata, dan September karya Earth, Wind & Fire.

Tetapi juga ada lagu kesedihan, seperti Wake Me Up When September Ends karya Green Day. Lagu itu merupakan bentuk duka cita pada Billy Joe Armstrong yang kehilangan ayahnya.

Seperti lagu Green Day tersebut, Indonesia memiliki rangkaian sejarah pilu pelanggaran HAM pada bulan September, yang bisa disebut sebagai September Hitam. Kebanyakan dari peristiwa itu juga belum kunjung ada penuntasan kasus atau permintaan maaf dari pihak terlibat.

        

Almarhum pejuang HAM, Munir Said Thalib. (VOA Indonesia)

Munir Tewas Diracun

7 September 2004, Munir Said Thalib diracun dalam penerbangannya menuju Belanda ketika hendak melanjutkan studi S2 di Utrecht. Penyelidikan ini sempat melibatkan pihak keamanan dua negara, dan mengumpulkan beberapa orang yang diduga pembunuhnya.

Salah satunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto yang resmi ditahan setahun setelahnya. Tetapi karena penyelidikan yang tidak transparan hingga banyak kejanggalan dalam penyelesaian investigasi, para pegiat hukum menduga ada sesuatu yang lebih besar di balik motif kematian aslinya yang melibatkan penguasa.

Munir dikenal sebagai aktivis HAM yang mengurus kasus-kasus besar seperti peristiwa di Aceh dan Timor Timur, dan penghilangan orang secara paksa di masa senja Orde Baru.

   

Peristiwa Tanjung Priok

Awal 1980-an, Soeharto sebagai presiden Indonesia saat itu membuat regulasi agar semua organisasi masyarakat harus berlandaskan Pancasila. Tujuan dari peraturan itu, selain menangkal komunisme juga menangkal politik Islam yang sedang tumbuh.

12 September 1984, Amir Biki pengurus masjid As Saadah yang menentang regulasi itu mengerahkan ribuan orang untuk protes ke kantor Kodim Jakarta, setelah dua hari sebelumnya beberapa jamaahnya ditangkap membuat brosur mengkritik pemerintah.

Protes itu berbuntut kerusuhan karena tidak berhasil melepaskan para tahanan. Pihak militer bahkan menembak massa yang mengepung komando militer. Menurut Komnas HAM, ada 24 orang yang tewas dalam peristiwa itu, sedangkan pihak keluarganya menyebut 400 orang.

Nusron Zanuiri, penyintas peristiwa tersebut dikutip dari Washington Post mengatakan pihak militer memburu orang yang masih selamat setelah itu. "Dia teriak, 'yang ini masih hidup!', dia berusaha menembak saya sekali lagi. Pelurunya sangat dekat dengan kepala saya tapi meleset," kenangnya.

Peristiwa itu melibatkan tokoh militer penting seperti Try Sutrisno dan L.B Moerdani. Dalam pengadilan yang dilakukan tahun 2003 hingga 2004, beberapa petugas divonis bersalah, sementara Try Soetrisno dan Moerdani dibebaskan oleh tuntutan. Hingga saat ini, belum ada kejelasan terkait kompensasi yang dituntut keluarga dan para korban.

   

Tragedi Semanggi II

Demi mewujudkan cita-cita Reformasi yang baru satu tahun, para mahasiswa melakukan aksi di beberapa kota, seperti Medan, Lampung, dan di Semanggi, Jakarta. Mereka menuntut untuk mencabut peran dwi fungsi ABRI yang bermasalah selama masa Orde Baru.

Selama aksi yang berlangsung selama 24-28 September 1999 itu, terjadi kekerasan dari aparat. Tindakan aparat mengakibatkan sejumlah mahasiswa seperti Yap Yun Hap dari Universitas Indonesia, dan Yusuf Rizal dari Universitas Lampung, tewas.

Berdasarkan laporan Tim Relawan Kemanusiaan yang dikutip KontraS, ada 11 orang meninggal, dan 217 luka-luka akibat insiden itu.

Bersamaan dengan penuntutan Semanggi I (November 1998), kedua kasus masih dianggap bukan pelanggaran HAM berat. Meski beberapa LSM hukum, bersama orang tua korban seperti Sumarsih (ibu dari Wawan korban Semanggi I) dan Ho Kim Ngo (ibu dari Yap Yun Hap), terus meminta pertanggungjawaban pemerintah hingga kini.

     

Reformasi Dikorupsi

24-29 September 2019, berbagai elemen masyarakat dari buruh hingga mahasiswa melakukan demonstrasi di beberapa kota. Para demonstran membawa tujuh tuntutan, seperti penolakan RKUHP, RUU KPK, menuntaskan kasus HAM, dan mengesahkan RUU PKS.

Selama protes berlangsung, lima orang dilaporkan tewas seperti Bagus Putra Mahendra, Maulana Suryadi, Akbar Alamsyah, Randy, dan Yusuf Kardawi.

Pada saat bersamaan terjadi pula aksi militerisme di Wamena dan Jayapura, Papua pada 23 September. Kekerasan terjadi sebagai respon protes masyarakat terhadap ucapan rasis seorang guru di SMA PGRI Wamena, dan aparat di Pulau Jawa sebulan sebelumnya. Sejumlah 32 orang tewas di Wamena, dan empat orang di Jayapura.

     

Salim Kancil

Tewas pada 26 September 2015, Salim Kancil adalah warga Lumajang yang menolak tambang pasir di daerahnya. Dia bersama kawan-kawannya sebenarnya sudah mendapat ancaman sejak 9 September, lewat kelompok preman yang dibentuk oleh Kepala Desa Selok Awar-awar, tempat tinggal Salim.

Mengutip Beritagar, pada hari terakhir, Salim dan rekannya, Tosan, dijemput paksa oleh preman. Keduanya dianiaya oleh benda tumpul, bahkan Salim diseret ke pemakaman dan dihujani pukulan batu di kepalanya hingga menghembuskan napas terakhir.

Kepala desa Hariyono dan Mat Dasir mendapatkan hukuman setelah dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana kepada Salim.

       

Gerakan 30 September

Kejadian paling berdarah dalam sejarah Indonesia ini bermula ketika terjadi penculikan terhadap jenderal TNI pada 30 September hingga 1 Oktober 1965. Penculikan itu juga disertai pembunuhan kepada mereka, yang memicu reaksi pembantaian massal kepada masyarakat yang diduga simpatisan PKI, Gerwani, dan yang kerap mengkritik pemerintah. 

Banyak buku dan penelitian sejarah yang membahas tragedi ini, termasuk Soe Tjen Marching lewat Dari dalam Kubur. Dia menggambarkan tragedi ini sebagai pembantaian, penculikan, pemerkosaan, dan rasialisme.

Kendati demikian, pemerintah hingga saat ini belum menuntaskan pelanggaran HAM terbesar ini, meski para korban dan keluarga korban telah membawa kasus ini hingga International People Tribunal di Den Haag.