Hikayat Garam di Pulau Madura, Cermin Pertautan Manusia dan Alam

By National Geographic Indonesia, Minggu, 12 September 2021 | 11:11 WIB
Petani memikul garam yang baru dipanen di ladang garam Desa Pinggirpapas, Sumenep, Jawa Timur. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Madura memang dikenal bermusim kering lebih panjang, tak banyak sungai dan sumber air tawar. Daratan Madura relatif datar di sisi Selatan, dengan dataran tinggi di tengah, dan pantai Utara yang berbeda ketinggian. Suhu rerata Madura 26,9 derajat celsius, dengan kemarau panjang antara 4 sampai 5 bulan (rata-rata bulan kering 2 sampai 4 bulan).

Garam hanya dihasilkan di sepanjang pantai Selatan Madura. Sedikitnya sungai dan muara membuat kawasan Selatan memiliki air laut berkadar garam tinggi.

Kuntowijoyo memaparkan waktu kristalisasi juga cukup pendek lantaran angin kemarau yang bertiup dari Jawa Timur—angin gending. “Kedua faktor itu sangat penting dalam keberhasilan produksi,” catat Kuntowijoyo.

Baca Juga: Temuan Mumi Manusia Garam Asal Iran Kuno dari Tambang Chehrabad

Buruh pikul memindahkan keranjang demi keranjang garam dari ladang di Sumenep. (Hafidz Novalsyah/National Geographic Indonesia)

Dalam bukunya Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850 – 1940, Kunto merekam pembuatan garam yang berkembang di Madura pada abad lalu. Menurutnya, cara produksi garam cukup sederhana. Plot-plot seperempat bau disiapkan dan air laut dialirkan melalui kanal-kanal. Jalan-jalan kecil dibuat di antara plot-plot untuk mengeluarkan garam saat siap diambil.

Pemerintah kolonial lantas mencatat tiap-tiap plot, membuat perkiraan produksi pada bulan April, lantas membayar uang muka pada Mei. Periode penguapan untuk sekali panen antara 25 sampai 28 hari, setelah itu garam siap dikais dan dipindahkan ke tempat kering.

Baca Juga: Pendekatan Baru untuk Mengurangi Garam, Namun Tetap Pertahankan Rasa

Dua orang warga mengambil garam dari ladangnya untuk dikumpulkan dan dijual kepada pengepul didesa Labuhan, Kecamatan Sepulu, Bangkalan, Madura. Profesi warga desa tersebut selain sebagian besar sebagai nelayan juga sebagai petani garam. (Sigit Pamungkas)

“Untuk pengeringan, garam itu dijemur selama 4 sampai 10 hari di bawah terik Matahari dan diangin-anginkan,” papar Kunto. Pada malam hari, garam dilindungi dari air hujan dengan daun kajang atau dengan alang-alang. Setelah itu, garam dikirim oleh produsen garam ke depot-depot pemerintah. Garam ditimbang, papar Kunto, dan harga jualnya ditentukan.

Pada saat yang bersamaan, setelah plot-plot dibersihkan dari sisa-sisa garam, dan produksi kedua pun dimulai. Pada akhir September, panen garam ketiga dan musim garam pun berlalu.

Baca Juga: Mengkhawatirkan, Mikroplastik Ditemukan dalam Garam dan Ikan di Indonesia

Ladang tembakau di Pamekasan, Madura, terletak bersisian dengan ladang garam. (Hafidz Novalsyah)

Dari sisi Pulau Madura tidak ada sungai besar, sementara dari Jawa Timur hanya ada muara Bengawan Solo, di Lamongan. Sehingga, di Madura, air laut sudah pekat.

Lalu air laut diangkat ke saluran air, dengan pompa air atau memanfaatkan air laut pasang. Dari air baku ini diangkat ke saluran air, lantas dialirkan ke lahan-lahan peminihan, lalu masuk ke meja kristal.

Tradisi pembuatan kristal putih dari samudera itu telah mengalir dalam darah petani garam. Di masa silam, petani garam pernah mencicipi kejayaan dan kemakmuran. Kini, petani justru menjadi saksi bahwa garam dari tanah leluhurnya mesti bersaing dengan garam negeri seberang.

Baca Juga: Penelitian Perburuan Paus oleh Bangsa Romawi Berawal dari Garam Ikan