Nationalgeographic.co.id—Tambora dalam catatan orang Eropa di Hindia Belanda, tatkala gunung yang bersemayam di Sumbawa itu bergejolak menggentarkan dunia.
“Tampak kepulan abu menyeruak dan menghitamkan satu sisi cakrawala,” ungkap John Crawfurd, seorang yang pernah mendampingi Raffles dalam penaklukan Jawa. Pada saat itu Crawfurd tengah berada dalam ekspedisi ke Makassar, melewati pantai Sumbawa pada 1814, setahun sebelum erupsi dahsyat Tambora.
Crawfurd dan kapten kapal menduga bahwa fenomena itu merupakan ancaman badai tropis. “Pada kenyataannya, itu keliru,” ungkapnya. Situasi telah terterka dan kapten kapal bersiap untuk segera berlayar. Ketika itu abu bahkan telah bertaburan pada dek kapal. “Gunung berapi Tombora sedang dalam situasi sangat aktif.”
Sejak tiga tahun menjelang letusan dahsyatnya, Tambora telah memberikan tanda-tanda berupa asap dan abu yang kian pekat di sekitar puncaknya dengan disertai gemuruh suara.
Ketika Tambora menggelegar dahsyat pada 5 April 1815, Crawfurd tengah berada di Surabaya. “Sehari setelah suara dan guncangan gempa melanda Surabaya”, dia menulis di buku hariannya, “abu mulai turun, dan pada hari ketiga, hingga siang suasananya gelap. Selama beberapa hari saya melakukan transaksi bisnis dengan penerangan lilin.”
Selama beberapa bulan, menurut Crawfurd, matahari tetap menunjukkan piringannya, namun disertai suasana langit yang temaram seperti ketika musim penghujan. Dia pernah menjabat sebagai Residen Yogyakarta. Situasi Jawa yang mencekam kala Tambora bererupsi terperikan dalam bukunya yang sohor, A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries, terbit di London pada 1856.
Surat kabar Java Government Gazette, koran pertama berbahasa Inggris di Hindia Belanda, menerbitkan selembar surat dari Surakarta pada 29 April 1815. Surat itu mengabarkan keadaan di Surakarta yang dilanda hujan abu, namun tampaknya si kontributor belum mengetahui gunung mana yang tengah bererupsi.
Baca Juga: Akibat Adu Mulut Soal Anjing, Gunung Tambora Pecah Menebar Bencana
“Ledakan yang sangat keras dan sangat sering, dan menyerupai debit mortir,” tulis kontributor koran tersebut. Dia berkisah ledakan itu bermula pada Rabu malam, 5 April 1815 kemudian diikuti ledakan yang berulang-ulang hingga beberapa hari. “Kemarin abu jatuh begitu tebal sehingga tidak cukup nyaman berjalan di luar rumah karena abu akan mengenai mata dan menutupi busana kami.”
Gelegar Tambora juga dirasakan warga Sumatra. Mayor M.H. Court, Residen Pulau Bangka, memberikan kesaksiannya dalam An Exposition of the Relations of the British Government with the Sultaun and State of Palembang and the designs of the Netherlands' Government upon that Country yang terbit di London 1821.
"Pada pagi 11 April 1815, suara gemuruh yang ajeg terdengar di Minto [Muntok], seperti kabar dari meriam jarak jauh," ungkap Court. "Suara yang kemudian terbukti berasal dari ledakan bukit di Pulau Sumbawa... jaraknya tidak kurang dari tujuh ratus mil... seluruh negeri mendengar suara tersebut.”
Dahsyatnya ledakan Tambora telah menghilangkan sepertiga bagian gunung tersebut, yang menyisakan kaldera berdiameter enam kilometer. Menurut perkiraaan, tingginya Tambora mencapai 4.200 meter, namun setelah erupsi hanya sekitar 2.800 meter. Setahun pascaerupsi, Eropa didera tahun tanpa musim panas yang menggagalkan produksi ternak dan panen.
Baca Juga: Gelagar-Gelagar Gunung Api Terdahsyat di Nusantara
“Letusan ini luar biasa untuk sejumlah alasan,” ungkap Bernice de Jong Boers, seorang peneliti dari Netherlands Organization for Scientific Research.
Pertama, salah satu letusan gunung berapi terbesar dalam memori manusia. Kedua, letusan tersebut memiliki dampak yang besar pada perkembangan sosial ekonomi dan ekologi di kepulauan Indonesia. Ketiga, letusan ini memberikan wawasan yang lebih baik dalam hubungan antara letusan gunung berapi dan iklim.
Demikian pemaparan Bernice tentang luar biasanya Tambora dalam Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath yang terbit dalam "Indonesia", Volume 60 Oktober 1995.Dialah yang telah menyelisik dan mengumpulkan testimoni semasa dalam tulisan ini.
“Letusan Gunung Tambora pada April 1815 adalah bencana alam yang bertindak sebagai titik balik dalam ekologi sejarah Indonesia,” ungkap Bernice.
Baca Juga: Murka Tambora, Kemunculan Salju Merah dan Frankenstein di Eropa